Tiga : Rencana Yang Tak Terduga

244 23 8
                                    

~"Kepergianmu mengubah segalanya. Dari kepergianmu juga aku mengerti kata penyesalan, yang sama sekali tidak ada dalam kamusku"~

Arka masuk ke dalam rumah dengan malas. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Pikirannya sedang kacau tentang apa yang dilakukan Adira dengan Vigo. Meskipun ia telah pergi kerumah Adira, seharian bermain dengan superhero, tapi semua itu tak akan mengubah juteknya Adira padanya. Perasaannya campur aduk untuk sekarang ini. Ia tahu ia salah. Dulu ia mempermainkan Adira, seakan dia adalah boneka. Tapi, dunia berbalik untuk sekarang. Perasaannya pada Adira berubah. Dan jika tahun ketiga di SMA ini ia tak dapat menyampaikan perasaannya, tamatlah ia dalam jurang cinta Adira.

Tapi, ia tahu Adira sangat membenci dirinya. Sekeras apapun usahanya, Adira akan tetap membencinya. Bagaimanapun cara ia menarik perhatiannya, semuanya tak akan mengubah apapun. Kesalahannya adalah tidak pernah menyadari sedari dulu jika Adira adalah orang terpenting di hidupnya. Jika tiba tiba ia bersikap baik pada Adira, ia mungkin akan menganggapnya aneh. Lebih baik tetap memperlihatkan sikap jailnya seperti dulu.

Ia kemudian bangun dan mengacak acak rambutnya. Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima. Hari ini adalah hari dimana ia harus mengunjungi kakaknya. Sudah hampir setahun kakaknya mengalami gangguan jiwa. Ia tak bisa mengendalikan diri setelah putus dari pacarnya. Ayahnya bahkan sudah tak menganggapnya sebagai anak. Hanya ia yang masih peduli terhadap kakak laki lakinya itu.
Ia pun bersiap siap dan segera mengambil kunci mobilnya dan berpamitan kepada ayahnya. "Untuk apa kamu menjenguk dia? Dia sudah bukan kakakmu lagi Arka," ucapan ayahnya mungkin sangat menyakitkan baginya. Tapi ia sadar, meskipun kakaknya mungkin sudah tak mengenal dirinya lagi, tapi ia tetap kakaknya. Kakak kandung yang dulu selalu menjaganya. Bahkan selalu melindunginya. Yang mecoba menenangkannya saat ibunya meninggal. Ia tak akan pernah lupa hal itu.

Setelah menghidupkan mesin mobilnya, ia segera pergi ke Rumah Sakit Jiwa Pelita Indah. Ia kemudian berjalan ke arah kamar dimana kakaknya melewati masa rehabilitasi. Sesekali ia menyapa dan berbincang sedikit dengan perawat disana, seperti biasanya.

Ia kemudian mengetuk pintu dan masuk ke dalam kamar. Seorang laki laki dengan kedua kakinya diangkat keatas sofa duduk terdiam, menghadap jendela luar. Tatapannya kosong. Sangat kosong. Sesekali ia tertawa sendiri, atau bahkan menangis. Arka langsung masuk dan menyapa kakaknya itu. Seperti biasanya, ia mencoba mengajak ngobrol dengan sedikit lelucon. Meskipun hanya tawanya yang menggema disana.

Terkadang ia juga berfikir jika ia bisa saja menjadi gila, tertawa sendiri tanpa ada yang merespon. Tetapi, melihat kakaknya didepan matanya saja ia sudah bersyukur.

Perawat pun masuk kedalam kamar membawa makanan dan minuman serta mengecek kondisi Zaki Ravindra Pratama, kakak Arka. Arka hanya melihat bagaimana kakaknya disuap oleh seorang perawat, yang sama sekali tidak ia telan. Arka kemudian berpamitan kepada perawat dan Kak Zaki untuk pulang.
"Kak Zak, gue mau balik. Cepet sembuh dong! Ada yang pengen gue kenalin ke lo suatu saat nanti," ucapnya didepan kakaknya yang sepertinya tak mendengarkan apa yang diucapkannya, sama sekali. Ia kemudian berpamitan pada perawat dan pulang.

Jika saja ada keajaiban untuk kakaknya, ia pasti sangat senang. Tapi sayangnya itu hanya angan semata. Tidak ada keajaiban yang akan muncul. Tidak ada kesembuhan untuk kakaknya. Ia sudah mencoba berbagai cara, seperti menyuruh Fitri, mantan Kak Zaki menjenguknya. Tapi yang ada malah membuat kak Zaki kumat. Ia membanting seluruh peralatan dikamar dan berteriak tak jelas. Bahkan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Ia kemudian sekilas mengingat Adira. Bagaimana cara ia memarahinya, memukulnya, dan menangis karenanya, serta wajah manis saat ia tertawa. Mungkin ditahun ketiga ini tak akan ada perubahan dari sikapnya. Ia yakin itu. "Mulai besok, gue harus bisa ngebuat Adira suka sama gue!" Ucapnya tersenyum sambil membelokkan setirnya dan memarkirkannya di sebuah cafe. Disana Razy dan temannya yang lain telah menunggunya. Ia kemudian segera bergabung dengan mereka, membiarkan masalahnya lebur dengan kesenangannya.

MiseinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang