Chapter 24

541 43 8
                                    



(Author POV)
Ketika dua orang memutuskan untuk menikah, mereka telah menggadaikan diri untuk satu sama lain. Bukan hanya sebatas janji dan komitmen, lebih dari itu, menyerahkan jalan hidup untuk bersandar pada pasangan. Pernikahan berarti mempercayakan hidup kita di tangan pasangan dan menerima hidup pasangan di tangan kita. Kita memberi kebebasan penuh pada pasangan untuk menjaga dan melindungi segenap diri kita atau justru sebaliknya mempermainkan dan mengabaikannya.

+

Ji Woo menatap kosong jalanan yang mereka lewati melalui kaca jendela. Pikirannya terlalu penuh hingga dia tidak mampu memilah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Perbuatan gilanya dengan Jimin satu jam lalu menguras tidak hanya kekuatan fisik tapi juga emosinya. Tubuhnya sangat lelah, dia ingin beristirahat, sialnya setiap kali dia memejamkan mata yang terbayang wajah Taera diikuti memori sumpah pernikahannya di hadapan Tuhan dulu. Dia ingin menangis sekerasnya, namun dia tidak ingin menyakiti perasaan Jimin di sampingnya.

Ketika dia menerima Taehyung sebagai pasangannya, dia berjanji untuk setia dalam susah maupun senang, untuk menerima dalam mudah maupun sulit, untuk memaafkan dalam ringan maupun berat, namun dia sadar bahwa dia telah dengan penuh kesadaran dan atas keinginan sendiri mengingkari setiap sumpahnya.

Bukan, bukan menyesal karena telah mengkhianati Taehyung, yang Ji Woo sesalkan adalah gagalnya menjaga diri, gagal memenuhi janjinya pada Tuhan. Kegagalan Ji Woo untuk bertahan menjaga dirinya bersih dan berdiri tegak, kokoh, mantap pada prinsipnya, menjaga diri sebagai istri di hadapan Tuhan, membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia adalah seorang perempuan bermartabat.

Pada kenyataannya dia limbung dan ambruk, terseret arus hingga semua janji yang dia jaga pada Tuhan - pada diri sendiri - pada suaminya - pada putrinya, gugur, berserakan seperti daun maple di musim gugur. Semua berserakan satu jam yang lalu, saat dia memilih menyerah sepenuhnya pada pernikahannya dan menjatuhkan diri ke rengkuhan Park Jimin. Ji Woo tidak pernah merasa se-gagal ini.

"Noona, gwenchana?" sapa Jimin lembut, mengeratkan genggaman pada tangan Ji Woo, menambahkan elusan lembut di sana – sesuatu yang konstan di terima Ji Woo tiap kira-kira 10 menit sekali sejak mereka selesai bercinta satu jam lalu – sementara pandangannya tetap fokus pada jalanan.

"Nee, nan gwenchana, aegya." jawab Ji Woo tak kalah lembut, menyunggingkan senyum lembut separuh palsu. Dia bisa melihat pipi Jimin sedikit bersemu karena nama panggilan yang Ji Woo sematkan.

"Eumhh, Noona, apa Noona tidak nyaman dengan keadaan kita? Sejak tadi Noona hanya diam dan seperti tidak fokus pada apapun." ujar Jimin lagi.

"Ani, aku hanya lelah Jimin-ah, ahh rasanya badanku sakit semua, kau tadi benar-benar – sudahlah, aku tidak mau melakukannya lagi di mobil." jawab Ji Woo menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, malu atau sebenarnya menutupi rasa sesal di matanya.

"Ummm... itu... aku, karena aku terlalu bahagia bisa memiliki Noona, jadi aku- uhmm, maafkan aku Noona." ucap Jimin dengan nada merajuk, wajahnya memerah lagi karena malu.

"Harusnya aku yang malu, kenapa malah kau yang seperti kepiting rebus!" tegur Ji Woo menelengkan kepalanya, melihat lebih jelas ke arah Jimin.

"Aishh, tentu saja aku malu, kita baru saja berbuat yang tidak-tidak di mobil managerku, aishh ini sangat memalukan." keluh Jimin.

"Kau tidak memikirkan hal semacam ini satu jam yang lalu Jimin-ah." balas Ji Woo mengingatkan.

"Noonaaa ~~" Jimin setengah merajuk, membuat Ji Woo tertawa menang sebelum melingkarkan tangannya memeluk Jimin, tak peduli pria itu tengah sibuk menyetir.

Jimin yang sempat terkaget seketika kembali santai, tangannya yang bebas tergerak memeluk balik Ji Woo, kemudian mengelus dan menciumi pucuk kepala wanita itu diiringi senyuman.

"Terimakasih Noona, telah memberikanku kesempatan, aku tidak akan menyia-nyiakannya." gumam Jimin teredam di pucuk kepala Ji Woo.

Tak ada jawaban dari yang diajak bicara selain semakin mengaratkan pelukan dan menyandarkan kepala di bahu kokoh Jimin.

'Maaf Jim, harus menggunakanmu seperti ini' batin Ji Woo dengan mata terpejam erat.

+

(Heeyoung POV)
Suara tangis bayi memecah fokusku saat membereskan kamar. Taera menangis? Kemana ibunya?

Aku menuruni tangga ke arah kamar Kim Taera. Membuka pelan pintu kamarnya, dan benar lah, Taera tengah menangis di atas kasur. Aku menggendong si kecil dalam lenganku dan menenangkannya. Mungkin dia lapar.

"Unnie?" Apa Jiwoo Eonnie tidak ada di rumah?

"Unniee." Aku mencarinya ke kamarnya. Tidak ada. Di dapur, taman depan, garasi, lantai atas bahkan gudang dan kolam renang di belakang rumah tidak ada keberadaannya sama sekali. Taehyung pergi beberapa saat lalu, kupikir pencari Jimin, apa Unnie ikut dengan Taehyung? Tapi aku tidak mendengar dia pergi dan setahuku, Kim Jiwoo tidak pernah berpisah dari Kim Taera barang satu senti pun.

Tangis Taera tak kunjung reda. "Jiwoo Unnie?" Tapi apa dayaku memanggilnya jika yang punya nama pun tak ada di rumah.

"Mianhe." Ucapku pada gadis kecil ini. "Sepertinya Eommamu tidak ada di rumah." Aku menimangnya pelan, tangisnya sudah cukup berhenti, namun segukan kecil masih tersisa di bibirnya.

"Kau lapar anak manis?" Aku menyentuh pipinya yang berisi, bayi mungil itu mengikuti jemariku. "Kita lihat apa ada makanan di rumah untukmu."

Beruntunglah, di rumah masih tersedia susu bubuk juga takaran yang ada untuk si kecil, seraya menggendong Taera yang sudah tak menangis aku membuat susu untuknya. Berbekal dari mesin pencaharian cara yang baik dan benar untuk membuatnya, semuanya selesai.

"Noona tidak di rumah?!" Selang beberapa menit Taehyung datang. Aku menghubunginya saat mencari susu untuk Taera tadi, sebab sampai saat ini aku tidak mempunyai kontak Jiwoo Unnie.

"Mungkin keluar sebentar."

"Taera mana?"

Aku menariknya perlahan menuju kamar Taera yang tengah bermain dengan bonekanya.

"Unnie tidak pernah meninggalkan Taera."

"Ya aku tahu, dan Jimin," Rahangnya mengeras. "Susah dihubungi."

"Kenapa Jimin Tae? Kau seharusnya menghubungi Jiwoo Unnie bukan Park Jimin." Apa dia mau membuat perhitungan karena ulah Jimin semalam?

"Aku yakin mereka pasti sedang bersama sekarang."

"Tidak baik mencurigai istrimu sendiri," Aku meraih telapak tangan Taehyung. "Oppa tenanglah."

Tidak hanya aku, bayi perempuan kecil itu ikut berguling ke arah Taehyung dan ikut mengelus telapak yang aku genggam.

Taehyung tersenyum mengelus pipi Taera. Diangkatnya putrinya dan ia dudukan di pangkuannya. "Mianhe.." Dia menghela nafas berat. "Appa tidak bermaksud menyakiti Eommamu Taera-ah." Aku yang tak mengerti letak permasalahannya hanya bisa menatap Taehyung. "Appa tidak sengaja hampir menampar Eomma.."

Kedua mataku membelak. Yang benar saja? Apa yang Taehyung lakukan itu-

"Appa salah, Appa emosi waktu itu, Appa ingin meminta maaf kepada Eomma, apa Eomma akan memaafkan Appa?"

Taera mengangguk mengelus pipi Taehyung. Aku masih tidak percaya dengan apa yang Taehyung bilang.

BERSAMBUNG

SCATTERINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang