Kemeja Justin sedikit basah ketika ia sampai di kursi kemudinya. Jika bukan karena Candice yang ia tinggalkan sendirian di pinggir jalan, ia tak akan mau kehujanan seperti ini.Pria itu mulai menjalankan mobilnya. Justin sedikit khawatir ketika ia menyadari bahwa jarak pandang sangat pendek. Ia tak bisa menaikkan kecepatan mobilnya.
Setelah beberapa menit mengemudi, akhirnya ia melihat gerbang gedung kantornya. Justin membulatkan matanya ketika melihat Candice berdiri di pinggir jalan. Apa yang ia pikirkan? Apa ia tak punya otak? Berdiri di bawah hujan deras seperti ini.
Justin mengisyaratkan bahwa kunci pintu mobil sudah dibuka, namun Candice hanya mematung membuat Justin mau tak mau membuka kaca mobilnya. "Masuk! Kau menunggu apa lagi, huh?!"
"Bajuku basah kuyup, Justin. Nanti jok mobilmu basah." Ucap Candice dengan sedikit berteriak karena suaranya yang hampir kalah dengan derasnya hujan.
"Cepat naik, atau aku akan meninggalkanmu disini!" Geram Justin. Ia tak tahu apa yang ada di pikiran gadis kecil ini. Candice selalu bisa membuat Justin merasa tak tega.
Candice yang mendengar ancaman Justin segera masuk ke mobil dan mendudukkan dirinya disamping kemudi.
"Apa kau tak punya otak, huh?! Mengapa kau tak meneduh setelah tahu hujan deras seperti ini?!" Tanya Justin. Dari suaranya, terlihat ia berniat untuk membentak gadis itu.
"Jarak pandang disini sangat dekat, Justin. Aku takut kau tak melihatku jika aku berteduh. Bagaimana jika kau benar tak melihatku? Bagaimana aku bisa pulang?" Jelas Candice sambil memeluk tubuhnya sendiri yang mulai menggigil karena AC mobil yang masih menyala.
Justin hanya menghela napas panjang mendengar alasan yang dilontarkan gadis kecil disampingnya. Mencoba tak menghiraukan Candice yang jelas terlihat menggigil, Justin melajukan mobilnya.
Justin yang sedang melirik spion mobil bagian kiri tak sengaja melihat keadaan Candice yang sudah pucat pasi. Bibirnya memutih, telapak tangannya mengeriput, bahkan seragam yang masih basah kuyup itu kini terlihat tipis hampir transparan.
Justin memelankan kecepatan mobilnya, ia menjalankan mobilnya di bahu jalan secara perlahan sembari membuka tuxedo yang sedikit lembab karena terkena hujan. Setelah tuxedo tersebut sukses terlepas, ia tergerak untuk memberikan benda tersebut kepada gadis di sampingnya. "Pakailah!"
"Ngg- tidak perlu, Justin. Kau saja yang memakainya. Jika kau khawatir padaku, mungkin kau hanya perlu mematikan AC nya. Ini ..terlalu dingin." Ucap Candice sambil menerima tuxedo yang Justin serahkan, kemudian ia memakaikannya pada bahu Justin.
Justin mulai geram. Ia sudah berusaha mempertahankan harga dirinya agar tak terlihat peduli pada gadis ini. Namun Justin malah mendapat penolakan. Apa apaan ini?! Batinnya menggeram.
Entahlah, hanya Candice yang mampu memporak-porandakan hatinya. Candice begitu gigih mendekati Justin, namun ketika Justin mulai berlaku baik pada gadis ini, Candice akan sangat nervous. Hal itu tentu saja sangat mengganggu Justin.
Bahkan Luna, wanita yang sangat dipuja Justin itu tak pernah membuatnya kesulitan dalam beradaptasi dengan sikap dan pola pikir wanita itu. Namun Candice yang hanya gadis sekolahan mampu membuatnya seperti berada di roller coaster.
Justin seketika memberhentikan mobilnya. Ia melepas tuxedo yang hanya tersampir di bahunya itu dan memakaikannya secara paksa pada Candice. "Pakai, atau aku akan menurunkanmu di sini!" Desis Justin tepat di depan wajah Candice. Hembusan napas Justin bahkan terasa hangat di permukaan wajah gadis itu.
Disisi lain, Candice hampir mengedikkan bahunya. Ia merasa takut sekaligus berdebar. Tatapan mata Justin menusuk matanya tajam. Wajah pria itu begitu dekat membuat Candice semakin merasa kecil dihadapan Justin.
Setelah memastikan bahwa gadis kecil di sampingnya ini menurut, Justin kembali menjalankan mobilnya. Sebenarnya, ada alasan khusus mengapa Justin memberikan tuxedonya. Ya, karena seragam Candice yang terlihat transparan. Berengseklah Justin jika pandangannya terus tertarik pada tubuh Candice yang bahkan masih dalam masa pertumbuhan.
***
Justin menarik rem tangan mobil ketika tiba tepat di depan rumah Candice. Sudah beberapa menit yang lalu hujan mereda, namun rintik air masih kerap menetes tak sederas setengah jam yang lalu.
Justin memandangi Candice yang tak juga turun dari mobilnya. Ia bahkan baru menyadari jika sedari tadi gadis ini menggenggam dua permen kapas di tangannya. "Kau bilang, kau tak memiliki uang sepeserpun. Namun kau mampu membeli dua permen kapas ini? Kau membohongiku, ya?!"
"Bukan seperti itu, Justin. Tadi, ketika aku menunggumu di tepi jalan, aku ditemani oleh pedagang permen kapas ini. Namun, karena hujan segera turun, ia memutuskan untuk segera pulang. Dan ia memberiku permen kapas ini. Awalnya, ia hanya memberiku satu, namun aku teringat padamu. Aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku membutuhkan dua, untukmu." Ucap Candice. Gadis itu bergerak meraih handle pintu mobil.
Candice turun dari mobil Justin. Sebelum menutup pintu dan melangkah pergi, Candice meletakkan satu permen kapas di atas jok yang tadi didudukinya. "Untukmu. Terimakasih telah memberiku tumpangan. Maafkan aku telah merepotkanmu. Aku akan bilang pada ibuku bahwa kau sangat baik hari ini. Sampaikan juga salamku pada Paman Jeremy, katakan padanya bahwa ia tak perlu memakan cupcake buatanku hari ini, karena semuanya telah kau habiskan." Ucap Candice, ia terkikik kecil di akhir kalimatnya. Gadis itu pun menutup pintu dan berlari kecil memasuki rumahnya.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Talk
Fanfiction"Justin, kenapa kau selalu bersikap dingin pada semua orang?" "Keturunan." "Kau berbohong ya? Paman Jeremy tidak sepertimu, apa kau bukan anak kandungnya?" "Diamlah!" •i'll be coming up every thursday, insha allah. Stay tune!