Sepuluh : Cinderella

180 14 0
                                    

~" Tentang patah hati, aku tidak pernah meminta untuk diberikan hilang ingatan, aku hanya meminta untuk diberikan kekuatan"~

Adira mendengus kesal sambil membuka pagar rumahnya penuh emosi. "Sewot amat sih?" Ucap Arka tersenyum menghadap Adira yang masih sibuk membuka pagar rumahnya.

Setelah pintu gerbang terbuka, Adira berbalik menatap Arka sinis. "Gue harap lo nggak akan buat masalah di rumah gue,". Arka menaikkan sebelah alisnya.

Ia kemudian mengikuti Adira didepannya masuk kedalam rumah. Rumah minimalis dengan taman dan kolam kecil didepan rumah membuat Arka kembali terkagum lagi. Ia masuk dan duduk diruang tamu.

"Bentar, gue ambilin minum," Adira beranjak ke dapur. "Nggak usah Dir, gue nggak haus kok," ucap Arka disusul ibu Adira yang datang. "Sayangnya Diko udah tidur, Ar" ucap Ibu Adira kemudian duduk disamping Adira.

"Nggak apa-apa deh tan. Oh iya, ini oleh-oleh buat Diko." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah bingkisan berisi mainan. "Wah, jadi ngrepotin" ucap Ibu Adira menerima bingkisan itu.

Melihat apa yang dilakukan Arka, mata Adira terbelalak. Sejak kapan ia membeli bingkisan itu? Padahal sedari tadi ia terus disampingnya. Ibu Adira lantas berdiri dan berjalan pamit ke belakang.

Seiring berlalu ibunya, Adira terus melirik Arka tanpa jeda sedetikpun. "Lo mau cari muka?" Ucap Adira diikuti raut wajah laki-laki itu berubah. "Siapa yang cari muka? Muka gue kan nggak ilang".

Adira dengan kesal merebahkan punggungnya pada sofa. "Susah ngomong sama lo,". "Lo kira gue nggak susah? Apalagi saat lo lagi mode jutek tingkat dewa, ampun deh gue," ucap Arka sambil melihat jam ditangannya.

"Yah udah malem, kalo gitu gue balik dulu Dir," ia beranjak dari tempatnya duduk. "Ya," jawab Adira singkat. "Ya ampun, lo masih jutek setelah apa yang kita lakuin seharian?" Ia menggeleng kepala tak percaya. Adira menghela nafas dan berdiri, mengantar Arka ke depan rumah.

"Nah gitu dong, gue kira lo nggak punya hati," Ucap Arka tersenyum. Arka kemudian masuk dan mulai menjalankan mobilnya pelan. Adira hanya menunjukkan ekspresi datar pada Arka yang tersenyum lebar.

Hari yang cukup panjang baginya. Setelah apa yang terjadi antara dia dan Arka. Ia menghela nafas panjang, memejamkan mata sebentar dan menatap langit-langit kamar yang redup.

Ia menyunggingkan senyum sekilas. Otakknya telah penuh dengan kejadian hari ini, serta kejadian-kejadian masa lalu yang sekejap membuatnya meremas selimut ditangannya.

Ia benci Arka. Dan tak akan pernah berubah. Tidak sebelum waktu akan merubah semuanya.

*******

Secerah pagi ini, Adira berangkat dengan semangat dan ceria. Sebuah semangat yang jarang ia dapatkan di pagi hari. Penyebabnya tidak lain adalah pentas dramanya yang akan berlangsung hari ini. Tidak akan ada lagi latian sore, tidak ada lagi peran saudara tiri, tidak ada lagi menyendiri, tidak ada lagi bentakan pak Zavied ataupun bu Yufi.

Memang ada sedikit kegugupan melanda dirinya. Meski begitu, ia telah siap dengan apapun yang terjadi. Ia telah siap menjadi saudara tiri yang kejam.

Baru saja menginjakkan kaki digerbang sekolah, tiba-tiba ia diseret oleh kawanan perempuan. Mereka terlihat kebingungan sekali. "Kalian kenapa?" Tanya Adira menatap empat perempuan dihadapannya. "Irma, dia nggak masuk! Nggak ada kabar! Ilang gitu aja!"

"Apa??! Lo udah tanya temen-temennya?" Mereka mengangguk. Ini berat. Benar-benar berat. "Dan lo disuruh temuin Bu Yufi, sekarang juga" Perasaan tak enak langsung menjalar masuk kedirinya.

Adira telah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. "Jangan bilang?!". "Udah cepet temuin aja!" Ucap perempuan itu mendorong Adira agar segera pergi. "Hei!" Bentak Adira berbalik.

MiseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang