Nine

119 21 1
                                    

"Lebih dekat,"

•••

"Bagaimana film-nya?"

Aku menoleh ke arah samping kiriku, dimana dia berdiri, berjalan beriringan denganku.

"Hmm, ku kira itu sangat menyedihkan. Dan aku tidak mau mengalami apa yang di alami gadis itu, di tinggalkan oleh orang yang di cintai ketika sedang sayang-sayangnya, itu pasti menyakitkan,"

Dia tersenyum, setelah aku menjelaskan apa yang ada di kepalaku setelah kita selesai menonton film di salah satu bioskop yang ada di kota ini.

"Jika itu terjadi di dunia nyata, dan itu terjadi padamu bagaimana?"

Aku tersentak.

Apa kau akan meninggalkanku?
Ku mohon jangan, karna aku tak akan pernah sanggup.

"Ah- semoga tidak, aku tidak mau mengalami hal itu sungguh,"

Dia tersenyum -lagi-
Dan ku rasakan ia meraih tanganku, menggengam jari jemariku dan berbisik tepat di telingaku.

"Tidak akan, kau tidak akan mengalami itu. Aku tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu, tolong percaya padaku,"

Hood, apa yang kau katakan?
Tolong katakan sekali lagi, aku benar-benar ingin mendengarnya lagi, lagi dan lagi.

"Dan aku pun tidak akan cukup kuat jika harus tanpamu,"

Aku tanpa sadar, berucap lirih.

"Kenapa Livia?"

Dia menghentikan langkah kami, menatapku dengan wajahnya yang sangatlah lucu, membuatku ingin mencubit pipinya yang mengembung setiap kali ia tersenyum.

Aku menggelengkan kepalaku, menebar senyuman padanya.

"Tidak, terimakasih yah sudah mengajakku kesini,"

"Tidak masalah, karna harus kau tahu, aku semakin tertarik dengamu, semakin tidak bisa jika satu hari pun tanpamu. Ini pertama kali bagiku, dan ku harap kau juga begitu,"

Astaga, kenapa dengan dia.
Kenapa dia semakin hari semakin membuatku jatuh ke dalam jurang cintanya, dia membuatku semakin mencintainya dengan seluruh hatiku.

"Terimakasih sudah mau ku ajak jalan,"

Aku menoleh ke arahnya yang duduk si kursi pengemudi.
Dia baru saja mematikan mesin mobilnya, karna ini sudah sampai di depan rumahku.

Aku tersenyum dan mengangguk, sebagai jawaban -Ya- untuknya.

Tuhan, tolong jaga ucapannya tadi.
Jangan pernah membiarkan dia pergi meninggalkanku, dia terlalu berharga untukku.

"Terimakasih juga sudah dengan baik meminta ijin pada Ibu, kau orang pertama yang melakukan itu,"

Dia terlihat terkejut.
Itu memang benar, karna pada kenyataannya dia adalah pria pertama yang dengan berani meminta ijin pada Ibu untuk mengajakku keluar.
Dan dia, adalah orang pertama juga yang benar-benar aku ijinkan untuk datang menemui Ibu.

"Benarkah? Astaga, aku tidak percaya,"

Aku terkekeh melihat ekspresinya, dia tampak begitu tidak percaya sekaligus senang ketika tahu hal ini.
Dan aku semakin gemas melihatnya, dia menggemaskan.

"Kalau begitu aku turun, sudah malam. Ibu akan menghubungiku beberapa menit lagi sepertinya,"

Aku melirik jam tangan pada pergelangan tanganku, dan sebentar lagi memang jam keluar malamku habis.

"Baiklah, aku mungkin akan menemui Ibumu lagi untuk meminta ijin memilikimu,"

Ya Tuhan, apa yang dia katakan.
Aku ingin pingsan sekarang, dia benar-benar mencoba membunuhku secara perlahan.

"Sampai jumpa,"

Aku menyentuh pintu mobil, hendak membukanya.

"Aku tidak tahu apa yang aku rasakan selama beberapa hari ini, tapi aku mulai menyayangimu,"

Aku melirik tangannya yang menggenggam tanganku, kemudian beralih pada matanya.

Tidak ada siratan lelucon disana, hanya terlihat ketulusan dan harapan yang bisa ku lihat.

Aku tak tahu, aku ingin menangis sekarang.
Menangis untuk kenyataan, untuk diriku, untuk perasaanku, untuk hatiku, untuk segala rasaku padanya, ketika aku tahu, bahwa ia merasakan hal yang sama denganku.

Kita, saling menyayangi.

•••

Tiramisu Ice Blended • Calum HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang