4

102 12 0
                                    

Tomi dengan kendaraan roda duanya behenti mengantarku ke tempat yang begitu ramai. Riuh oleh perpaduan suara manusia dan kendaraan yang melaju tiada henti di jalan hitam yang halus itu. Sementara dia melepas sebuah pelindung di kepalanya, sebuah kendaraan raksasa dengan gumpalan karung-karung yang membumbung tinggi melaju sangat pelan di sebelah sangkarku. Nyaris menyambarnya. Dan dari sebuah pipa di bagian belakangnya,  muncul asap hitam yang bau dan membuatku sesak.

Laki-laki kejam ini membawaku masuk ke sebuah tempat di mana ada begitu banyak macam hewan jinak—mungkin semacam hewan peliharaan manusia. Ada banyak macam jenis hewan mulai dari reptil, mamalia, ikan, dan tentunya golonganku yang terkurung di tiap sangkar yang bergelantungan di langit-langit ruangan. Ketika Tomi masuk, mereka langsung pasang suara, seolah hendak memamerkan kicauannya pada pengunjung.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Seorang pria berkumis dengan rambut ikal yang panjang tiba-tiba sudah berdiri di samping Tomi.

"Ini, Pak. Saya ingin menjual burung ini," sahutnya pura-pura ramah seraya mengangkat sangkar ini di depan wajah pria itu.

"Wah, burung kenari, ya? Kebetulan, akhir bulan lalu burung ini habis terjual, padahal sampai sekarang masih banyak yang mengincarnya. Bisa dibilang, burung ini sedang cukup langka di sini. Anda benar mau menjualnya?"

Dengan senyuman lebar, Tomi menjawabnya penuh keyakinan, "Iya, Pak."

"Baik. Bagaimana dengan enam ratus ribu?"

"Apa tidak bisa lebih? Bulunya …."
Aku memutar mata. Muak dengan pemandangan ini. Yang tengah kupikirkan hanyalah Rani. Bagaimana keadaannya saat ini?
Tawar-memawar harga telah berakhir. Sepertinya aku terjual mahal karena Tomi tersenyum penuh kemenangan ketika menerima uang-uang kertas berwarna merah jambu, menukarnya denganku. Aku terus mengutuknya dengan sumpah serapah ketika dia pergi berlalu.

Kini sangkarku beralih ke tangan pria berkumis. Dia tersenyum melihatku. Kemudian menjentikkan dua jari dan bersiul. Mungkin semacam isyarat agar aku bersuara. Oh, andaikan kau tahu, Pak, bahwa aku sedang tidak berselera mengikuti isyaratmu. Andai kau tahu aku sedang bersedih, apakah kau akan melepasku? Jika aku mengatakannya, apakah kau akan takut? Atau justru memasang telinga bersedia mendengar keluh kesahku? Tidak untuk pilihan kedua, kurasa. Hanya Rani yang mampu melakukannya. Ya, dia memang gadis istimewa.

Jantungku berdentangan ketika bayang-bayang senyumnya hinggap dalam pikiranku. Resah mulai merayuku untuk terbang dalam buaiannya. Sepertinya perasaan ini terlambat. Dan di antara riuh kicauan burung-burung malang yang terpenjara itu, kusadari, aku mencintai Maharani.

◆◆◆

Terhitung dua hari sejak aku pindah ke toko ini. Aku hanya makan sedikit, membuatku merasa lebih kurus dari biasanya. Tidurku tak nyenyak. Keseringan mimpi buruk. Hingga rasanya aku hampir sakit. Barangkali aku akan mati sia-sia di sini.  Padahal esok pagi harusnya menjadi waktu terakhir bagiku bersama Rani.

Dan harapan baru bagi gadis itu tentunya. Tapi aku telah menghancurkannya.

Keinginanku untuk melupakan semuanya bukan membuatku sedikit lega. Menambah beban dalam dada malah. Rasa bersalah ini kian memuncak, kadang membuncahkan kesal dan kecewa sampai aku benar-benar ingin mati saja. Keresahan ini membuatku masih sama seperti pertama kali kemari; enggan berkicau. Si pria berkumis tak jemu memancingku agar aku bersuara. Dia telah melakukan banyak cara dalam dua hari ini. Yang paling membuatku terharu adalah ketika dia membawaku kepada seorang dokter khusus bagi hewan. Aku bersuara di sana. Tapi sedikit. Setelah pulang, paruhku kembali terkatup rapat.

Berpasang-pasang mata pengunjung selalu melirikku. Namun setelah pria berkumis bilang bahwa aku tak pernah bersuara, mereka selalu berpaling pada burung lain. Tadinya kupilkir itu bagus. Hanya supaya aku bisa kabur dengan cara yang bahkan belum kutemukan.

Unpack Your Heart [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang