Tigabelas : Perseteruan

183 8 4
                                    

~"Jatuh cinta bukanlah sebuah keputusan yang kita ambil satu kali, tetapi berkali-kali~"

Arka memakirkan mobilnya asal didepan rumahnya. Jam menujukkan pukul delapan malam. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan muka cerah ceria, tanpa mempedulikan ayahnya yang saat itu masih bersama dengan 'klien'-nya.

Arka tak memberi sepatah kata untuk ayahnya ataupun pada Bu Luthfie. "Arka! Kemana sopan santunmu?" Sahut ayahnya dengan nada tinggi. "Arka!" Teriak ayahnya sekali lagi sehingga membuat Arka mau tak mau mengikuti kemauan ayahnya itu.

Arka berhenti dan memberikan sapaan singkat. Ayahnya kemudian menyuruhnya duduk. "Arka, kamu sudah makan malam belum? Saya tadi beliin makanan buat kamu," sahut Bu Luthfie dengan ramah. Tetapi justru sikapnya itu yang membuat Arka makin muak.

"Anda bukan mama saya, jadi tolong jangan pernah lakukan itu," Arka segera pergi dari ruang tengah. "Arka! Berhenti dan minta maaf!" Suruh ayahnya amat tegas.

Namun segera dihentikan oleh Bu Luthfie. Ia tak ingin membesarkan masalah sekecil itu. Ia kemudian menepuk bahu pria itu untuk memberitahu sesuatu pada Arka.

"Arka, ayah ingin besok kamu langsung pulang kerumah. Ada acara jamuan makan malam dengan teman-teman ayah, jadi kamu besok harus bersiap." Suruh ayahnya. Arka mengerutkan dahinya berniat menolak. Besok ia harus memenuhi kunjungan rutinnya ke tempat kakaknya.

"Nggak bisa, Arka besok harus ngecek keadaan kak Zaki," ucap Arka berbalik menghadap ayahnya. "Ngapain kamu masih mengunjungi kakakmu yang nggak waras itu?! Kamu jangan malu-maluin papa didepan teman papa!"

Arka terkadang harus menahan letupan emosi dirinya. Tetapi untuk saat ini, perkataan ayahnya sangat keterlaluan. Emosinya sudah tak terbendung lagi.

"Kak Zaki itu tetep kakak Arka pa! Dan dia juga tetep anak papa! Hanya karena kak Zaki gila, papa dengan egois nggak ngganggap dia anak papa lagi! Apa kalo Arka gila, papa juga buang Arka sama seperti kak Zaki?!!!" Teriak Arka terang-terangan. Ia amat benci dengan pria didepannya itu. Dia bukan ayahnya lagi.

"Saya nggak butuh anggota keluarga yang nggak waras," perkataan ayahnya sangat enteng diucapkan. Dan itu yang membuat telinga Arka sangat panas. Terutama saat dia menyebut dirinya 'saya', yang sangat jarang dilontarkannya, dan jika sudah seperti itu, tandanya pria tersebut memang sungguh-sungguh. "Terserah! Saya muak dengan anda!" Arka membenahi tasnya dan segera menaiki anak tangga ke arah kamarnya.

Ternyata Bi Inem telah memandanginya dari depan pintu kamarnya. Sudah sekitar 3 bulan ia meminta ijin pada ayahnya untuk pulang ke desanya karena ada suatu urusan. Dan akhirnya ia kembali.

"Bi Inem? Apa kabar bi?" Sapa Arka dengan ekspresi senyuman. Meski begitu, bi Inem tahu, sangat tahu bahwa senyuman dibibir laki-laki itu palsu.

"Kamu nggak perlu senyum begitu, kalau mau nangis ya nggak apa-apa kok, bibi udah pulang." Arka langsung memeluk wanita tua itu. "Berat bi, bibi disini aja. Jangan pulang lagi," Bi Inem hanya mengelus Arka dengan pelan.

"Kamu nggak perlu khawatir, intinya kamu besok pulang tepat waktu aja, jangan keluyuran." Saran Bi Inem yang ditanggapi Arka dengan anggukan.

Ia segera masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar dengan suram. "Hahhh! Emang gue pikirin! Yang penting Adira suka sama gue!" Ia berdiri dan bergegas ke kamar mandi.

Setelah menghabiskan waktu kira kira lima belas menit, ia keluar dan mengusap rambutnya dengan handuk ditangannya. Berjalan ke area balkon sembari menatap pantulan cahaya lampu pada air kolam renangnya.

"Seandainya Kak Zaki bisa balik kaya dulu," batinnya dan berjalan masuk ke kamarnya lagi. Ia akan tidur dengan nyenyak, sampai besok disaat ia harus bertemu Adira lagi.

MiseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang