Usaha dan Doa

62 8 6
                                    

Doa tanpa usaha itu sia-sia. Dan usaha tanpa doa itu sombong

----------------

Hari pun berlalu begitu cepat. Tak terasa Olimpiade Tingkat Kabupaten semakin dekat, lebih tepatnya besok lomba itu akan diselenggarakan dan tahun ini sekolahku yang akan menjadi tuan rumah. Ini mengartikan bahwa hari ini adalah hari terakhir kami belajar di perpustakaan.

Sedih? Bisa dibilang begitu, banyak telah terjadi disini. Mulai dari hal yang menyenangkan sampai yang menyakitkan.

Yang menyakitkan? Cuman satu, yaitu menjadi pengagum rahasia. Kepada siapa? Yah siapa lagi kalau bukan Aisyah. Sejak masalah sendal itu selesai, aku tidak pernah lagi berinteraksi dengannya, bahkan untuk berbicara dengannya saja tidak pernah. Aku hanya dapat melihat senyum dari wajah manisnya, senyum yang ditujukkan kepada orang lain, yang kadang membuatku cemburu. Cemburu? Emangnya aku siapanya? Apakah aku terlalu bodoh yah? Menganggap dia begitu special, tapi dia mungkin hanya menganggapku teman, bahkan mungkin lebih rendah dari itu.

Cinta dalam diam sungguh menyiksa hati. Ketika rindu yang bisa dilakukan hanya men-stalk media sosial, yah itu juga yang kulakukan jika rindu kepada Aisya. Facebook, twiter, ig, semua kubuka. Kadang ada keinginan untuk men-chatnya, tapi keinginan itu terhentikan karena tidak mempunyai topik pembicaraan. Ingin bertanya tentang tugas, yah gak mungkin, aku beda kelas dengannya. Ingin bertanya tentang Olimpiade, tidak mungkin juga, dia Kimia aku matematika. Atau hanya sekedar berbasa basi? Tapi aku malas dianggap sebagai cowok yang suka modus, meskipun itu adalah tujuanku. Jadi, aku mencari jalan teraman dan terbaik, yaitu untuk men-chatnya lewat doa. Menyedihkan yah? Tapi tak apalah, aku percaya jika jodoh maka tak akan kemana.

Meskipun begitu, setidaknya banyak hal menyenangkan yang terjadi di perpustakaan. Aku mendapat banyak pelajaran disini. Mendapat banyak teman baru yang selalu memberiku semangat untuk terus belajar. Selain itu banyak hal seru yang terjadi, seperti bermain. Kadang kami mengistirahatkan otak kami dengan bermain beberapa game. Contohnya SOS, sebuah permainan untuk merangkai kata SOS didalam kotak persegi besar yang dibagi menjadi kotak-kotak yang lebih kecil, yang berhasil menyusun kata SOS secara horizontal, vertikal, atau diagonal, maka dia akan mendapat poin. Dan yang poinnya paling tinggi yang akan memenangkan permainan.

Kalau bosan bermain SOS kami bermain jujur berani. Permainan yang membuatku takut untuk memaikannya, soalnya kalau pilihnya berani, permintaannya akan menjadi aneh-aneh. Dan kalau pilihnya jujur, pasti pertanyaan menyangkut perasaan pribadi. Pernah sekali aku bermain. Sialnya aku yang terkena giliran pertama, setelah menimbang dengan matang akupun memilih jujur. Dan sialnya lagi, pertanyaan dari makluk jangkung bernama Hanif itu membuatku malu, dia bertanya tentang perasaanku kepada Aisyah dan Aisyah pun lagi ikut bermain. Untung saja saat itu Ibu Rahma datang, sehingga permainan itu pun tidak dilanjutkan. Sejak saat itu aku berusaha menghindar kalau teman-temanku akan bermain jujur berani.

Dukdukduk

Suara langkah Hanif dan Daniel yang sedang berlari masuk ke perpustakaan.

"Ada apa sih?"

"Biasa, ada Ibu Rahma datang"

Baru saja aku memutar bolaku ke arah pintu perpustakaan aku sudah bisa melihat sosok Ibu Rahma yang berjalan masuk dan menuju meja belajar kami.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" jawab kami serempak.

"Masih belajar kan?"

Kami hanya mengangguk.

"Tak terasa yah, besok sudah lombanya"

"Iya bu, sedih deh" ucap Fira.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang