Chapter 4

444 38 2
                                    

(Author POV)

Ji Woo shock berat melihat kenyataan yang ada dihadapannya. Dia bahkan tidak mampu melakukan apapun selain menangis selama lebih setengah jam, beruntung Jimin berhasil menenangkan dan membawanya pulang, tentunya setelah membayar semua pesanan yang bahkan tak tersentuh sama sekali.

Setelah kejutan yang mereka saksikan tadi tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Yah, meskipun bagi Jimin itu bukanlah kejutan. Dia tahu saat pertama kali Taehyung membawa gadis itu ke hotel, dia juga tahu jika Taehyung berkali-kali membiarkan sisi ranjang di sebelah istrinya kosong demi menghangatkan ranjang yang lain. Dia tahu semua.

Saat ini mereka duduk bersebelahan di ruang keluarga Ji woo, ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya seolah masih berada di dimensi lain.

"Jimin-ah..." lirih Jiwoo memecah keheningan yang seolah telah tercipta berabad-abad lamanya, ia sedikit meremas tangan Jimin yang sedari tadi tak lepas menggenggam tangannya, "...sejak kapan?"

Pertanyaan Ji Woo membuat Jimin seketika menegang, dia tahu kemana arah pertanyaan Ji Woo. Tatapan Ji Woo yang kosong kini beralih menatap Jimin.

"Sejak kapan, Jimin-ah? Aku tahu kau tahu." ujar Ji woo.

Jimin mengalihkan pandangannya dari mata Ji woo, memilih menatap lekat tangan mereka yang masih tertaut. Hatinya gamang haruskah dia mengatakan apa yang dia tahu? Membuka semua hal kotor yang Taehyung lakukan dua bulan terakhir? Jika boleh jujur dia sangat ingin menghajar Taehyung bahkan sejak dua bulan lalu, saat pertama kali Taehyung menghampiri perempuan murahan di club. Tetapi peringatan hyung-hyungnya, untuk tidak ikut campur dengan rumah tangga orang lain, menahannya sampai sekarang.

Remasan kecil kembali Jimin rasakan di tangannya, diikuti ucapan Ji woo yang kini terdengar lebih mantap, "Jimin-ah, kau selalu bilang bahwa aku adalah kakak perempuan kesayanganmu diantara semua staf di agensi? Jimin-ah, Noona masih kakak kesayanganmu kan? Jika iya, jujurlah pada noona, tentang segala yang kau tahu. Noona berhak tahu, Ji, noona harus tahu."

"Noona saat ini sedang hamil seharusnya Noona tidak memikirkan hal yang tidak-tidak. Noona lebih baik focus pada kesehatan Noona dan bayi dalam kandungan Noona." Jimin menyahut mencoba menahan keingintahuan Ji Woo. Demi Tuhan, dia khawatir, Ji Woo sedang hamil tua, bagaimana kalau terjadi sesuatu?

"Jimin-ah, Noona tidak akan kenapa-kenapa. Justru Noona butuh tahu segalanya, Noona harus tahu seperti apa keadaan keluarga Noona, Noona perlu tahu bagaimana masa depan keluarga noona nantinya. Noona mohon Jimin-ah, ini penting bagi kami." Ji Woo bersikeras.

Jimin menimbang-nimbang segala kemungkinan sebelum mendesah kasar, memantapkan diri menatap manik kecoklatan Ji Woo yang kini terlihat berkabut karena kesedihan.

"Noona, berjanjilah apapun yang Noona dengar nanti, Noona tidak boleh terluka, Noona harus kuat menghadapi apapun yang terjadi, dan tidak akan ada hal buruk apapun yang terjadi pada kalian?"

"Noona berjanji, Ji." jawab Ji Woo mantap, meskipun Jimin ragu akan jawaban noonanya, ia menghela nafas berat sebelum mulai bercerita.


(Ji Woo POV)
Tiga hari berlalu sejak hari itu, hari paling mengerikan yang pernah aku alami. Bahkan lebih mengerikan daripada hari-hari awal karirku dulu, saat aku dan Yoongi masih bertetangga di flat sempit. Lebih mengerikan daripada hari-hari dimana aku harus memilih antara makan malam atau pulang naik bus. Lebih mengerikan daripada masa dimana aku harus berlari ke tempat kerja part time setiap selesai dengan Bangtan, karena khawatir agensi lagi-lagi tidak mampu membayar penuh gajiku.

Jimin masih memegang janjinya untuk menutup rapat kejadian tempo hari, hingga tidak seorangpun tahu tentang hal itu. Hanya Jimin juga yang tahu jika tiga hari ini "pulang" yang Taehyung maksud setiap selesai latihan adalah pelukan perempuan itu. Taehyung belum pulang, setelah kejadian mengerikan itu aku belum bertemu dengannya. Aku pikir melihat Taehyung bermesraan dengan perempuan lain adalah hal paling menyakitkan tetapi ternyata segala yang terjadi setelahnya jauh lebih menghancurkan hati.

Setiap kali aku menghubunginya aku harus menelan kepahitan sendiri, mendengarnya bercerita tentang jadwal yang luar biasa sibuk memaksanya untuk tinggal di dorm bersama member. Setiap saat aku harus berpura-pura percaya, berpura-pura maklum akan keadaannya yang sibuk, padahal aku tahu setiap malam dia tidur di samping perempuan murahan itu. Aku harus menahan tangisku tidak pecah setiap kali menghadapi kenyataan bahwa suamiku lebih memilih pulang ke pelukan perempuan lain daripada aku, istrinya sendiri.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, mengadu pada siapa saja tentang sakit yang meremat dadaku ini. Hidupku yang tadinya begitu sempurna seolah dijungkir balikkan begitu saja, dihempas dari langit ke tujuh hingga jatuh berserakan di tanah yang keras. Our palace that we both set high in the sky suddenly falling down, scattering in to pieces, that I don't even can recognize it anymore.

Enam tahun kami lewati bersama, aku bahkan masih ingat apa yang dia pakai saat pertama kali datang dari Daegu. Bagaimana aku mengajarinya tentang bicara dengan tata bahasa yang formal di Seoul, bagaimana aku memberinya semangat setiap kali Yoongi mengomelinya habis-habisan. Aku selalu ingat malam-malam dimana dia menangis putus asa di pelukanku, karena takut tidak akan berhasil memenuhi harapan semua orang. Segala kesulitan itu kami lalui bersama, tangis tawa bertahun-tahun kami bagi. Bahkan amarah besar bos agensi saat tahu hubungan ini, kami hadapi berdua dengan berpegang tangan erat. Segala kesulitan luar biasa sudah kami lalui hingga kami mengecap manis kebahagiaan sekarang. Tetapi sekarang apa? Apa?!

Apa yang salah diantara kami? Apa yang kurang dalam rumah tangga kami? Maksudku, semua baik-baik saja selama ini, aku rasa aku sudah melayani Tae dengan baik. Kami saling menyayangi, saling mengasihi, setiap hari kami berbagi pelukan, ciuman, kata-kata manis penuh cinta. Apalagi sejak kehamilanku, Taehyung berubah menjadi suami paling sempurna di dunia. Kami bahagia, keluarga kami sempurna. Demi Tuhan, apa yang kurang dalam pernikahan kami hingga Taehyung berpaling pada perempuan itu?

Setiap kali mengingat perempuan itu aku merasa mendung menyelimuti pikiranku. Rasanya aku ingin memaksa Taehyung pulang ke rumah lalu mencaci maki perempuan itu dengan semua kata makian yang aku tahu. Sayangnya aku tidak bisa, aku harus tetap tenang karena tekanan darah yang tinggi bisa membahayakan kandunganku. Apapun keadaannya, anak dalam perutku berada di puncak prioritasku. Meskipun saat ini aku sendiri tidak yakin apakah aku masih mampu menjaganya dengan baik.

Ahh, aku jadi ingat aku belum makan apapun dan meminum suplemen kehamilanku seharian ini. Tubuhku terasa benar-benar lemas tak bertenaga. Bodohnya aku, seharusnya aku memaksa diriku untuk makan sejak pagi tadi, bukannya malah meratap dan menangis seharian. Bukankah, seberat apapun keadaannya aku harus tetap kuat, demi anak kami. Aku memaksa menyeret diriku beranjak ke dapur untuk makan, untunglah kemarin malam Jimin memasukan makanan sisa ke kulkas sehingga aku bisa menghangatkannya sekarang.

Selesai makan aku segera membuat susu dan bermaksud untuk meminumnya sambil duduk di ruang tengah. Kepalaku terasa masih terasa pusing dan berat, pandanganku juga agak buram, tetapi aku aku tetap berusaha terus berjalan. Karena kepalaku yang pusing aku tidak memperhatikan jalan hingga aku tersandung anak tangga yang menghubungkan dapur dan ruang tengah. Aku kehilangan keseimbangan lalu jatuh terjerembab ke depan.

"PRAAANG!!"

"Aaakkkk!!!" Aku memekik keras sambil memegangi perutku yang terasa begitu sakit. Mataku melebar ngeri begitu melihat sesuatu berwarna merah merembes di antara kakiku. Anakku!!

Susah payah aku meraih ponsel yang sengaja ku tinggalkan di ruang tengah. Segera aku menekan speed dial 2, dan menunggu panggilanku tersambung. Sekali, dua kali aku masih menunggu panggilan ku belum juga mendapat jawaban.

"Taehyung, angkat kumohon, hiks hiks... sakit Taehyung, angkat, aakhh, hiks...." racauku dengan tangis menjadi sambil menahan rasa sakit. Semakin lama rasa sakit yang kurasakan semakin menjadi, darah yang merembes pun semakin banyak. Aku terus menghubungi Taehyung. Hanya Taehyung yang ada di pikiranku saat ini.

"Taehyung, aku membutuhkanmu, hiks hiks... kumohon... aku sudah tidak tahan" keluhku saat usahaku tidak membuahkan hasil untuk kesekian kalinya.

Sakit di perutku tak terahankan lagi, pandanganku semakin kabur, mataku semakin berat. Meskipun begitu kesadaranku terus mendorong untuk meminta pertolongan, dengan sisa tenagaku aku menggulirkan jariku di layar ponsel mencoba menghubungi seseorang yang mungkin sedang bersama Taehyung. Kutekan tombol panggil, tersambung, satu... dua... diangkat!

"Oppa! Anakku... Taehyung... A-akuu tidak tahan lagii... sakitt..." mataku memberat bersama tiap kata yang aku ucapkan lalu semua gelap.


• bersambung •

SCATTERINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang