-AKR*7-

4.5K 242 0
                                    

**Suci's POV

Jum'at minggu lalu, aku mendengar mama dan papa bertengkar hebat. Air mataku mengalir dengan deras. Aku duduk di kamar, meringkuk, merasa putus asa. Selama enam belas tahun kami hidup bahagia, tiba-tiba masalah besar menghadang dan merenggangkan keharmonisan keluarga kami.

Tangisku semakin membuncah saat Papa menyatakan cerai.

Aku menahan suara. Ingin rasanya berteriak kencang. Sakit. Sakit sekali....

Kenangan indah bersama mama dan papa terlintas di pikiranku. Sekarang kenangan itu hanya akan menjadi mimpi belaka. Bergabung dengan mimpi-mimpiku yang lain.

Mengapa ujian-Mu begitu berat Ya Allah.
Aku ini hamba yang lemah. Bagaimana aku bisa menghadapinya?

Aku terus menangis dan akhirnya tertidur.

Keesokan harinya, aku terbangun. Mencoba bersikap seperti biasa. Aku berjalan tertatih-tatih ke sekolah. Kesedihan ini tidak dapat kusembunyikan.

Sepulang sekolah, aku memilih berdiam diri di taman TEC dan meluapkan segala lara. Aku berteriak, furstasi, dan menangis sesenggukan setelah mendengar bahwa besok mama dan papa akan mengadakan sidang perceraian di pengadilan agama. Aku tidak siap! Aku masih ingin bahagia bersama mereka!!

Tiba-tiba Ayrah datang. Kukira dia sudah pulang dan meninggalkanku.

"Suci ...,” panggilnya

Aku menoleh dengan sayup.

“Astagfirullah Suci ..., apa yang terjadi?" Dia memelukku dan rasanya ... menenangkan.

Aku lupa ... aku lupa bahwa masih ada seorang sahabat yang tidak akan pernah meninggalkanku.

Akhirnya, aku memilih untuk menginap di rumahnya. Aku yakin dia akan menghapus kesedihanku.

"Rah ...,” lirihku, “Malam ini gue nginep di rumah lo, yah.”

Dia mengusap kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut. “Kapanpun lo bisa, kok. Gak akan ada yang ngelarang. Lagipula apa sih yang gak buat lo?”

Aku mencoba tertawa. “Lo tuh ya, situasi kayak gini masih aja bercanda. Lo nggak liat gue lagi sedih?”

“Hahaha. Liat lah. Kan gue punya mata sebagai salah satu pemberian dari Allah.” Dia tersenyum mantap dan menarik tanganku untuk berdiri.

Rasanya aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti Ayrah

“Yuk pulang. Nanti ibu marah ssama gue trus di gue omelin panjang kali lebar.”

Aku mengagguk lemah, mencoba tertawa meski hanya paksaan. “Tapi lo kangen kalau tante Aisyah nggak ada, kan?”

“Yang itu gue nggak bisa ngelak!”

.
.
.

Aku mengemas barang-barang yang ku perlukan. Setelah mendapat SMS dari Ayrah aku segera menuju kesana.
Saat aku tiba di rumah Ayrah, ternyata dia sedang sibuk di kamarnya.
Aku hanya ditemani Tante Aisyah, Ibu Ayrah.

Dia sangat pandai membaca kesedihanku.
Aku menceritakan semua goncangan yang telah ku lalui padanya dan merasa terhibur saat dia menceritakan kekonyolan Ayrah.

Setelah Ayrah datang kami meneruskan obrolan hangat yang baru saja terputus.

Aku ingin menceritakan hal yang telah ku lalui pada Ayrah setelah shalat Asar.
Akan tetapi, Itti adik Ayrah datang dan memberitahu bahwa Kak Ahmad kecelakaan.

Kami bergegas secepat mungkin ke rumah sakit As-Syifa. Aku risau. Mataku fokus pada Kak Ahmad, kakiku juga ikut berlari, tapi hati dan pikiran ini hanya tertuju pada keluargaku yang kini di ujung tombak kehancuran.

Aku Kau Dan Rabbku (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang