Chapter 11

335 31 6
                                    

(Ji Woo POV)
To : Taera Appa

"Tae, jika kau tidak mampu meninggalkannya maka pulanglah dengan membawanya padaku. Atau jika kau tidak mampu membawanya padaku, bawa aku padanya."

Setelah semalam mengirim pesan seperti itu apa yang aku harapkan? Tentu saja Taehyung yang membalasnya dengan permintaan maaf dan berkata dia kan meninggalkan perempuan itu. Kenyataannya, sampai detik ini tidak ada satupun pesan, panggilan ataupun Kim Taehyung sendiri yang sampai padaku. Nihil. Walau demikian aku masih menyimpan harapa, masih ada skenario lain, misalnya Taehyung datang kemudian berlutut dihadapanku, secara langsung mengatakan dia telah menyingkirkan perempuan itu dari kehidupan kami, saat ini dan untuk selamanya.

Meskipun aku iba dengan keadaan, Lee Hee Young - kurasa itu nama perempuan itu - yang sedang hamil muda, tetapi Kim Taehyung adalah suamiku. Bukankah seharusnya Lee Hee Young yang tau diri dengan permintaanku pada Taehyung. Jika dia perempuan baik-baik - ralat, dia jelas bukan perempuan baik-baik. Perempuan baik-baik macam apa yang tidur berkali-kali dengan suami orang hingga hamil di luar nikah? Kalaupun dia bukan perempuan baik-baik, paling tidak aku berharap dia masih tergolong perempuan baik. Aku harap dia tahu diri dan pergi menghilang atas kehendaknya sendiri.

Mungkin aku terdengar kejam pada perempuan itu, aku turut prihatin atas kondisinya, tapi aku tidak punya banyak pilihan. Aku tidak akan mampu mengusirnya dari hidup Taehyung. Aku tahu diriku dengan baik, aku bukan jenis orang yang akan ngotot menyingkirkan apapun yang melintang di tengah jalan. Pun aku bukan jenis perempuan berhati malaikat yang akan tulus ikhlas berbagi suami. Aku... perempuan biasa.

Jam dinding masih menunjukan pukul 4 pagi. Aku menatap Taera yang tengah terlelap di pangkuanku setelah kenyang menyusu tadi. Lebih dari apapun, putriku adalah harta yang paling berharga, permata yang akan aku jaga dengan segenap jiwa. Kehadiran perempuan itu, bukan hanya menghancurkan hatiku tetapi merupakan ancaman bagi Taera. Semakin aku pikirka aku semakin ragu dengan langkah yang aku ambil. Tapi aku juga tidak berani menantang Taehyung untuk memilih antara kami atau mereka. Aku takut jiika Taehyung memilih mereka daripada kami.

Pernikahanku dengan Taehyung bukan sesuatu yang sepele. Segala kesulitan yang telah aku alami demi menyandang marga Kim ataupun setelah bergelar Nyonya Kim bukan hal yang bisa aku relakan begitu saja. Hubungan super rahasia, perjanjian pra-nikah, tidak ada perayaan pernikahan, tidak ada pesta impian seperti yang dialami setiap perempuan untuk pernikahannya. Demi bersama Taehyung, segalanya aku tanggung hanya demi untuk bersama Taehyung. Lebih dari itu, saat ini aku tidak punya pegangan apapun selain suamiku, baik itu secara mental maupun fininsial. Apa yang akan terjadi jika aku tanpa Taehyung?

Aku mendesah berat untuk kesekian kalinya, membuat Taera menggeliat kecil karena terkejut. Buru-buru aku menepuk-nepuk pahanya agar ia kembali lelap. Setelah yakin Taera terlelap dalam tidurnya, kuputuskan untuk menidurkannya dalam box bayi. Aku tengah menepuk-nepuk pelan paha Taera - yang tadi sempat menggeliat kecil karena dipindahkan ke dalam box - saat bel rumahku berbunyi.

Tanpa dikomando, jantungku berdetak dua kali lebih kencang. Tidak perlu waktu satu detik bagi benakku untuk merapal nama Taehyung, sebagai pelakunya. Begitu yakin Taera tidak akan terbangun, aku segera berjalan cepat ke pintu depan. Ingin segera menghambur ke tuas pintu dan mendorongnya terbuka. Namun, tiga langkah sebelum meraih tuas pintu depan, langkahku terhenti mendadak, teringat sebuah nama lain yang tertinggal, Lee Hee Young. Hanya dengan mengingat nama itu langkahku gontai, seolah sebuah pisau tajam ditikamkan ke jantungku. Mataku mengerjap berkali-kali ketika mendengar bel kembali dibunyikan. Aku menghela nafas panjang, mencoba menetralkan sakit di dadaku. Siap atau tidak, aku harus menghadapi mereka berdua.

Kuseret langkahku menuju pintu. Aku hanya kan membuka pintu tapi seolah rasanya aku sedang menyambut malaikat pencabut nyawaku sendiri. Di sana, di balik pintu itu. Suamiku dan selingkuhannya tengah berdiri di balik daun pintu, sumber dari bencana yang akan datang ke kehidupanku sedang menungguku membuka pintu masuk ke hidupku. Tanganku meraih tuas pintu, tanpa sadar aku menahan nafas saat memutar tuas. Masih dengan menahan nafas, aku mendorong daun pintu terbuka sedikit demi sedikit, hingga menampakan dua sosok yang tengah berdiri di ambang pintu. Aku membuang nafas yang ku tahan dan mengerutkan keningku.

"Park Jimin? Min Yoongi?"

(Author POV)
Tanpa menunggu dipersilahkan, Yoongi memasuki rumah Ji Woo dan Taehyung, sementara Jimin masih menatapi Ji Woo di depan pintu.

"Aku kangan dengan keponakanku." ujar Yoongi seraya berlalu menuju kamar Taera. Mata Ji Woo yang tadinya mengikuti Yoongi berpindah ke Jimin yang masih setia menatapinya.

"Noona, terlihat pucat. Apa Noona makan dengan baik, tidur dengan baik?" tanya Jimin maju mendekati Ji Woo hingga mereka hanya berjarak satu langkah, "Noona, tidak terlihat baik-baik saja..." lanjut Jimin, menarik Ji Woo kedalam pelukan sebelum Ji Woo mampu menjawab pertanyaan Jimin.

Jimin memeluk Ji Woo erat, menjalankan tangannya dengan elusan ringan di punggung Ji Woo, membawa kepala istri sahabatnya makin tenggelam dalam dada bidangnya. Ji Woo yang awalnya terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Jimin akhirnya mengerti maksud dari perlakuan itu. Perlahan ia mulai menerima afeksi dari Jimin, tangannya tergerak melingkari punggung Jimin.

"Dia belum pulang Jimin-ah. Dia memilih bersamanya, meninggalkan aku dan Taera sendirian di rumah ini." lirih Ji Woo dibalik dekapan Jimin.

"Sshh, dia tidak meninggalkan Noona, dia akan pulang. Noona tidak perlu takut, Noona tidak sendirian aku dan Yoongi Hyung akan menemani kalian." ujar Jimin menenangkan, sambil membelai kepala Ji Woo.

"Ekhemmm, maaf tapi aku tidak mau jadi saksi perselingkuhan orang. Sangat merepotkan." Yoongi menyela sambil berdiri menyandar pada pintu.

"Kami tidak berselingkuh Hyung, kau tidak lihat aku sedang menenangkan Noona. Jangan samakan Noona dengan si brengsek itu, Noona bukan perempuan seperti itu." sahut Jimin panjang lebar seraya melepaskan pelukan pada Ji Woo, kentara sekali tidak rela.

"Hmmmm." sahut Yoongi singkat, "Aku sudah hangatkan makanan nya. Ji, kau butuh makan." lanjutnya sambil memberi kode agar Ji Woo ke ruang makan dengan ibu jari.

Mereka bertiga makan tanpa banyak bicara. Baru setelah Ji Woo mulai membereskan peralatan makan yang kotor, Yoongi kembali buka suara. Mengenai Taehyung yang tidak langsung pulang pada Ji Woo sebenarnya bukan hal yang tidak terduga, meskipun mereka cukup terkejut tentang betapa berubah sikap Taehyung pada istri dan anaknya. Taehyung yang mereka kenal tiga bulan lalu adalah lelaki yang jatuh cinta pada Ji Woo luar dalam, yang tengah berlaku bak orang paling beruntung di dunia atas status 'segera jadi ayah' yang disandangnya. Sementara Taehyung yang sekarang? Mereka tidak mengerti isi hatinya sama sekali.

"Kami akan menginap di sini, sampai Taehyung pulang Ji." ujar Yoongi.

"Dan kami tidak menerima penolakan, kami hanya ingin menjaga Noona dan Taera, tidak lebih. Jika Noona butuh apapun, Noona tinggal mengatakan saja pada kami." sambung Jimin.

"Nee, aku mengerti." jawab Ji Woo kalem, tanpa memengaruhi kegiatan mencuci piringnya.

"Kau tidak menolak bantuan orang lain seperti biasa? Huh, kurasa bajingan itu benar-benar menghancurkanmu. Aku menyesal hanya mengenai pipinya." Yoongi menimpali dibarengi dengan senyum sinis.

Mendengar ucapan Yoongi, denting porselen dari tangan Ji Woo berhenti, membuat suara air mengalir memenuhi ruangan.

"Apa kalian --"

"Jangan membelanya kali ini, Noona. Taehyung pantas mendapatkan yang lebih parah dari sekedar lebam." potong Jimin mantap.

Ji Woo tidak membantah lagi, ia kembali melanjutkan kegiatan mencuci piring yang sempat tertunda. Bersama bayangan wajah lebam Taehyung yang tengah diobati perempuan lain menari dipikirannya.



• bersambung •

SCATTERINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang