"Kau masih belum berangkat juga?" tanya Taeyong begitu mendapati Mark masih duduk bermain ponsel di ruang tamu.
"Aku masih menunggu Jeno," jawab Mark. Lelaki itu melirik jam ponselnya dan melotot.
"ASTAGA LEE JENO! INI SUDAH TIGA PULUH MENIT DAN KAU BELUM SIAP JUGA?"
Taeyong melotot. "Kau membuatku tuli."
Sadar akan teriakannya, Mark menggaruk tengkuknya. "Hehe, maaf hyung. Habis Jeno lama sekali. Aku ke kamarnya dulu."
"Yasudah sana, hyung akan mengantar kalian."
Mark berbinar. "Benarkah? Apakah hyung akan memperbaiki semuanya?"
"Mungkin?"
"Kalau begitu aku mau ke kamar Jeno dulu."
Taeyong tersenyum menatap punggung Mark. Ya, sudah waktunya untuk memperbaiki semuanya. Taeyong benar-benar tak tahan untuk tetap bertahan dalam keegoisannya dan larut dalam kesedihan.
Mark benar, Ayah dan Ibu mereka menitipkan adik untuk dia jaga, bukan diacuhkan. Taeyong sadar itu, dan dirinya ingin memperbaiki semuanya sekarang.
Jadi, belum terlambat bukan?
Kakinya melangkah mengikuti Mark yang sudah berjalan duluan.
"Jeno? Ayo bangun. Hei! Kenapa kau tidur lagi?"
Taeyong masuk dan berjalan menuju Mark yang sibuk membangunkan Jeno.
"Dia tidur lagi?" tanya Taeyong membuat Mark menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Hyung, bisakah kau masuk dengan suara? Aku pikir aku akan mati konyol karena terkejut," omel Mark.
Taeyong menggelengkan kepalanya. "Kau ada-ada saja, mana mungkin aku masuk pakai suara. Pelajari bahasa Koreamu dengan benar."
Lelaki itu lalu berjalan ke arah meja belajar adiknya. Tatapannya terarah pada amplop berwarna biru yang dilihat Mark sebelumnya. Taeyong mengambil dan membukanya karena penasaran.
Dear, Hyung's
Halo, pembukaan suratku akan sangat pasaran, yaitu, jika hyung membaca surat ini, berarti aku sudah tak ada.
Sejak dua tahun lalu, kesehatanku menurun. Aku tak terlalu ambil pusing karena saat itu memang sedang musim sakit. Aku sering mimisan dan aku benar-benar pandai menyembunyikannya hingga kalian tak menyadarinya kan?
Beberapa hari lalu, aku pergi ke Dokter karena Mrs. Na menyarankanku. Kata Dokter, aku menderita kanker nasofaring. Kupikir itu masih awal, tapi ternyata sudah stadium akhir.
Aku merasa sesak dan lega di saat bersamaan.
Aku lega karena Tuhan mengabulkan doaku. Namun aku merasa sesak karena aku bahkan belum menghabiskan banyak waktu dengan kalian semua.
Jika aku pergi, bisakah kalian seperti dulu? Menjadi hangat dan ceria, berbagi beban dan bersikap layaknya saudara?
Hyung.
Aku sering berpikir bagaimana jika saat itu kita semua tak berada di dalam rumah. Apa mungkin sekarang kita akan tetap seperti keluarga bahagia? Ah, itu pastikan?
Aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas segalanya.
Kenapa saat itu aku berada di dalam rumah?
Kenapa saat itu aku malah duduk memeluk lutut padahal sudah tahu sedang gempa?
Harusnya aku keluar, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Hyung's | 𝘓𝘦𝘦 𝘑𝘦𝘯𝘰 ✔
FanfictionTak ada yang benar-benar lelaki bermata sipit itu inginkan selain senyum dari kakak sulungㅡ Lee Taeyong, untuknya. Dan jika kepergiannya dapat mengembalikan senyum sang kakak, maka lelaki itu akan berdoa setiap saat. Dia bilang, "jika aku pergi, to...