Part 1

90 23 24
                                    


Pria dengan tuxedo berwarna navy itu terus berdiam diri di dalam ruangan kerjanya. Oh tidak, ia bukan hanya berdiam diri. Pria itu sedang mengetikkan sesuatu pada komputernya sedari tadi. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Takut-takut ia melewatkan jam makan siang.

Sebenarnya, ini bukan sepenuhnya kesalahan pekerjaan Justin yang begitu banyak. Hanya saja, Justin yang tak mau menunda pekerjaannya hingga menumpuk.

Arsen, sahabat kecil Justin yang juga satu kantor dengannya pun sudah hampir lima belas menit membujuk si pria dingin ini untuk makan siang terlebih dahulu ketimbang mengerjakan pekerjaan yang tiada habisnya itu. Namun, usaha Arsen hanya membuahkan amukan dari Justin yang menganggap bahwa Arsen hanya ingin mengganggunya. Meninggalkan Justin yang terus berkutat pada komputernya dengan perut keroncongan.

Sekali lagi, Justin melirik jam tangannya. Lima menit lagi jam makan siangnya usai, tapi pekerjaan Justin tak kunjung selesai. Ia lalu mengedarkan pandang, mencari-cari makanan yang mungkin bisa mengganjal perutnya yang sedang melilit sekarang ini. Jika saja kertas-kertas yang berserakan di meja kerja Justin adalah makanan, mungkin ia sudah melahapnya sedari tadi.

Sekilas, Justin ingat dengan kotak makan yang ia bawa pagi tadi. Ya, bekal pemberian Candice tadi pagi mau tidak mau harus dibawanya. Dengan gerakan cepat Justin mengambil kotak makan tersebut dari dalam tasnya.

Justin sedikit bernapas lega mendapati kotak makan tersebut berisi cupcake, bukan makanan ringan sehingga cukup untuk mengganjal perutnya. Justin pun memakan satu persatu cupcake tersebut. Jika bukan karena terpaksa, mungkin Justin tak akan pernah memakan kue itu. Mungkin ia hanya akan membawanya kembali ke rumah dan meminta ayahnya untuk menghabiskannya.

Ya, Justin memang tidak pernah mau memakan makanan pemberian Candice. Ia terlalu takut jika Candice ingin berniat jahat dengan memasukan sesuatu pada makanannya. Untuk membalas perlakuan kasar Justin, misalnya.

Mustahil memang, seorang anak kecil seperti Candice bisa berbuat jahat bahkan kepada pria pujaannya ini. Namun itulah Justin, ia terlalu benci dengan anak itu. Candice yang selalu mengejar-ngejar Justin bahkan meski Justin berlaku kasar padanya pun ia tak peduli. Kata-kata kasar yang Justin katakan sudah seperti perkataan manis di telinga Candice.

Justin masih terus mengerjakan pekerjaannya sambil mengunyah kue, mengabaikan seseorang yang membuka pintu bahkan masuk ke ruangannya. Ia tahu, itu pasti Arsen. Siapa lagi jika bukan Arsen, tak ada orang kantor yang berani masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu kecuali sahabat kecilnya itu.

Sambil menahan tawa yang hampir meledak, Arsen mengeluarkan ponselnya kemudian membuka fitur kamera. Berdiri tepat di depan meja kerja Justin, ia menangkap gambar Justin yang sedang mengerjakan pekerjaannya sambil memakan kue dari kotak makan yang dibawanya. Sedetik kemudian baru tawa Arsen meledak.

"Jangan salahkan aku jika akan ada headline yang mengatakan 'Justin Bieber, seorang milyarder muda membawa bekal ke kantor dengan kotak makan berwarna pink berisi cupcake yang menggemaskan' tersebar di beberapa koran harian, Justin! Hahaha." Justin hanya menanggapi perkataan Arsen dengan tatapan sengit.

"Jika anak kecil kau berikan kue-kue itu, aku yakin mereka bahkan tak tega untuk memakannya, Justin. Tidak sepertimu, kau terlalu jahat, Jay. Hahaha." Tawa yang menggema di ruangan malah membakar emosi Justin yang sudah memuncak. Namun Arsen bahkan tak menghiraukan tatapan tajam dari Justin. Ia terus tertawa sambil memegangi perutnya yang mulai terasa keram.

Arsen berjalan mendekat kemudian duduk pada kursi yang berada di depan meja kerja Justin setelah berhasil meredakan tawanya. Sementara Justin masih terus menatap tajam ke arah Arsen hingga sahabatnya itu mendaratkan bokongnya pada kursi di depannya.

"Apa huh? Kau mau mengusirku? Memukulku? Memarahiku? Menelanjangiku? Atau hanya akan menatapku terus seperti itu?" Tanya Arsen pada Justin yang terlihat seperti menantang karena Arsen sedikit mengangkat dagunya sambil membalas tatapan tajam Justin.

Sementara tangan Arsen yang usil mulai bergerak mengambil satu cupcake dari kotak makan Justin kemudian memakannya asal membuat krim kue tersebut mengotori sekitar mulutnya sambil masih menatap mata Justin.

'Perlombaan tatapan tajam' itu pun terpaksa berhenti karena ponsel Justin yang tiba-tiba bergetar. Keduanya pun melirik siapa penelepon yang telah mengganggu momen sengit mereka.

Setan Kecil

"Siapa, Jay? Mengapa setan bisa meneleponmu?" Arsen melirik Justin dengan tatapan heran. "Aku bingung, Jay. Mengapa kau selalu berteman dengan makhluk-makhluk aneh?"

"Ya, termasuk kau." Sarkas Justin sambil menyentuh icon merah pada ponselnya untuk menolak panggilan masuk yang sedari tadi ia diamkan.

Ponsel Justin kembali menyala, menampilkan panggilan masuk dari Setan Kecilnya lagi. Justin hanya melirik kemudian mendiamkannya, sementara Arsen terus menatap ponsel Justin keheranan. "Mengapa tidak diangkat? Siapa tahu Setan itu ada kepentingan denganmu, Justin." Kata Arsen sembari mengerutkan dahi, merasa aneh dengan ucapannya.

"Tidak penting." Ketus Justin menjawab pertanyaan Arsen seadanya. Arsen masih mengerutkan dahinya, sebenarnya siapa si Setan Kecil ini.

Lagi-lagi layar ponsel Justin menyala, menampilkan panggilan dari Setan Kecilnya lagi. Arsen yang tidak mau mati penasaran nekat mengangkat panggilan tersebut. Justin yang menyadari hal itu sontak merebut ponselnya yang berada digenggaman Arsen. Karena panggilan tersebut sudah tersambung, terpaksa Justin harus berbicara dengan si penelepon.

"Hai, Justin! Akhirnya kau mengangkat panggilanku juga." Terdengar suara gadis dari seberang membuat Arsen kembali keheranan.

"Cepat katakan sesuatu, atau aku akan mengakhiri panggilan ini." Ketus Justin menjawab ucapan si penelepon.

"Ayahku tak bisa menjemputku, Justin. Pulang sekolah nanti, kau jemput aku, ya?" Pinta gadis di seberang sana. Mungkin jika gadis itu berhadapan langsung dengan Justin, ia akan menunjukkan mata anjingnya.

"Kau pikir aku ini supirmu?! Tidak bisa, aku sibuk." Sungut Justin yang mulai terbakar emosi.

"Oh, ayolah Justin. Aku tahu kau berbohong. Aku tahu kau sebenarnya tidak sibuk. Iya, kan? Mengakulah, Justin!"

"Kau ini bodoh atau apa, huh?! Kalau kau tak percaya, kau bisa datang kemari dan melihat kantorku yang memang sedang sibuk!"

"Baiklah, jika kau memaksa. Sepulang sekolah nanti aku akan mengunjungimu. Aku tahu kau sangat merindukanku, Justin. Tunggu aku, ya. Bye, Justin!" Belum sempat Justin menjawab apa yang gadis itu katakan, sambungan telepon sudah terputus terlebih dahulu. Justin yang sudah terbakar emosi meletakkan ponselnya kasar. Ia memutar otak, mencari cara agar gadis kecil itu tidak datang ke kantornya.

Justin pun mengambil ponselnya kembali, kemudian menghubungi security. "Tolong jangan biarkan gadis kecil bernama Candice masuk ke gedung ini, apapun alasannya!"

tbc.

Sweet TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang