2

154 11 0
                                    

Sudah berselang beberapa jam mungkin aku melayang di udara, berkeliling mencari orang yang ingin kuberi pertolongan. Untunglah Maharani memberiku tempat menginap dan makanan. Jadi ketika aku tidak menemukan siapa yang harus kudatangi, aku bisa bertandang di rumahnya untuk berteduh sementara waktu.

Sayapku mulai lelah dan terasa agak perih. Lukanya pulih dengan cepat. Makanya tadi aku sudah bisa terbang lagi. Entah obat apa yang gadis itu berikan padaku, rasanya sangat ajaib. Aku pun merentangkan sayap. Menukik dan lalu bertengger di sebuah dahan pohon. Di bawah sana, sepasang laki-laki dan perempuan tengah bercumbu rayu. Kedua tangan mereka menyatu. Sesekali riuh dengan gelak tawa.

Tanpa kuduga, seorang gadis dengan gaun lengan panjang dan berkepang muncul dari balik pagar. Maharani! Dia berhenti melangkah ketika tatapannya terpaku pada dua orang di bawahku. Aku bisa melihat jelas, bagaimana wajah Maharani yang tadinya berseri berubah menjadi sembilu. Dia menutup bibirnya dengan telapak tangan. Cahaya di matanya berpendar, terusik oleh selaput bening yang kemudian menitik meluncur menyusuri pipinya.

"Hei, bukankah itu Rani, kekasihmu yang menyedihkan itu?" tanya gadis yang duduk bersama laki-laki itu.

"Ya, biarkan saja dia! Aku tidak butuh gadis sepertinya!"

Maharani berbalik dan berlari, menghilang dari pagar itu. Sementara kedua orang di bawah sana tertawa seolah mengejek kesedihan hati Maharani. Dari pembicaraan tadi, dapat kusimpulkan siapa laki-laki di bawah sana. Buaya darat!

Tanpa menghiraukan sakit yang menjalar dari sayap kiriku, aku terbang di atas kedua orang itu. Lalu memberinya pelajaran; menghadiahinya dengan sesuatu yang lembek berwarna hitam, hijau, putih, dan bau. Mereka berteriak seraya memaki keras-keras ketika kotoran itu jatuh tepat di kedua telapak tangan mereka yang berkaitan, juga puncak kepala laki-laki itu. Aku tertawa, puas rasanya bisa mengerjai orang yang telah berbuat jahat pada Maharani.

Tiba di halaman rumah Maharani, kulihat gadis itu sedang menunduk di hadapan gadis lain. Maharani sedang digertak oleh kakaknya, Tami.

"Dari mana saja kau ini?! Hari ini kau memiliki banyak tugas, tahu! Ini! Cuci pakaianku dan Tomi!" Tami menggeser keranjang cucian dengan pakaian kotor yang menumpuk tinggi hingga ada beberapa yang tercecer di lantai.

"Setelah itu bersihkan seluruh ruangan di rumah! Dasar adik tidak berguna!" Gadis bengis itu pergi melewati Maharani dengan wajah merengus, keluar dari lingkup rumah.

Aku beralih menuju kamar Maharani. Saat gadis itu sudah sampai di kamar, aku mengetuk-ngetuk jendela yang tertutup rapat dengan paruh. Bibir yang tadinya mengatup tegas menyembunyikan amarah dan kesedihan itu menyunggingkan senyum begitu memandang ke arah jendela. Dia membukakannya untukku.

"Hei, Dika. Apa kau sudah menemukan orang yang kau cari?" Senyumnya tak putus.

Aku memiringkan wajah. Mengamati matanya yang masih sedu. "Kau masih sedih, Nona?"

"Ah? Kenapa aku harus sedih? Memangnya aku kenapa? Hahaha, jangan mengada-ada, Dika. Sudahlah, aku ingin menyelesaikan tugasku. Aku tinggal dulu, Dika. Jika kau mau makan, itu sudah kusediakan pisang dan apel." Dia berpaling dariku. Selintas kulihat senyumnya sudah redup. Lalu menghilang di balik pintu.

Aku berubah, lalu duduk di lantai sembari menatapi wajah Maharani yang terabadikan dalam sebingkai kertas yang manusia sebut sebagai foto di atas meja kecil tepi kamarnya itu. Di dalamnya gadis itu tersenyum lebar membuat matanya seperti bulan sabit, membuatku ikut tersenyum. Sepertinya aku tidak perlu berkeliling lagi mencari orang yang harus kutolong. Karena sekarang orang itu sudah bersemuka di hadapanku, dalam bingkai kecil ini. Maharani, sosok gadis dengan wajah lugu yang tampak pandai menutupi luka di hatinya dengan senyum yang mampu membuat siapapun terpesona, tanpa tahu kalau sebenarnya dia sangat rapuh dan menderita.

Unpack Your Heart [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang