7 √

88 26 1
                                    

Author's POV

Di pagi hari setelah kepergian Jack, Perry, dan Hudson, kepala desa menyuruh tangan kanannya untuk mengumpulkan warga desa di halaman depan rumahnya. Mengapa kepala desa tak ingin mengumpulkan warga di tanah lapang? Karena kali ini akan membicarakan sesuatu mengenai portal itu. Ini akan menjadi misi rahasia. Maka dari itu, lokasi pengumpulan warga ditempatkan sejauh-jauhnya dengan lokasi portal.

Setelah semua warga berkumpul di tanah yang cukup luas itu, Erward sang kepala desa mempersilakan Alex untuk menjelaskan tujuan dari pengumpulan ini.

Alex memulai pembicaraannya dengan menceritakan keresahannya terhadap dunia.

"Akhir dari perang di tahun kemarin bukanlah suatu akhir dari semuanya. Ancaman mulai datang dari dunia luar. Seperti yang telah kita ketahui, walaupun portal itu menjanjikan sebuah kekayaan kepada kita. Walaupun portal itu menunjukkan apa yang kata mereka adalah masa depan. Tapi, kita tidak bisa langsung memercayainya begitu saja. Siapa pun bisa menjadi siapa pun. Jika portal itu percaya bahwa masa depan akan nampak sehancur itu, maka kita harus percaya akan adanya dunia paralel ... " para warga mengangguk tanda setuju dengan perkataan yang baru saja Alex lontarkan, "bila kita bisa menjaga dunia di hari ini, maka tak akan ada lagi kekacauan di masa depan." Alex menatap ke arah para warga yang sudah masuk ke dalam pembicaraannya, "Bila kita bisa memperhitungkan kemungkinan tentang ancaman yang akan terjadi dan siap untuk melawan, maka tak akan ada masa depan yang tampak seperti dalam portal itu," Alex meringis ngilu saat membayangkan betapa sengsaranya ia bila masa depan yang ditunjukkan portal itu benar-benar terjadi. "Maka dari itu, aku ingin mengajak para warga untuk melatih diri." Kebisingan mulai terdengar ketika warga saling berbincang untuk memberikan pendapat mereka masing-masing.

Alex mengangkat telunjuknya sampai di atas kepalanya untuk mengembalikan keadaan yang kondusif.

"Tak ada bantahan sama sekali. Semua warga perlu dan wajib mengikuti pelatihan ini!" Alex mulai geram saat mendengar keluhan warga yang tidak ingin ikut serta ke dalam rencananya.

"Semua ini demi kebaikan kita semua. Demi kebaikan dunia kita tercinta." Dengan itu, Alex menutup pidatonya, lalu ia pergi dari kerumunan orang-orang yang tengah memperdebatkan rencananya.

***

Rumah kepala desa di siang itu terlihat sangat sesak karena tengah menerima surat persetujuan dari para warga. Satu persatu warga menyerahan surat persetujuan kepada Edward.

Setalah pidato Alex selesai di pagi hari tadi, sekretaris desa membagikan surat persetujuan kepada semua warga untuk menandatangani perjanjian bahwa mereka akan ikut serta dalam proses pelatihan.

Setelah kerumunan warga sudah menghilang, Alex memasuki rumah kepala desa untuk memastikan bahwa semua warga desa menandatangani dan menyetujui rencananya.

Alex menghampiri Edward yang baru saja selesai dengan pekerjaannya. Ia duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Edward.

"Bagaimana? Apakah semua warga bersedia untuk mengikuti pelatihannya?" Alex menyimpan kedua tangannya di atas meja, lalu menggenggamnya.

"Beruntunglah karena sepertinya para warga telah menyelesaikan perdebatan di pagi hari tadi. Semuanya setuju, tanpa terkecuali. Bahkan orang tua sekalipun ikut serta dalam pelatihan ini."

Alex menyengir lebar atas jawaban yang diberikan oleh Edward.

"Kita akan memulainya besok pagi. Sepertinya kita membutuhkan tempat lapang yang jauh dari portal itu. Apakah masih ada tempat yang bisa kita andalkan selain menghanguskan ladang gandum?" Alex menaruh nada humor di akhir kalimatnya.

"Aku akan sangat sedih bila mengizinkanmu untuk membumihanguskan anak-anakku." Edward pasti bercanda, tak mungkin ia menganggap gandum-gandum itu sebagai anak-anaknya sendiri.

Namun, bukannya lucu, humor Edward itu malah membuatnya teringat akan seseorang-Jack-. Ia sudah mendengar kabar tentang Jack yang melarikam diri menuju portal itu. Ia cukup terpukul akan kenyataan itu. Anak kandungnya yang telah ia besarkan pada akhirnya meninggalkannya. Jack lebih memilih untuk percaya pada bedebah itu, bukan ayahnya sendiri.

Alex mengerti kemana pembicaraan itu menuju, maka ia pun bangkit dari duduknya untuk pamit pulang.

***

Alex membuka pintu kamarnya, lalu mendapati Elena yang tengah merenung di atas kasur. Belakangan ini memang begitu banyak bahan pikiran untuk mereka berdua. Alex merasa bersalah karena menjerumuskan Elena untuk memikirkan urusannya. Ia tak ingin melihat Elena murung terus-menerus, tapi ia juga tak tahu harus berbuat apa untuk merubah keadaan saat ini.

Alex melepas sepatu yang ia kenakan, lalu bergabung ke atas kasur bersama Elena. Elena baru menyadari kehadiran Alex saat ranjangnya mulai berdecit. Tipikal ranjang tua.

"Bagaimana hasilnya?" Elena mengalihkan pandangannya pada mata milik Alex. Namun, jiwanya tak sepenuhnya memberi perhatian pada kehadiran Alex, permasalahan yang ia hadapi lebih mendominasi otaknya saat ini.

"Sangat baik!" Alex tersenyum pada Elena. Ia memerhatikan setiap lekukan wajah Elena dari jarak yang sudah tak terhitung. Walaupun ini siang hari, tapi tetap saja kamarnya terlihat gelap karena jendela yang sudah tua dan tak bisa meneruskan cahaya untuk masuk. Tapi, Alex masih bisa melihat setiap lekukan wajah cantik milik Elena.

Elena mulai menitik-beratkan perhatiannya pada Alex. Degupan jantungnya sudah tak terkontrol untuk saat ini. Ia tak mau melewatkan momen ini begitu saja. Melihat wajah kekasihnya yang semakin hari semakin tampan, membuatnya semakin mencintainya. Rahangnya yang tegas dan sangar tidak pernah merubah persepsinya terhadap bagian tergalak dari Alex. Ia tetap menganggap bahwa Alex adalah kekasih yang sangat manis, namun ia tak pernah menunjukkannya kepada orang lain. Biar hanya Elena yang mengetahui itu. Biar hanya Elena yang tahu akan sisi paling sempurna darinya.

Elena menangkup wajah Alex dengan sebelah tangannya, lalu ia menggerakan tangannya ke bawah menuju lehernya. Sentuhan itu menghasilkan kegelian untuk Alex.

Elena menggerakan tangannya lagi menuju bagian belakang dari leher kekasihnya, lalu ia menariknya agar ia dapat lebih mudah mencapai bibirnya. Elena mengusap bibir kekasihnya itu dengan ibu jarinya terlebih dahulu, menunggu reaksi dari kekasihnya.

Alex yang kini semakin memanas tak dapat menahan lagi. Ia menyingkirkan tangan Elena dari bibirnya, lalu ia mencium bibir Elena dengan laparnya. Elena membuka mulutnya sehingga lidah kekasihnya itu bisa bergerak bebas di dalam sana.

Keduanya kini sudah sama panasnya. Elena mendorong tubuh Alex sampai ia terbaring di atas kasur. Tangan mungil miliknya kini bergerak ke arah rambut Alex yang lembut. Ia menariknya perlahan saat Alex menciumnya lebih dalam. Tak kalah dari tangan El, kini Alex menelusuri punggung Elena dengan sentuhannya yang menggelikan. Tangannya bergerak masuk ke dalam kaus yang Elena kenakan. Elena kini mengerang saat merasakan sengatan listrik yang Al berikan.

"Show me your ability!" El menggoda Alex dengan bisikannya.

Alex pun menyengir lebar, lalu membalikan posisi mereka. Ia mencium setiap bagian dari wajah Elena, dan sesekali menghisapnya. Bibirnya turun menuju leher milik Elena, lalu menhisapnya dengan keras. Ia menggoda Elena dengan memainkan lidanya di sekitaran lehernya.

"Get in ... " desah Elena.

T. B. C


Give me your votes to get the 'wild day' :v

SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang