art of letting go

1.6K 220 14
                                    

"Your love stayed in the back of my head and a house full of memories is where I lived. Right when I came home, oh no, there I go."


"Wah, aku sih tidak mengharapkan Min Yoongi itu datang."

Wendy menaikkan kedua pundaknya. "Dia teman baikku sekarang."

Chanyeol sudah mendengar kisah salah satu nama mantan Wendy yang ia tahu. Chanyeol harap sesi ini akan segera berakhir.

———

Setelah berhasil mengambil gelar sarjana ekonomi, Wendy memutuskan untuk kembali ke Korea Selatan. Meskipun Toronto terasa begitu menyenangkan tapi tidak ada yang bisa mengalahkan pesona Seoul bagi Wendy.

Wendy bekerja pada sebuah label kosmetik yang baru saja berdiri, jadi gedung yang disewa belum memiliki banyak lantai. Ruangan Wendy terletak di lantai dua dan menghadap langsung ke jalan raya. Hiruk pikuk dan ramainya jalanan adalah hal yang sangat ingin Wendy nikmati dari balik jendela kantornya dikala merasa penat. Diam-diam Wendy kerap membayangkan apa berada di dalam pikiran orang-orang itu. Tak sedikit Wendy melihat senyum tipis terukir di wajah mereka, dan tentu tidak sedikit pula Wendy melihat ekspresi datar mereka. Melihat keramaian yang ada justru membuat Wendy sedikit tenang. Mata Wendy terkadang sering menangkap seorang lelaki sedang memainkan gitarnya di taman seberang. Surai lelaki itu bewarna hitam dan ia selalu mengenakan jaket kulitnya. Dari kejauhan Wendy tidak bisa melihat wajah lelaki itu. Anehnya Wendy kerap kali merasa mereka saling bertatapan.

Malam itu Wendy lembur karena harus mengurusi laporan keuangan perusahaannya. Tiba-tiba perutnya lapar dan Wendy hendak menuju mini market dua puluh empat jam untuk menikmati segelas ramyeon atau jika beruntung menemukan nori. Letak mini market yang Wendy maksud tidak begitu jauh namun perasaan Wendy mendadak kurang enak ketika melihat beberapa pria sedang bergerombol. Lagipula sekarang menunjukkan pukul sebelas malam jadi wajar saja jika Wendy menjadi paranoid. Wendy bukanlah perempuan yang memiliki keberanian tanpa batas dan ia sama sekali tidak memiliki bekal ilmu bela diri. Sayang, sejak dulu kepala keluarga Son sudah memaksa Wendy menekuni salah satu ilmu bela diri. Selain untuk alat untuk membela diri, kemampuan tersebut dipandang sebagai nilai plus oleh perusahaan-perusahaan ternama.

Wendy mondar-mandir sambil berpikir bagaimana caranya menyelamatkan diri sekaligus menyelamatkan perutnya juga. Sampai Wendy merasakan sebuah tangan menggenggam tangannya.

"Maaf?" Wendy mencoba untuk melepaskan tangannya dari genggaman tangan lelaki asing ini.

Lelaki itu membalikkan badannya, sekilas Wendy tampak tidak asing. "Kau mau melewati jalan itu bukan?"

"Ya."

"Ayo kalau begitu." Sekali lagi lelaki itu meraih tangan Wendy dan menggenggamnya.

Kali ini Wendy mengikuti lelaki itu saja, akhirnya mengerti apa maksud dari lelaki ini. Untung saja Wendy tidak nekat melintasi jalan sendirian, kalau tidak mungkin dirinya sudah masuk ke dalam koran berita harian kriminal. Pasalnya, sudah berkamuflase layaknya sepasang kekasih saja. Wendy masih bisa merasakan tatapan mereka yang siap untuk melahap dirinya tanpa sisa. Kontan, Wendy mengeratkan genggamannya.

"Enyahkan mata kalian dasar bajingan!"

Aduh, umpat Wendy dalam hati. Mendadak adrenalin wanita itu meningkat tajam, takut kalau salah satu dari gerombolan pria itu tidak terima oleh sikap lelaki asing yang sedang menggenggam tangannya ini. Wendy anggap mereka sedang malas mengeluarkan tenaga untuk berkelahi karena dirinya dan lelaki itu berhasil melewati mereka dengan mulus. Tidak seperti apa yang Wendy bayangkan setelah lelaki itu memutuskan membuka mulutnya dan berhadapan dengan maut.

Guys Wendy has datedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang