-AKR*4-

5.7K 253 0
                                    

Ya Rabb..
Aku memohon pada-Mu.
Jangan kau biarkan hatiku merindukan makhluk-Mu. Bahkan meskipun itu adalah fitrahku.
Aku tidak ingin kau cemburu. Aku tidak ingin Kau jauh dariku.

Aku berjalan di sekitar masjid belakang sekolah. Masih terpikir pada gadis waktu itu. Pikiranku agak kacau belakangan ini, mungkin itu penyebabnya. Aku harus refreshing..

Masjid terlihat sangat sepi. Entah kenapa di antara jutaan tempat yang bisa didatangi, tempat ini yang paling sepi. Ke mana semua penghuninya? Ke mana para pemuda-pemuda??

Aku menatap sendu.

Aku memang bukan orang yang sebegitu baik, masih ngamuk emosian tidak jelas, kadang-kadang. Tapi, seburuk apapun sikap kita, bukankah kita harus taat? Hanya karena daerah ini didominasi preman kampung jadi mereka tidak shalat di masjid? Membiarkan rumah Allah ini sepi? Seakan tidak berpenghuni. Padahal, di luar sana banyak tempat maksiat yang bahkan tidak muat untuk menampung pengunjungnya.

Nau’dzubillah ....

Tabarakalladzi biyadihilmulku wahuwa ‘ala kulli syai in qodir.

Lantunan Al-Mulk terdengar samar. Aku mendekat ke teras mesjid, mencari pemilik suara itu. Untung saja masih ada pria yang sudi untuk datang. Jika tidak, siapa yang akan mengumandangkan Azan? Aku?

Suara itu familier. Aku mendongak. Ada dinding yang menghalangi wajah pria itu ditambah posisinya saat ini sedang membelakangiku. Sayang sekali, sebelum aku melihat wajahnya, dia berdiri. Azan dhuhur.

Aku terkesiap. Lupa harus berwudhu.

Astahfirullah..

Setelah mengenakan kaos kaki, aku keluar dari WC masjid. Pria itu berdiri di ambang pintu dan membuatku sangat terkejut. Dia Kak Ahmad. Tapi bukan itu alasan yang membuatku panik tidak jelas.

Lengan seragamku masih tergulung, juga hijab yang masih nggak karuan. Karena itu aku memilih untuk menunduk sedalam-dalamnya dan menyembunyikan kedua lengan di balik hijab, mengeratkannya dari dalam. Tapi entah ada apa ini, tiba-tiba penitiku terjatuh. Di depan pria datar itu!!
Ya, Allah..
Bayangkan bagaimana paniknya aku saat ini.

Jika aku mengambilnya, auratku akan terlihat!!! Jika tidak ... aduh bagaimana ya?

Aku cengo di tempat lalu berlari melaluinya. Setelah memasang mukena aku kembali ke tempat insiden tadi. Tapi, peniti itu hilang!!

Aku mondar mandir, keliling sambil garuk-garuk kepala. Siswi yang berdatangan menatapku heran.

“Allahu Akbar,  Allahu Akbar
La ilaha Illallah..”

Itu tadi iqamah? Iqamah!!

...

Aku duduk di depan lemari masjid. Jemaah lain sudah pergi, kecuali pria datar itu. Mungkin kalian berpikir, bagaimana benda sekecil itu membawa dampak sebesar ini. Meskipun kecil, benda itu bisa menyelamatkan.

Hijab yang kukenakan ini hijab model segitiga, hanya saja lebih besar dibandingkan siswi lain. Dan tanpa peniti itu ... aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Bahkan setelah mengemis pada siswi yang lain aku belum terselamatkan juga. Mereka memakai jarum pentul dan aku tidak tau cara memakainya. Fyuh..

Kak Ahmad mematikan kipas angin lalu keluar. Tingallah aku sendiri. Tiba-tiba dia masuk kembali. Merunduk dan meletakkan sesuatu.

Penitiku!

Apa dia sengaja? Tidakkah dia kasian pada kepanikanku tadi?

Aku melempar tatapan tajam. “Jadi, Kak Ahmad yang sembunyiin?!”

Aku Kau Dan Rabbku (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang