7

94 11 0
                                    

Lima hari sudah hidupku habis dengan lamunan dalam batang pohon tempatku bernaung. Sendirian. Senyap, hanya ada suara perutku yang keroncongan karena makan sedikit. Dingin. Gelap. Tanpa Maharani semuanya terasa hampa. Seolah tak berarti seperti sebelum aku bertemu dengannya. Rindu ini mengalahkan segalanya.

Selama itu pula Marka terus mendatangiku, menungguiku di luar selama beberapa menit seraya berharap bahwa aku butuh bantuannya, sebagai penebus perasaan bersalahnya. Seperti saat ini. Dia datang dan terus memanggil-manggil namaku dari luar. Bukannya aku tidak memaafkannya, hanya saja aku marah. Kenapa aku harus bertemu dengan Maharani, dan meninggalkannya disaat perasaan cinta ini mekar dengan aroma yang menguar. Lagi-lagi seperti sedang terbang tinggi, kemudian tiba-tiba kedua sayapku patah begitu saja.

"Mahardika!" Panggilnya untuk ke sekian kali. "Aku sudah tua dan mungkin hampir mangkat. Jadi sebelum kekuatanku berubah, kumohon mintalah sesuatu."

Aku masih enggan menyahut.

"Jika tak ada, kumohon maafkanlah aku. Selamat tinggal."
Kepergiannya justru membuat otakku berputar. Kekuatannya. Ya, itu dia!

"Marka! Tunggu!" Kukejar dia sebelum menghilang di balik batang pepohonan. Terbangnya masih cukup cepat untuk ukuran burung tua. Tapi penedengarannya sepertinya telah berkurang.

"Marka!" Dia akhrinya berhenti dan berpaling ke arahku. Aku berhenti beberapa hasta di depannya.

Napasku tersengal. Lalu menenangkannya dalam sekali tarikan. "Aku ingin menarik kata-kataku."

Dia menimpaliku dengan senyum yang begitu ringan.

◆◆◆

Sesuai keinginanku, Marka membuka kembali gerbang antara duniaku dengan bumi. Kini aku tengah berputar mengelilingi batu harapan di bukit, mencari tulisan Rani.

"Harapanmu terkabul, Rani," gumamku ketika mengetahui tulisan Rani yang miring-miring dan kecil. Dengan bahagia yang menyesaki dada aku terbang ke angkasa. Lantas menukik menuju rumah Maharani.

Orang-orang berpakaian serba hitam tengah berdatangan di rumahnya. Membuatku terpaku di udara selama beberapa detik. Sebuah kain segitiga berwarna kuning berkibar di sebuah batang besi pada sisi pagar. Ada apa ini?

Kemudian aku bertengger di ambang jendela kamar Maharani. Jendelanya terbuka. Gadis itu tengah duduk di sisi kamar, menunduk dengan tangis memilukan. Pakaiannya juga hitam. Benda berbentuk persegi dipeluknya dengan begitu erat. Kebahagiaanku luntur seketika melihat air mata membanjiri pipinya itu.

"Maharani …," panggilku setelah berubah wujud.

Dia mendongak tiba-tiba. Matanya membelalak. Lalu dengan cepat menghambur kepadaku. Suara pecahan terdengar ketika dia berlari tadi. Benda itu terlepas dari pelukannya. Masih dengan isak tangis yang menggema menggores pendengaranku, dia memarahi sambil memukuliku.

"Kenapa?! Kenapa kau kembali?! Ha?! Kenapa …a…?" Suaranya memelan dikalahkan  tangis. Dia memukuliku. Tangannya berhenti, luruh dengan penuh dramatis di dadaku. Lalu dia jatuh bersimpuh. Aku mencoba menangkapnya. Lalu memeluknya erat-erat.

Sekuat apapun aku menahan air mata yang mulai mengumpul di kelopak mata, mendengar tangisnya yang begitu mengiris membuatnya terjatuh juga. Melihat siapa yang ada dalam bingkai itu, kurasa aku tahu alasan mengapa air mata itu jatuh. Di dalam bingkai itu ada wajah ayah tiri Rani. Mungkin dialah yang membuat Rani seperti ini dan mengundang banyak orang berpakaian hitam itu berbondong-bondong kemari.

"Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, Dika …," lirihnya.

Aku menelan ludah. "Aku. Kau masih memilikiku, Rani," timpalku dengan harapan penuh beserta kesediaan untuk selalu ada bersamanya. Mulai dari detik ini.

◆◆◆

Unpack Your Heart [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang