Dingin menyergap tatkala kami sampai di gerbang menuju bukit. Tangan Rani tampak begitu erat memegangi bonekanya. Angin malam begitu menusuk di sini. Tempat ini sepi. Gelap. Hanya beberapa lampu yang terpasang di tepian tangga.
Entah mengapa sekarang aku justru tidak siap menghadapi semuanya. Tangan yang tengah kuulur untuk membuka gerbang menggigil di udara. Rasanya seperti mimpi ketika mengingat batas hidupku tinggal menghitung waktu.
Rani meraih tanganku. "Aku tahu ini berat untukmu, Dika." Tatapannya begitu tulus.
Aku menggeleng dan tersenyum. "Kita harus menyelesaikannya. Terlambat sedikit saja, semuanya akan sia-sia." Kuulurkan tangan lagi, membuka gerbang perlahan-lahan. Lalu menuntun sepeda menuju puncak bersama Rani. Beruntung di sisi tangga ada jalan rata yang bisa membuat sepeda ini naik. Bila tidak, aku tak tahu bagaimana Rani pulang setelah semuanya terselesaikan.
Tenggorokanku terasa tercekik. Membuat kalimat yang ingin kuujar tertelan kembali.
"Kuharap kau telah menyiapkan harapan terbaikmu, Nona." Tatapanku menerawang jauh ke depan. Dari sudut mata kulihat dia menoleh. Namun tanpa mengatakan apapun, dia menarik wajah lagi.
"Aku janji untuk benar-benar menepati apa yang kau minta kali ini."
Aku menoleh sebentar untuk menangkap maksud bicaranya. Dia justru tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Tadinya ada seberkas luka yang memancar. Namun sekarang berubah menjadi binar-binar bahagia yang berkilauan tertimpa cahaya bulan dan bintang. Cukup aneh. Tapi aku ikut senang. Setidaknya senyum itulah yang menghangatkan hatiku kini. Membuatku lebih tenang dan seolah berani melewati rintangan apapun yang menghadang.
Pohon-pohon terus bergoyang mengikuti irama angin. Tepat di puncak bukit terdapat batu besar penuh coretan putih. Di atasnyalah pintu menuju duniaku akan terbuka setelah Rani benar-benar pergi dari sini. Di sini tak terlalu gelap. Lampu temaram melingkar di pinggiran rumput asoka yang memagari luasnya puncak bukit, sekitar enam buah. Dan dua lagi berada di kedua sisi batu. Sayangnya yang satu mati, di mana Rani justru berdiri di bawahnya.
"Kau kedinginan, Rani?" Lengannya terlalu erat membekap leher beruang merah jambu itu sampai terlihat begitu mengecil.
Dia menggeleng. "Dulu aku pernah kemari bersama kak Tami, setelah menemaninya menemui kekasihnya di suatu tempat yang waktu itu, tahu-tahu, dia diduakan. Kak Tami marah dan mencoreti batu ini. Orang-orang bilang kalau batu ini adalah batu harapan. Bila kita menulis harapan kita, maka akan terkabul. Aku memang tidak percaya hal-hal seperti itu. Tapi, ayo, kita menulis di sana! Kalaupun tak terkabul, setidaknya aku masih bisa melihat jejakmu di sini."
Sesuatu berwarna biru teracung di tangannya. Senyum manisnya serupa tali tak kasat mata yang menarikku mendekatinya.
Dia berlutut meletakkan tangannya pada sisi batu yang belum terkotori bahkan oleh lumut sekalipun. "Kau dulu?"
Aku yang tengah membungkuk di sampingnya agak terkejut. Alisku terangkat. "Bagaimana cara memakainya?" tanyaku tanpa melepas pandangan dari benda biru tersebut.
"Cukup ditekan bagian tengahnya sambil menempelkan ujungnya yang runcing pada permukaan yang ingin kau tulis." Dia menyodorkan benda biru itu lagi. Senyumnya begitu manis dan meyakinkan. Membuat pikiranku hanya tertuju padanya hingga tak memiliki sedikitpun alasan untuk menolak.
Aku mulai mendesis—kebiasaanku ketika tengah dirasuki bingung. Apa yang harus kutulis? Bukankah aku akan mati sebentar lagi? Jadi untuk apa mengharapkan sesuatu? Aku berdecak. Atau … mungkin aku bisa berharap untuk kehidupan Rani selanjutnya. Maka aku berpindah tempat, mencari permukaan yang lebih luas dan terang agar tulisanku tidak berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpack Your Heart [Selesai]
FantasyHampir saja aku putus asa ketika seekor elang bengis menerkam dan membawaku pergi, meninggalkan harapan dan tugasku sebagai seorang Halbi malang yang dikenai hukuman Teraki. Namun keputusasaan itu lenyap kala Maharani, seorang gadis manusia baik hat...