2

2K 85 5
                                    

Dimas tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Senyumnya, matanya, lesungnya, semuanya menghantui fikiran Dimas.

Setelah tiga hari melewati MOS (Masa Orientasi Siswa), Dimas baru mengetahui nama gadis penolongnya itu dari usaha keponya ke kakak OSIS di ruangannya. ia bernama Arini, Arini Setya, kelas IX B. Lebih tua dua tahun darinya. Dimas tidak perduli. Baginya kak Arini adalah bidadarinya.

kak?

Dimas tersenyum sendiri membayangkan dirinya memanggil Arini dengan sebutan 'kak'. Uuuww.

Persis seperti remaja yang kasmaran, tiga hari ini Dimas berusaha menguntit semua kegiatan Arini. Mulai dari apa yang ia makan saat istirahat, dengan siapa ia berteman, dan siapa saja yang mengidolakan 'kakak'nya.

"kenapa sih lu? dari tadi senyum senyum ga jelas"

Fadlan -teman sebangku Dimas- bertanya entah kesekian kali padanya. Tak dijawab, Fadlan kembali mengoceh.

"lo tau gak? Mulai besok kan, kita masuk siang. Jam 12 pulangnya jam 5, huaaaahhhhh mantap.... gue bisa begadang main game sampe subuh terus tidur sampe siang"

Dimas melonjak kaget. Bukan, ia bukan kaget pada wacana ajaib Fadlan untuk begadang hanya untuk game tanpa ada ledakan maut dari ibunya, tidak, ia tidak terkejut karna itu. Tapi fakta bahwa ia -dan murid murid kelas 7 lainnya- berjadwal siang. Itu artinya, jadwalnya berbeda dengan Arini?

tidaaaakkkkk!!!!!

"serius lo?"

"kenapa? keget gitu"

"errrr.. gapapa"

"aaahhh, lo kecewa jadwal kita ga sama dengan anak kelas sembilan kan? yahh kasian yang gagal paparaziin kak Arini tiap hari"

Fadlan bukannya tidak tahu tentang ketertarikan Dimas ke kakak kelasnya itu. Bahkan mungkin satpam sekolah mereka pun tahu Dimas menyukai Arini. Dari antusiasmenya saat Arini masuk ke ruangan mereka untuk memberi intruksi perihal MOS, dari gerak geriknya yang heboh setiap Arini tersenyum saat berbicara, dan rusuh saat mencari tahu nama pujaannya itu. Hanya orang bodoh yang tidak bisa melihatnya.

"tenang aja, kalau sekolah kita ngadain event , pasti jadwal sekolah di barengin kok"

Fadlan mengulum senyum memandang teman di sebelahnya yang mengangguk angguk dengan tampang bodoh.

~~~

Lima bulan berhasil dilewati Dimas dengan susah payah karna butuh keajaiban dan bantuan semesta untuk dirinya dapat bertemu atau memanggil Arini.

Setiap hari ia berangkat sekolah lebih awal hanya untuk melihat Arini keluar kelas dan memanggil sebentar, lalu Arini akan menoleh dan tersenyum. Senyum yang membuat Dimas semangat seharian di sekolah. Lebay? alay? bodo amat. Dimas tidak peduli dengan cibiran Fadlan dan teman temannya yang lain. Baginya, mereka belum pernah merasakan apa yang ia rasakan. eaakk.

Dan hari yang Dimas tungu tunggu pun datang. Hari dimana sekolahnya mengadakan acara Maulid Nabi yang diisi ceramah dan mengaji bersama murid murid yang seagama.

Dimas sudah mempersiapkan ini, ia akan mengajak Arini pulang bersama mengendarai sepedanya.

Seperti pangeran kebersihan, Dimas tidak membiarkan setitik debu pun menempel di sepedanya, ia mengelap seluruh bagian sepedanya -kecuali rantai- agar mengkilap seperti motor ninja bang Dika -abangnya-. Menyemprot parfum milik bang Dika ke baju kokonya, memakai peci terbaik miliknya, juga rambut yang ia sisir rapih.

Ia sengaja memilih tempat duduk dimana ia dapat memandang wajah Arini dengan visual menyamping. Jadilah sepanjang acara, ia puas memandang wajah Arini dari kejauhan tanpa perlu repot repot meladeni Fadlan yang mengeluh 'ngantuk' disebelahnya.

Bagaimana dengan ceramah ustad? Dimas sudah tidak mendengarkan sejak ia menjawab salam pembukaan.

Acara selesai, ia mulai grusak grusuk memperbaiki penampilannya. Bertanya apakah wajahnya baik baik saja pada Fadlan yang dijawab anggukan tak acuh dan mata setengah memejam menahan kantuk.

"doain gue ya, dlan"

"hhmm"

"gue udah ganteng, kan?"

"hhmm"

"oke, gue duluan"

"hhmm"

Dimas menepuk bahu Fadlan. Dengan semangat, ia berjalan penuh percaya diri ke depan pos satpam dimana Arini sedang duduk disana dengan beberapa temannya. Terlihat sedang menunggu jemputan.

Dimas tak gentar, melihat teman teman Arini yang mulai menyikut satu sama lain sambil berbisik bisik dan sesekali tertawa melihat Dimas berjalan menghampiri mereka dengan menuntun sepeda miliknya.

"ekhem, kak Arini-" Dimas mengeluarkan suara setelah jaraknya dan Arini hanya sekitar satu setengah meter.

astaga, jantung gue!! maakkk doakan anakmu ini maakk

"kak, errr, bisa ngomong sebentar?"

Arini berdiri berjalan sedikit untuk memangkas jarak mereka, lalu tersenyum.

astaga senyumnya, gak tahan maakkk!!

"boleh"

"kita nunggu di warung depan ya rin, duluan.. daaa.. cie ciee" Teman teman Arini mulai beranjak pergi sambil cekikikan meninggalkan mereka berdua.

Dimas mendongak menatap Arini -karena Arini lebih tinggi darinya-, menatap matanya. Arini balik menatap wajahnya, terlihat tenang, wajahnya masih dihiasi senyum, manis, sangat manis.

"mau ngomong apa?"

"eh.. eerrr-"

Dimas gelagapan, mengerjap, menarik nafas, menggaruk belakang leher -yang tidak gatal- lalu melemparkan pandangan ke sekitar. Lalu matanya kembali bertemu mata Arini.

Lalu sebuah tawa canggung lolos dari bibir mereka.

~~~

"mau ngomong apa?"

"eh.. eerrr-"

Arini tidak bisa berhenti tersenyum melihat gelagat gugup dari lawan bicaranya. Sekarang, berjarak satu meter di hadapannya, berdiri sosok adik kelasnya -yang ia ketahui bernama Dimas- sedang bertingkah aneh dihadapannya.

Arini bukannya tidak tahu, dia sangat tahu bahwa Dimas ini adalah 'salah satu' dari sekian adik kelas yang tertarik padanya. Bedanya, Dimas ini selama tiga hari masa ospek, ia terus menguntit Arini. Teman teman sesama anggota OSIS pun rusuh menyampaikan salam Dimas Dimas ini kepadanya. Juga setiap hari selama lima bulan ini, ada rutinitas baru setiap ia melangkahkan kakinya keluar kelas. Akan ada sapaan halus, pelan dan terkesan malu malu dari Dimas Dimas ini, yang dijawab Arini cukup dengan senyum.

Arini mengenalnya sebagai Dimas, anak laki laki yang menguntitnya selama tiga hari masa ospek dari temannya yang rutin menyampaikan salam dari Dimas.

Sekarang, Arini sedang menahan tawanya melihat tingkah bodoh 'bocah' di hadapannya. Lalu, saat mata mereka bertemu kembali, tawa Arini pecah.

Sebuah tawa yang cukup untuk memecah kecaanggungan.

~~~

"uhm.. kakak, mau aku anterin pulang?"

"anter-"

"eh maksud aku, kakak mau pulang bareng aku aja gak? eerr.. maksud aku, kakak mau gak, pulang bareng aku, jadi, aku nganterin kakak pulang. gitu"

"gitu?"

"iya, gitu"

"naik sepeda ini?" Arini melirik sekilas sepeda berwarna merah yang dipegangi Dimas.

"i-iya kak, naik sepeda ini, sepeda aku"

udah lunas kok kreditannya kak, kata mama.

Arini menghela nafas, berjalan mendekat memangkas jarak masih dengan senyum, ia menunduk menyamakan tingginya dengan Dimas, tangan kirinya menggenggam pundak Dimas.

maaakkkk, tolong Dimas maakkk!!!!

OpotiniteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang