-AKR*17-

3.7K 195 5
                                    

Gue bakal nunjukin ke lo.

Ifki mengucapkan kalimat itu tanpa keraguan sedikit pun. Rasanya situasi semakin kacau saja. Argh!

Ya Rabb, aku sangat lelah ....

“Lo nggak papa, Rah?” Suci menatapku dengan sendu. Sepulang sekolah kami bertemu dan berdiskusi sejenak.

Ifki terdengar ambigu. Sangat ambigu. Tapi, aku tidak mengatakan apa pun tentang hal ini pada Suci.

“Udah lebih baik. Gue pulang duluan.” Aku melambai sebelum kami terpisah di persimpangan depan sekolah.

Aku harus mencari tau!!

...

“Kak, kok bengong gitu? Mikirin Kak Ahmad, ya?” Itti datang menggodaku dengan cengiran menyebalkan.

Baik, aku memang memikirkan sosok pria datar yang misterius itu. Tapi, kali ini berbeda.

“Nggak. Kakak lagi pusing," elakku mengusap dahi, pura-pura pusing.

“Kalau gitu, Itti kompres, ya. Mungkin kakak demam." Itti bangkit dan menempelkan punggung tangannya di dahiku

“Eh, jangan! Kakak keluar dulu. Hari ini juga cuti," elakku, lagi. Kupikir Itti hanya bercanda.

Itti menatapku heran karena berdiri dengan satu hentakan.

Sekarang, bukan lagi kecewa, melainkan rasa ingin tahu.

Gue bakal nunjukin semuanya ... sore ini.

Ada apa dengan Kak Ahmad? Selama ini juga tidak ada yang aneh, kecuali kebetulan-kebetulan yang bermunculan beberapa hari yang lalu. Tapi,  bukankah itu wajar saja? Maksudku, tidak ada yang spesial.

“Ke mana?” Kali ini wajah Itti menekuk sempurna.

Aku berjalan ke arah pintu, membelakangi Itti di atas Sofa. “Bentar doang," jawabku tidak nyambung.

Yap! Aku harus pergi, sekarang juga.

.
.
.

“Mong! Gue kira lo nggak dateng.”

Aku tidak menghiraukan Ifki. Tetap saja, dia telah menyakitiku cukup dalam.

“Ikutin gue!”

Kami sedang berada di depan perpustakaan kota. Tapi, bukan tempat ini yang ingin kami kunjungi. Ifki akan membuktikan semuanya, tentang fitnah, Kak Ahmad, dan dia.

Sejak tadi, kami mengitari kota Jakarta. Apa mungkin dia berbohong?

“Itu dia!” serunya sambil menoleh padaku dengan wajah berbinar.

“Sekarang lo bisa ngikutin dia, tanpa gue sekali pun. Gue tau lo masih marah, Mong. Maafin gue.”

Aku tidak menggubrisnya lalu berjalan mengikuti pria datar itu. Setelah kuteliti, penampilan Kak Ahmad cukup aneh. Entahlah, hanya ... aneh.

Sekarang, aku ada di persimpangan, belok kiri lalu menyusuri jalan sepetak dan akhirnya di ... rumah sakit?

Apa yang terjadi sebenarnya? Perasaanku tiba-tiba tidak enak.

Kak Ahmad melangkah masuk. Aku masih mengikutinya sambil mengendap-endap.

Kami berjalan menyusuri koridor rumah sakit, aku sampai pusing karena jalannya cukup berliku.

Mau ke mana Kak Ahmad? Apa kaitannya dengan ibu? Atau jangan-jangan ....

“Alma.”

Aku tersentak. Ternyata aku berjalan tanpa sadar dan akhirnya bertemu ... dengannya.
Kak Ahmad menunduk, sendu. Kenapa dia seperti itu?

Aku Kau Dan Rabbku (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang