Bab 7
Kisah Feli
Bulan demi bulan berlalu. Sesuai janjinya, Feli mengajarkan pada Dion banyak hal agar bisa bergaul dengan teman-temannya. Cara berbicara, cara bersikap, kosa kata, dan lain-lain. Dion belajar dengan cepat karena semangat yang tak terbendung. Tapi sepertinya bukan hanya Dion yang mendapat pelajaran. Feli bisa melihat dunia yang berbeda dari dunia yang dipandang Dion. Dan dia belajar sesuatu.
------------
"Gimana ulangannya?" kegiatan rutin saat Feli sampai di Rumah. Mamanya pasti akan meneror hasil ujiannya.
"Ulangan Matematika 88," jawabnya dengan bosan.
"Itu paling tinggi?" Mama Feli masih belum puas seperti biasa. Tangannya terlipat di dada dengan mata serius menatap anak semata wayangnya.
Feli mengabil nafas sebelum menjawab pertanyaan mamanya. Dengan pelan ia menggeleng.
"Berapa yang paling tinggi?" kini nada bicara mamanya naik beberapa oktaf.
Feli berjalan menuju kamarnya di bagian paling belakang seakan mengabaikan pertanyaan mamanya.
"Feli!" teriaknya dengan mata melotot kesal.
"90" jawabnya ogah-ogah sambil menutup pintu kamar.
"Tuh kan, pasti kamu kurang belajar!" omel mamanya di depan pintu kamar. Masih menjaga privasi anaknya. "Mama bilang apa, jangan terlalu serius sama ekskul. Kamu harus bagusin nilai rapot kamu bisa masuk kedokteran lewat undangan!"
Sudah biasa.
Feli masuk ke dalam kamar mandinya mengabaikan ocehan mamanya di depan pintu kamarnya. Hubungan dengan mamanya baik-baik saja, hanya saja saat membahas masalah akademik, mamanya berubah ambisius sekali. Sebenarnya siapa yang sekolah?
Sejak masuk SMA, Feli serasa dikejar rentenir nilai yang tak lain adalah mamanya sendiri. Mamanya berambisi agar Feli bisa masuk ke Fakultas Kedokteran. Tapi tidak dengannya.
Menjadi dokter memang sangat baik, impiannya saat kecil dulu. Tapi makin lama, ia makin mengerti. Dia lebih ingin enjadi insinyur, dosen, sekaligus peneliti. Bukan seorang dokter yang akan menghabiskan bertahun-tahun sekolah dan selanjutnya hidup di rumah sakit penuh penyakit dan menghabiskan ber jam-jam di ruang operasi.
Dia tidak sebaik itu.
Tidak semua orang yang pintar harus menjadi dokter. Negara tidak akan maju jika semuanya berpikir begitu. Itu pikiran Feli. Dia belum dapat empati untuk membantu orang-orang dengan mengorbankan kehidupannya dan keinginannya. Menjadi dokter karena mamanya ingin dirinya mudah mencari pekerjaan mudah nanti seakan-akan hanya profesi dokter yang punya lowongan saat ini.
Feli yakin dirinya pintar, kalau dia jadi insinyur nanti, pasti dia bisa membuka perusahaan sendiri ataupun masuk ke beberapa perusahaan nanti. Mungkin tidak semudah dokter. Tapi dia percaya tuhan sudah menyiapkan rezekinya.
Bukannya mau jadi anak durhaka. Feli tidak mau munafik pada dirinya. Menjadi seorang dokter tidak hanya sekedar bisa menjawab soal-soal biologi dan mempunyai analisis yang tajam. Tapi juga tentang attitude dan empati yang tinggi. Jujur saja, dia tidak sebaik itu. Sebenarnyahal ini yang membuatnya takut setengah mati.
Maka dari itu,kalau mamanya menyinggung masalah akademis, moodnya langsung jelek. Ia rindu mamanya yang selalu menyemangatinya belajar, mengapresiasi nilainya, dan menegurnya dengan baik jika nilainya di bawah kkm. Bukannya menuntut nilai terbaik seperti sekarang. Untung saja Feli tidak sampai berbuat curang agar nilainya naik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiot in Love
Teen FictionTak selamanya harapan itu terwujud Ia seperti angin; Belum tentu berhembus sebagaimana yang diinginkan perahu-perahu Dion divonis terkena penyakit Autism Spectrum Disorders, tidak membuatnya kehilangan harapan. Usaha untuk keluar dari kotak pikiran...