Delapan : Perasaan Yang Terpendam

185 16 1
                                    

~" Ketahuilah, ada hati yang lebih sakit melihat semua itu daripada si pemeran utama"~

Adira menatap minuman dingin itu. Ia memegang minuman kaleng tersebut semakin kuat. Ia ingin menangis. "Vigo lo jahat! Lo bener-bener orang terjahat yang pernah gue temuin! Lo lebih jahat ketimbang Arka!" Isakan tangisnya semakin keras. Ia segera mengusap air matanya.

Reina yang baru masuk ke kelas langsung fokus pada Adira. Ia segera mendekati gadis itu. Ia berdiri didepan mejanya, menatap Adira dengan perasaan kasihan. Langsung saja ia mengernyitkan dahi. Ia  menatap Arka dengan kesal.

Arka merasa aura tuduhan dari Reina langsung menyela. "Apa? Gue nggak ngapa ngapain dia" ucapnya mendengus kesal. "Oh ya?? Emang siapa lagi yang suka buat Adira nangis, hah?!" Reina tak percaya. Ia tetap menuduh Arka.

"Ngeyel banget sih, salah mulu gue," ucap Arka memalingkan mukanya. "Emangnya siapa lag–" perkataan Reina terhenti saat tangan Adira meraih roknya. "Dia nggak salah Rei, gue yang salah" Adira mengusap matanya dan menghirup ingusnya.

"Maksud lo?" Reina berpindah tempat menyeret bangku agar bisa duduk didekat Adira. Ia mendengarkan semua penjelasan Adira. "Vigo emang brengsek banget! Udah sabar ya dir," Reina menepuk bahu Adira untuk menenangkannya. Arka memperhatikan  apa yang dilakukan oleh kedua gadis itu. "Untung gue nggak dibawa-bawa," ia kemudian keluar kelas, bertemu dengan Irma dan Razy.

Arka membuang kerikil di lapangan yang luas dan sepi. Irma dan Razy duduk dibangku bertingkat dilapangan. Irma hanya memandangi punggung Arka yang membungkuk mengambil kerikil dan ia lemparkan lagi.

"Lo ngapain ajak kita kemari?" Tanya Razy kesal. Sudah 10 menit ia menatap Arka melempar kerikil disekitarnya. Arka berhenti, kemudian berbalik menghadap Razy dan Irma. "Gue berencana nembak Adira. Menurut kalian gimana?" Razy mengangguk, namun berbeda dengan Irma, ia terbelalak terkejut.

"Emang lo yakin Adira suka sama lo?" Irma menambahkan. "Ya yakin nggak yakin sih, tapi sikap dia sama gue akhir-akhir ini beda," Arka melipat tangannya dan mengusap dagunya. "Kalo gue sih setuju aja, siapa tahu? Belum dicoba kan," ucap Razy.

Irma diam. Ia sebenarnya tak setuju dengan hal ini. "Kalo tiba-tiba lo ditolak mentah sama Adira?" Tanya Irma. "Ya tinggal berjuang lagi, sampe gue dapetin tuh hatinya," Arka amat bersemangat. Ia melempar kerikil yang tersisa ditangannya. Irma menggenggam tangannya erat. Apa yang harus ia lakukan? Seakan-akan ia tak rela dengan Arka yang akan segera mencapai tujuan awalnya.

"Gue mau balik, kelas gue ada ulangan" Razy berdiri dan pergi menyisakan Arka dan Irma disana. "Gimana sama cowok yang lo taksir Ir?" Tanya Arka. Ia duduk dibangku bawah, dan tanpa menoleh Irma yang duduk dibangku atas. "Apa?" Irma menatap lapangan yang kosong. "Ada kemajuan?" Tanya Arka. "Sama sekali," jawab Irma singkat.

Arka kemudian menoleh menghadap ke Irma. "Kok bisa?". "Udahlah, jangan bahas itu. Males gue" ucap Irma menyangga kepalanya. Arka berdecak. "Usaha dong,". Irma menirukan decakan Arka. "Udah,".

Arka berpindah duduk disamping Irma. Ia menepuk bahu Irma. "Lo butuh bantuan cowok ganteng," ucap Arka. "Siapa?" Tanya Irma tetap menatap lapangan yang kosong itu. "Hadep kiri," Irma langsung menghadap ke kiri bertatapan dengan Arka.

"Apaan sih lo!" Irma mendorong muka Arka menjauh. Arka tertawa terbahak-bahak. "Lo itu temen gue paling TOP deh Ir," ucap Arka menatap lapangan yang kosong. Irma hanya diam. "Temen?" Batin Irma menatap kedepan lagi.

"Ar," panggil Irma setelah hening beberapa saat. Arka menoleh, melihat Irma yang memasang wajah serius. "Nggak jadi deh," ucap Irma menghela nafas. Arka memperhatikan Irma dengan bingung. "Lo mau ngomong apa? Ngomong aja kali,". Ucap Arka santai. "Mungkin ini waktu yang pas," batin Irma mencoba menenangkan dirinya.

MiseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang