7 (Flashback)

148 17 17
                                    

13 years ago...

Anak laki-laki itu sedang duduk sambil melipat kakinya di depan dada dengan sebuah buku gambar di tangan kanannya. Menunggu kedatangan seseorang yang mungkin akan kembali menyakitinya.

Anak itu terus menunggu, jam kini sudah menunjukkan pukul 1:48 AM tapi, orang yang ditunggunya tak kunjung datang.

Ia sudah berulang kali menguap karena mengantuk dan mengusap-usap kedua sisi lengannya karena hawa dingin yang begitu menusuk.

Hingga sebuah mobil hitam memasuki pekarangan rumah besar itu. Seorang wanita—Delfina— berbaju ketat sepaha keluar bersama seorang pria yang tak dikenal anak itu. Anak itu adalah, Alan kecil.

Alan kecil langsung berlari ke arah dua orang dewasa itu dan meraih jari-jari lentik Delfina—mamanya— yang terlihat mendengus ketika Alan menghampirinya.

"Mama coba lihat ini." Alan menunjukkan gambar yang ada pada buku gambarnya itu.

Delfina memutar bola matanya malas. "Apaan sih lo. Minggir!"

Delfina mendorong tubuh mungil Alan ke samping hingga tersungkur. Rasa nyeri menghinggapi lutut kecilnya namun, Alan kembali berusaha berdiri meski sulit.

Ia kembali mengejar mamanya yang kini sudah akan memasuki pintu besar itu.

"Mama, tolong lihat ini. Alan ngegambar Papa, Mama sama Alan. Bagus enggak, Ma?"

Delfina tampak tidak perduli dan terus berjalan ke arah tangga sambil bergelayut manja di lengan pria yang ada di sampingnya itu.

Alan meletakkan buku gambarnya di meja yang ada di dekat tangga. Kedua mata Alan memanas, ia merasa sangat sedih sekarang. Tapi, rasa sayangnya pada mamanya jauh lebih besar sehingga ia kembali berlari ke arah Delfina.

"Ma!"

Ia kembali berhasil meraih tangan mamanya.

"Mama kenapa selalu sama Om ini?" tanya Alan sambil menunjuk ke arah pria tadi. "Nanti Papa sedih, Ma."

Delfina melepaskan pegangan tangan Alan pada jarinya cepat, lalu menatap anak berambut coklat itu dengan tajam.

"Lo jangan ikut-ikutan! Dan soal papa lo itu, gue gak perduli. Masih mending gue mau tinggal satu rumah sama dia," ucapnya masih terus menggandeng pria tadi. "Dan seharusnya lo bersyukur karena gue masih ngebiarin lo hidup selama ini. Jadi, jangan pernah ganggu gue lagi. Ngerti!"

Delfina mendorong tubuh Alan dari tangga, Alan yang kehilangan keseimbangan dan tidak ada benda yang bisa dijadikan tumpuan pun terjatuh ke bawah dari tangga. Delfina tersenyum miring. "Mati aja lo sekalian!"

Tepat pada waktunya, Jonathan menangkap tubuh mungil Alan yang akan terjatuh ke lantai. Ia memeluk anak satu-satunya itu erat. "Kamu enggak pa-pa kan, Sayang?"

"Alan enggak pa-pa, Pa," jawab Alan dan tanpa sadar setetes cairan bening mengalir di pipinya yang dingin.

Melihat itu Jonathan merasa gagal sebagai ayah, ia mengusap air mata Alan lembut sebelum berjalan dengan segala kekecewaannnya ke arah Delfina.

Plakk!

"Cukup kamu menyakiti aku Delfina, jangan sakiti Alan. Dia anak kita, anak kamu!"

Delfina tercengang sambil memegang pipinya yang terasa panas. Alan yang melihat itu segera berlari ke arah orang dewasa itu.

"Papa jangan sakitin mama! Alan enggak pa-pa, Pa." Setetes cairan bening jatuh dari matanya yang sembab yang diikuti tetesan lain. Dengan cepat Alan menghapusnya. "Papa yang bilang kalo kita sebagai laki-laki enggak boleh nyakitin perempuan. Tapi, Papa udah nyakitin mama, Pa!!"

Ia segera berlari ke arah Delfina dan memeluknya dengan erat.

"Lepas!" Delfina menatap ke arah Jonathan. "Asal lo tahu, ya gue enggak pernah nganggap dia anak gue. Dan lo nampar gue?! Dengan itu lo tambah ngebuat gue yakin kalo gue harus ninggalin kalian. Seharusnya lo bersyukur karena gue masih mau ngelahirin dia waktu itu!!! Gue enggak pernah mau punya anak dari cowok kayak lo!"

Jonathan meneteskan air matanya namun, ia dengan cepat menghapusnya dan menundukkan tubuhnya. Ia menghapus air mata Alan pelan dan tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.

"Alan, kamu masuk ke kamar duluan saja ya, Sayang. Papa mau ngomong dulu sama mama kamu."

Alan kecil hanya mengangguk dan tersenyum tipis lalu pergi meningglkan ketiga orang dewasa itu.

Saat Alan sudah tak lagi terlihat barulah Jonathan kembali menatap Delfina yang masih setia bergelayut di lengan pria itu. Melupakan jika pria yang ada dihadapannya sekarang adalah suaminya.

"Aillard, tolong pergi dulu dari sini." Jonathan menatap Aillard dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Apa-apaan lo nyuruh Aillard pergi, hah?!" Delfina menghampiri Aillard yang sedang berjalan santai menuju pintu. "Aillard kamu enggak perlu pergi dari sini."

Aillard melepaskan tangan Delfina yang menahan tangannya. "Delfina, lo harus ngomong yang sopan sama Nathan. Dia suami lo. Gue enggak mau kalo nanti punya istri yang kurang ajar!"

Delfina terdiam sebentar tapi saat dia akan berkata lagi Aillard sudah tak terlihat. Dengan berat hati Delfina akhirnya kembali ke arah Jonathan.

"Aku mau kita cerai. Aku sudah tidak tahan melihat perlakuan kamu ke Alan dan aku juga tidak mau nantinya menjadi pria brengsek yang memukul wanita, Delfina."

Delfina tercengang, ia tidak menyangka Jonathan akan menceraikannya. Selama ini ia hanya mengancam Jonathan akan meninggalkan rumah jika Jonathan menceraikannya. Karena ia berpikir Jonathan sangat mencintainya. Tapi, ternyata ia salah rasa sayang Jonathan pada Alan jauh lebih besar.

Delfina belum siap kehilangan semua kemewahan ini. Aillard memang kaya namun kekayaannya masih belum bisa mengalahkan Jonathan. Tapi, Delfina akan sangat malu jika ia menolak permintaan Jonathan.

"Oke. Gue juga nikah sama lo cuma karena harta. Dan lo tahu itu!" Ia melipat tangannya di dada. "Dari dulu yang berjuang itu cuma lo. Dan gue juga udah pernah bilang kalo gue enggak mau nikah sama cowok culun kaya lo! Tapi, karena orang tua lo maksa gue dan saat gue tahu lo itu anak orang kaya. Ya, apa boleh buat." Ia tersenyum miring.

"Jadi jangan pernah ngerasa kalo gue cinta sama lo. Karena itu nggak dan enggak akan pernah terjadi. Ingat itu, Nathan!"

Dengan sangat amat berat hati, Delfina pergi dengan gaya angkuhnya meninggalkan semua kemewahan itu.

Jonathan merasa tak punya apa-apa lagi yang bisa diharapkan. Cintanya telah pergi. Ia tahu jika Delfina adalah wanita dari kalangan tidak mampu namun, ia tak pernah mempermasalahkan itu. Ia juga tahu jika Delfina hanya membutuhkan uangnya tanpa Delfina memberitahunya. Karena ia sangat mencintai Delfina dan ia berharap jika Delfina akan merasakan hal yang sama suatu saat nanti.

Tapi, ia tak pernah menyangka Delfina akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan itu secara langsung.

Jonathan menangis, ia kehilangan tiga orang sekaligus malam ini. Istri, ibu dari anaknya, dan cinta pertamanya.

Tanpa sadar ada seseorang yang memperhatikan dan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Jonathan.

"Alan akan bawa mama kembali, Pa. Jangan sedih..."

***

Btw ini bukan Joanna lagi, ya. Akun ini udah dia kasihin ke gue. Karena katanya dia mau fokus dulu nulis ff di akun ini gulapedas

But, buat covernya gue ga akan ganti karena ini emang cerita kan buatannya Joanna jadi gue cuma bantu lanjutin doang. Dan setiap cover dari cerita yg nantinya gue pubh akan tetap make nama Joanna.

Dan kenalin gue, Aira. Gue yg bakal lanjutin story ini. Ok see you later^^

Btw, thank you so much buat 2k read nya gaes. SARANGHAEYO^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Untouchable PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang