Harry sama sekali tak fokus pada penjelasan guru sastranya saat ini. Seluruh pikiran alam sadar dan bawah sadarnya terjebak dalam hal yang kemarin terjadi. Ia mengetuk-ngetukkan bolpoinnya pada buku tugasnya. Perlahan, ia menggeserkan buku tersebut. Di bawahnya terdapat buku dongeng tua yang kemarin ia jumpai di rumah Gemima.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Zayn berbisik. "Simpan buku itu, jangan mengeluarkannya di sini."
Harry memejamkan matanya sekali. Bayangan wanita itu kembali hadir, mirip Gemima hanya lebih keibuan. Suaranya menangis kali ini, terdengar amat pilu di telinga Harry. Pria itu mencoba membuka matanya, namun ia tak mampu.
Wanita dalam mimpinya itu tampak lebih jelas kali ini. Suaranya pun tak lagi sekedar berbisik, bahkan terdengar jelas.
"Bantu aku ... pulanglah, pulanglah ... "
"Enyahlah!" Harry berteriak dan membuka matanya spontan.
Kini seluruh kelas menatapnya heran, bahkan dosennya terlihat garang daripada saat menemukan Harry tertidur di kelasnya. Harry hanya bisa diam selagi merapikan buku-bukunya dan kembali duduk tenang.
"Saya tahu anda tidak memerhatikan penjelasan sama sekali. Saya minta anda keluar dari kelas sekarang!"
Harry tak bisa berkata-kata, bahkan Zayn yang notabenenya hari itu hanya mengambil kelas tambahan juga tak berkutik. Harry bangkit dari bangkunya, meraih tas serta bukunya yang tak dimasukkan ke dalam tas, kemudian ia enyah dari kelas dengan cepat tanpa berpikir ulang.
Begitu ia menutup kembali pintu kelas dan berbalik, awan hitam menyambut matanya. Pukul sembilan kali ini nampak seperti pukul tiga sore. Semilir angin menaikkan bulu kuduk Harry dan sontak saja buku-buku pada pelukannya terjatuh.
"Sial," gerutunya selagi kemudian berlutut dan merapikan kembali buku-buku tersebut.
Selagi ia mengambil buku terakhir, sebuah kursi roda berhenti tepat di depannya. Ia menengadahkan kepalanya selagi menjumpai wajah ramah Louis di hadapannya. Saat Harry berdiri, Louis kemudian menyerahkan selembar kertas pada Harry.
"Mengapa bisa ada pada dirimu?" tanya Harry heran. Itu adalah satu halaman lain yang ada pada buku.
"Tertiup angin mungkin. Aku rasa terima kasih lebih enak didengar, Styles." Louis terkekeh.
Harry tak memerdulikan Louis. Beruntung ia tak kehilangan satu pun halaman pada buku tersebut. Saat hendak berbalik, Louis memanggil Harry untuk menahan kepergian pria ikal tersebut. Harry berbalik lagi pada Louis selagi mulutnya menggerutu malas dan mengumpat pelan.
"Aku tertarik pada buku itu."
Harry mengangkat sebelah alisnya, ia pun menengok ke arah buku dongeng pada pelukannya. "Buku tua ini atau buku sastra? Kau juga ingin belajar sastra seperti Zayn agar bisa mengalahkannya pula?"
Louis meringis dan menunduk untuk menyembunyikan seringainya dari Harry. Mata biru lautnya kembali menatap Harry sinis. "Aku tidak ingin lagi menyaingi temanmu itu. Tugasku lain dan berbeda jauh dari hal tidak penting seperti itu."
"Apa maksudmu?"
Louis menyentuh alat kendali kursi rodanya. Ia kemudian mundur sedikit dari hadapan Harry dan kemudian mengatakan sesuatu, "Mereka mengatakan membaca adalah jendela ilmu. Maka bacalah jika kau ingin tahu."
*
Flora duduk di sebuah bangku panjang di ujung taman kampus. Ia membolak-balik buku mata kuliahnya sambil menulis sesuatu di atas selembar kertas. Kacamata membingkai wajah cantiknya sempurna. Hingga Harry kemudian duduk di sebelahnya, Flora menghentikan aktivitasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Utopian
Fiksi PenggemarNegeri dongeng adalah sebuah tempat di mana kau akan menemukan banyak sekali makhluk khayalan yang sejatinya tidak nyata. Tempat di mana anak-anak kecil menemukan kebahagiaan dalam mimpinya. Juga tempat di mana segala sesuatunya dapat menjadi kenyat...