3

113 13 0
                                    

Kami berjalan di bawah langit senja yang lembayung. Sinar matahari menembus celah pepohonan taman membentuk bulatan-bulatan oranye di jalanan dan rerumputan yang terpangkas rapi. Membuat Rani menyipitkan mata tiap kali wajahnya tersiram cahaya itu.

Sudah kulupakan tiap pasang mata yang menatapku pelik tiap mereka berpapasan denganku. Sekarang pikiranku hanya terfokus pada Maharani yang berjalan menunduk di sebelahku. Entah kenapa aku merasa membuatnya malu dengan penampilanku yang jauh berbeda dari orang-orang yang selama empat hari lamanya ini kutemui di bumi. Bisa dibilang, pakaianku sepertinya tidak lazim dikenakan. Tunik dan celana panjang yang kendur, yang mana keduanya sangat kusam dan kumal. Pun tanpa memakai alas kaki. Apa-apaan itu?

Dari waktu keluar tempat makan itu pun kami terus menutup mulut. Perasaannya yang labil membuatku enggan membuka pembicaraan. Tadi dia marah, tapi tiba-tiba dia memelukku tanpa mengatakan apapun. Aku bingung, yang manakah perasaannya saat ini. Padahal aku ingin menanyakan sesuatu.

"Dika, terima kasih sudah membantuku. Jika tak ada kau, mungkin aku sudah ditendang dari pekerjaanku. Padahal aku belum lama bekerja di sana." Akhirnya dia membuka suara.

Aku tersenyum tipis. Senang mendengarnya berkata demikian. "Tenang saja, Nona. Bukankah itu sudah menjadi tugasku?"

Dia menoleh tiba-tiba dan berhenti melangkahkan kaki. Aku mengangkat alis, melebarkan penglihatan. Aku tak mengerti kenapa matanya terlihat begitu sendu. Terluka. Namun sebaiknya aku tak terburu menarik kesimpulan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

"Kenapa perempuan tadi bersikap seperti itu? Sepertinya dia mengenalmu. Benar?"

Wajahnya seolah baru terbagun dari lamunan. Dia menunduk lagi dan kembali melaju. "Ya. Dia adalah mantan kekasih kak Tomi. Dia mengira bahwa aku adalah orang ketiga di antara hubungan mereka. Padahal aku hanya menemani kak Tomi ke toko buku. Dia memutuskan kakakku dan sepertinya sampai sekarang pun masih dendam padaku," ulasnya dengan nada bicara yang begitu resah.

Tiba-tiba gadis ini menarik pergelangan tanganku dan menuntunku ke sebuah kedai. Rani mengambil dua kerucut terbalik yang diisi dengan bola-bola coklat dan putih yang menguap. Dia memberikan salah satunya padaku.
Senyumnya terbit. "Ini namanya es krim. Kujamin, pasti tak ada yang menjualnya di duniamu." Dijilatnya bola-bola lembek itu dengan wajah riang. Ketika aku menirunya, aku sempat terkejut. Dia terbahak melihat ekspresiku yang mungkin tampak seperti orang tolol yang tengah mencoba hal baru. Makanan yang disebutnya es krim ini sangat dingin. Tapi aku menikmatinya.

Di sisa perjalanan, kami isi dengan canda dan tawa. Jika boleh, aku mau mengorbankan apapun yang kumiliki demi membuat waktu ini berhenti. Aku mau mengulur waktuku bersamanya. Aku mau melihatnya tetap tersenyum. Sayang, waktu sepertinya sudah menetapkan, bahwa kesenangan selalu berumur pendek. Waktu seolah tak sudi membiarkan tawa itu berderai abadi. Tiga hari yang dilalui dengan kegembiraan akan terasa seperti tiga jam. Dan tiga jam kemudian, tawa itu akan berubah menjadi air mata.

◆◆◆

Usai melipat pakaian sesuai dengan yang  Rani ajarkan, aku keluar kamarnya. Dia tengah merangkak seraya menggosok-gosok lantai dengan kain yang tampak kotor.

"Sedang apa kau?"

Dia menoleh. Kemudian berdiri dan masuk ke dalam kamar. Mungkin memeriksa pekerjaanku yang bisa dibilang selesai lebih cepat. Mungkin dia curiga aku hanya bermain-main dan tak melipat pakaian itu dengan rapi.

Aku bersimpuh dan mengambil kain yang tadi Rani gunakan untuk menggosok lantai. Melakukan hal yang sama sepertinya; mencelupkan kain itu ke air dalam ember, memerasnya, dan menggosoknya di lantai.

"Tenang saja, Nona! Aku memang selalu cepat dalam segala hal. Maka tak heran jika aku sampai diterima oleh seekor Rajawali sebagai anak buahnya. Padahal burung kenari sepertiku hanya dikenal keindahan bulu dan merdu kicauannya saja," celotehku ketika dia kembali.

Unpack Your Heart [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang