Epilog

154 15 3
                                    

Kuregangkan seluruh otot badanku ketika berkas-berkas cahaya mentari pagi mulai menerobos gelapnya batang tempat tinggalku. Aku tersenyum seraya menarik udara segar. Pagi ini sungguh cerah. Secerah hatiku yang kembang.

Ini hari pertama. Aku tidak boleh terlambat. Dengan senyum, terus kusapa siapapun yang berpapasan denganku di sepanjang jalan. Membuat mereka selalu berhenti sebelum aku tiba di depannya, dan memandangiku dengan bingung. Mungkin mereka berpikir, kenapa aku ini. Ya, memang tidak biasanya aku seperti ini.

Sampai di sebuah pohon tempat tujuanku berhenti, seekor burung kenari dengan warna kuning cerah dan begitu bersih tengah mengintip dari ambang pintu rumahnya malu-malu. Aku terkekeh melihatnya.

"Hai, Nona! Keluarlah! Tidak apa-apa."

Gadis itu. Dia adalah gadis yang telah membuat hidupku berubah. Maharani. Dia tampak begitu anggun dengan penampilan barunya. "Aku malu, Dika. Aku … aku telanjang."

Aku tergelak. "Kau pikir burung macam apa yang memakai baju? Bulu-bulu indahmu itu sudah cukup menutupi tubuhmu, Rani. Ayolah, tidak usah malu. Ini hari pertamamu. Aku akan mengajarimu caranya terbang."

Dia berjalan ke arahku dengan langkah canggung. Di atas cabang pohon ini kami bertengger. Aku terus mengoceh, memberinya sedikit arahan bagaimana caranya terbang.

"Baiklah. Mungkin ini akan sulit bagi burung kemarin sore sepertimu. Tapi percayalah, ini akan sangat menyenangkan. Bukankah ini yang pernah kau harapkan?" ujarku untuk meyakinkan dirinya yang tampak begitu segan melihat ke bawah sana. Wajahnya pias.

"Pertama, kepakkan sayapmu." Aku mengepakkan kedua sayapku. Dia menirunya, namun tak cukup bertenaga hingga semut yang berjalan di sampingnya pun justru menghentikan diri untuk rehat sejenak, sekadar merasakan hawa sejuk.

"Lebih kencang." Kepakannya semakin kencang, membuat semut itu tersungkur ke bawah pohon. Tanpa butuh waktu lama, tubuhnya mulai tetangkat. Dia tertawa kecil.

"Aku terbang?"

"Ya, lebih kencang lagi, Nona." Dikepakkannya kedua sayap itu lebih kencang lagi hingga tubuhnya terangkat begitu tinggi.

"Sekarang menukik. Kau harus melepaskan ketakutanmu. Kau harus berhenti mengepak. Merentangkan sayapmu lebar-lebar. Anjurkan kepalamu ke depan. Luruskan kaki dan ekormu. Rasakan udara segar itu saat kau jatuh. Dan saat kau hampir menyentuh tanah, kau harus mengepakkan sayapmu lagi. Kuncinya, kau hanya harus tenang. Kau bisa. Aku percaya."

Perlahan dia melakukan apa yang kukatakan. Namun keseimbangannya justru terganggu. Dia merentangkan satu sayap sementara sayap yang lainnya terus mengibas. Dia menjerit ketika tubuhnya terjun bebas menuju tanah.

"Tenanglah, Rani! Ingat! Tenang!" Jujur saja aku begitu khawatir melihatnya seperti itu. Aku pun segera terbang lebih cepat darinya. Menghampirinya, bersiap menangkapnya saat hampir membentur tanah "Kepakkan sayapmu, Rani!"

Dia akhirnya mengepakkan kedua sayap. Berhasil! Dia kembali terbang di udara.

"Ya, kau bisa, Rani! Kau bisa melakukannya!"

Dia tersenyum penuh kebanggaan. Lalu mencoba menukik lagi. Mengepakkan sayap ketika hampir menyentuh tanah. Begitulah seterusnya. Hingga seluruh gerakannya benar-benar lihai. Sempurna, persis seperti burung pada umumnya. Kami kemudian mencoba yang lebih menantang. Yaitu menyisir hutan lebat yang penuh pepohonan. Rani lolos dengan nilai bagus menurutku. Sepanjang percobaan pertamanya terbang ini selalu kami  iringi dengan tawa.

"Aku merasa sangat bebas. Akhirnya aku bisa terbang!" Dia berputar-putar di udara. Aku senang dia kembali menjadi seorang gadis riang penuh kegembiraan. Setidaknya dia telah sedikit demi sedikit melupakan bagaimana pahitnya hidup di dunianya yang lalu.

Ya, mulai dari sekarang dia adalah milikku. Aku akui, bahwa sesungguhnya aku tak menyesal Sang Pencipta mempertemukan seorang gadis sepertinya padaku. Aku bersyukur dia mau kuajak pindah ke dunia ini. Terlebih, aku sangat bersyukur harapan Rani terkabul. Dia berharap bahwa kami bisa bahagia bersama-sama. Kini harapan itu bukan lagi dambaan, melainkan telah terwujud menjadi kenyataan yang menuntun kami pada cerahnya masa depan. Kuharap …

Tak bisa kubayangkan bagaiamana suramnya hidupku terus berlanjut jika gadis itu tak ada. Dia bagaikan setitik api, yang kemudian merembet dalam garis hidupku, menerangi gelapnya labirin yang tiada henti kujelajahi, di mana aku terlalu sering tersesat atau menemukan kebuntuan di dalamnya.

"Kau kena!" Aku terperanjat ketika dia mengusik lamunanku dengan menepuk punggungku. Dia lantas terbang menjauhiku. Sesekali menoleh dengan tatapan jahil yang membuatku ingin mengejarnya.

"Aku akan menangkapmu, Rani! Hahaha …."

Aku senang semua kembali berjalan dengan baik seperti ini. Meski kepergian ibu dan ayahku menciptakan lubang yang menganga lebar dalam hati ini, namun dia telah tertambal kembali dengan kehadiran gadis cantik itu. Maharani ….

◆◆◆

A/n :

Terimakasih untuk kalian yang sudah membaca cerita ini. Semoga amanahnya tersampaikan yaaa. Sampai jumpa di cerita fantasi saya yang lain. Yang pastinya bakal lebih panjang dari ini. Bye …

Unpack Your Heart [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang