Run baby run
Don’t ever look back
They’ll tear us apart
If you give them the chance
~We The King ’Check Yes Juliet’~
***
“Iqbaal?”
(namakamu) menyapa Iqbaal yang baru saja memasuki ruangannya—mereka. Tapi sayangnya pria itu mengabaikannya dan justru menatap (namakamu) dengan sinis.
“Baal, ada yang salah?”
“Mulai hari ini...” Iqbaal tidak menatap mata (namakamu). “panggil saya dengan sebutan ‘pak’ sebelum nama.”
“A-apa?”
“Kamu dengar apa yang saya ucapkan, (namakamu).”
“Tapi k-kenapa? Bukannya kemarin kita—“
Iqbaal mendengus, “Seks yang kemarin hanyalah hiburan bagi kita berdua, dan saya MENYESAL telah melakukannya dengan kamu.”
(namakamu) bangkit dari kursinya dan menatap Iqbaal tidak percaya. Pria itu bilang ia menyesal? Apa (namakamu) tidak salah dengar, karena justru pria itu yang pertama membuka jas dan kemejanya? Lalu pria itu yang membuka resleting dress (namakamu)?
Dan pria itu yang telah mengambil kehormatan miliknya yang selama ini ia jaga dari semua pria? Iqbaal keterlaluan, bukankah kemarin pria itu mengatakan jika ia mencintai (namakamu)?
“Kamu kenapa, Baal? Kenapa kamu tiba-tiba berubah gini?”
“Sudah saya bilang gunakan sebutan ‘pak’, (namakamu)!”
“M-maaf, Ba—pak Iqbaal.” Ucap (namakamu) sembari menundukkan kepalanya, bentakkan Iqbaal itu terasa menyakitkan hatinya. Belum lagi pria itu sama sekali tidak menatap (namakamu) dan malah berjalan ke mejanya dengan cepat.
(namakamu) tidak tahu apa yang terjadi dengan Iqbaal. Kemarin mereka baru saja melakukan hubungan terlarang, tapi sekarang sikap Iqbaal begitu dingin terhadapnya.
Apa Iqbaal pikir jika (namakamu) hanyalah boneka yang bisa ia mainkan sepuasnya? Apakah Iqbaal menganggap (namakamu) hanya sebagai pemuas nafsunya? Apakah... ada hal lain yang membuat Iqbaal berubah terhadap (namakamu)?
Gadis itu memilih untuk keluar dari ruangan dan membanting pintunya sekeras mungkin. Ia bergeser ke dinding dekat lift dan menyandarkan tubuh disana. Dengan cepat air matanya mengalir seiring dengan tubuh (namakamu) yang turun ke lantai. Kemudian pikirannya melayang pada Aldi, mungkinkah pria itu yang telah mengancam Iqbaal dan membuat Iqbaal seperti ini padanya?
(namakamu) menutupi wajahnya dengan kedua tangan, kenapa hidupnya jadi serumit ini? Mempunyai tunangan egois dan hampir seperti psikopat. (namakamu) telah melepaskan kegadisannya pada pria yang mulai ia cintai, tapi pria itu sekarang memerlakukannya dengan dingin.
Pria itu juga pemilik ciuman pertamanya dan hanya tubuh pria itu yang pernah (namakamu) lihat seutuhnya tanpa sehelai benang.
***
Iqbaal tahu apa yang tadi ia ucapkan (namakamu) adalah sepenuhnya karena terpaksa. Ia tidak ingin (namakamu) memanggilnya dengan sebutan ‘pak’.
Ia tidak ingin mengatakan bahwa ia menyesal telah melakukan hubungan terlarang itu dengan (namakamu) kemarin. Ia justru sangat menikmatinya dan ingin merasakan yang lebih. Iqbaal ingin semuanya baik-baik saja, tapi sayangnya ia tidak bisa.
Pria itu menaruh setangkai mawar merah di vas meja (namakamu) ketika gadis itu keluar. Iqbaal tahu (namakamu) pasti menangis, tapi ia tidak bisa memeluk gadis itu untuk menenangkannya.
Jika saja ancaman itu tidak datang, Iqbaal pasti tidak akan begini. Jika saja Aldi tidak datang ke rumahnya kemarin dan mengatakan ia bersedia membunuh (namakamu) jika Iqbaal tidak menjauhinya, maka Iqbaal tidak akan sedingin ini.
“Maafin aku, (namakamu).”
Pria itu pun bangkit dari kursinya dan masuk ke sebuah ruangan yang orang pikir itu adalah kamar mandi. Sayangnya, semuanya salah besar. Ketika masuk keruangan itu, kalian akan menemukan pintu lift yang tembus pandang—itulah lift khusus yang dimaksud Iqbaal. Tapi Iqbaal tidak berniat untuk turun ke lantai bawah, ia masuk ke lift untuk membahagiakan dirinya.
Iqbaal menutup pintu lift tanpa menekan tombol untuk ke bawah. Ia menatap dirinya dari cermin dan menggulung lengan jas kirinya sampai ke siku.
Iqbaal membuka sebuah kotak yang terpaku di salah satu dinding lift dan mengambil salah satu jenis pisau kesukaannya. Pisau kecil yang ujungnya amat lancip dengan gagang yang terbuat dari tembaga asli.
Perlahan tapi pasti ia menggoreskan ujung pisau itu ke kulit pergelangan tangannya. Darah bercucuran bersamaan dengan rasa sedih Iqbaal yang menghilang. Tapi rasa sedih itu hanya menghilang sementara, bukan terhapuskan. Sekitar tujuh goresan terbuat.
“Arrghhhh...” rasa sakitnya baru terasa ketika Iqbaal ingin keluar dari lift khususnya itu.
Dan ia begitu terkejut ketika ia keluar dari pintu, mendapati (namakamu) berdiri menatapnya dengan mata yang sembab. Ia langsung melihat pergelangan tangan Iqbaal dan jasnya yang terkena tetesan darah. Gadis itu pun hanya bisa menggelengkan kepala, padahal hatinya ingin sekali memeluk pria itu.
“Jangan sakiti diri anda sendiri, p-pak.”
“Apa urusannya dengan kamu?”
“Saya tidak ingin melihat orang yang mulai saya cintai, terluka kembali, pak.”
Iqbaal membuka mulut cukup terkejut, “Kamu mulai mencintai saya?”
“Y-ya, pak.”
“Jangan, (namakamu).”
“Jangan? Maksud bapak?”
“Jangan mencintai saya. Saya mohon, jaga jarak kamu dengan saya, saya tidak ingin kamu terluka.”
“Saya justru terluka jika saya menja—“
“Bukan terluka secara batin, tapi fisik, (namakamu)! Jangan mencintai saya, karena nyawa kamu adalah taruhannya.”
(namakamu) tahu bahwa ini sudah pasti Aldi yang mengancam seorang Iqbaal Blackford. Tapi (namakamu) tidak peduli jika nyawanya sekalipun adalah taruhannya. Ia mulai mencintai Iqbaal, ia tidak bisa berhenti begitu saja karena ia tahu bahwa Iqbaal juga mencintainya.
Aldi mengatakan bisa saja ia atau Iqbaal yang mati, tapi (namakamu) juga bisa memilih untuk menggantung dirinya sendiri. Dan pada akhirnya tidak ada satu diantara kedua pria itu yang bisa memilikinya.
“Jangan dengarkan Aldi, pak.” (namakamu) merasa suaranya bergetar hebat.
"saya mohon, jadilah seorang Iqbaal Blackford seperti hari sebelumnya pada saya. Jangan berubah dingin, jangan menyuruh saya menjauhi kamu, jangan takut pada ancaman siapapun. Saya mencintai kamu.”
“T-tapi bagaimana kalau Aldi benar-benar memegang ucapannya? Bagaimana kalau ia membunuh salah satu diantara kita?”
“Jadi kamu adalah tipe orang yang lebih takut mati dibanding memperjuangkan cinta kamu?”
“Bukan begitu, (namakamu)!”
Iqbaal langsung memeluk tubuh gadis itu sebelum tangisnya benar-benar pecah. Iqbaal tidak peduli jika darah menetes ke pakaian (namakamu), dan ia juga tidak peduli air mata (namakamu) menetes deras ke jasnya.
“kalo aku yang mati itu ga masalah. Tapi kalo sampe kamu yang mati, aku ga akan bisa maafin diri aku sendiri!” Bahasanya kembali seperti biasa.
“Kalo kamu mati, aku mau mati bareng kamu, Baal.”
“(namakamu), jangan korbanin diri kamu buat cowok ga berguna kayak ak—“
“Kamu berguna!” (namakamu) meremas kemeja Iqbaal sembari terus menangis. “aku butuh kamu, Baal. Kamu bukan cuma berguna untuk aku, tapi kamu itu berharga.”
“Aku cinta kamu.”
“Aku—“
“Aku tahu kamu juga cinta aku, (namakamu).” Iqbaal tersenyum, “maaf karena ucapan aku yang sebelumnya ya? Aku sama sekali ga nyesel kok udah ngelakuin ‘itu’ sama kamu.” Pria itu mendengar kekehan kecil dari mulut (namakamu).
“Ga semudah itu untuk aku maafin kamu, Baal. Kamu harus dapet konsekuensinya.”
“Konsekuensi?”
“Yap. Dan konsekuensinya adalah... gimana kalo kita lakuin ‘itu’ sekali lagi?”
Iqbaal merasakan pipinya menghangat dan ia tersenyum lebar, “Um, okay?”
“Tapi aku yang pilih tempatnya.”
“Up to you, Princess.”
“Princess?” (namakamu) mengerutkan alis. “kenapa harus princess?”
“Because i’m your daddy. Inget kan kalo umur aku 6 tahun lebih tua dari kamu?”
(namakamu) mengangguk, “Always remember that, Daddy.”
Mereka pun tertawa bersamaan. (namakamu) merasa jika sisi keempat belas yang Iqbaal miliki adalah... daddy kink. Iqbaal selalu menjadi yang dominan dalam suatu hubungan, tapi sayangnya ia selalu berada di bawah kendali (namakamu).
Gadis itu tersenyum mengingat betapa pervert-nya mereka sampai akhirnya ia merasakan sesuatu yang hangat menempel di bibirnya. Oh, itu adalah ciuman yang (namakamu) anggap dahsyat dari seorang Iqbaal Blackford.
“I love you, princessssssssssss.”
“I love you more than Juliet love Romeo, daddy Blackford.”
***
(namakamu) tahu hari ini adalah hari libur. Tidak ada kerja, dan juga tidak ada Iqbaal. Gadis itu memainkan ponselnya dengan membuka galeri yang ada. Sampai akhirnya ia menemukan foto yang ia ambil dari balik foto keluarga Iqbaal.
Gadis itu merasakan jantungnya berdegup ketika melihat alamat rumah itu, ia rasa ia harus memulainya hari ini.
Tapi ia takut datang sendirian. (namakamu) tidak tahu bagaimana sikap mama Iqbaal, bisa saja ia langsung marah ketika (namakamu) datang dan mengatakan bahwa ia bagian dari BSC. Bisa saja mama Iqbaal langsung mengusirnya, karena ia tidak mau berhubungan dengan apapun mengenai Iqbaal.
Namun, jika (namakamu) tidak memulainya, siapa yang akan memersatukan Iqbaal dengan keluarganya lagi?
“(namakamu)?” Pintu kamarnya terbuka dan menampakkan sang mama yang tersenyum padanya. “ada temen kamu yang nunggu di ruang tamu.”
“Cewek atau cowok, ma?”
“Cewek. Ituloh si Sal—“
(namakamu) merasakan jantungnya berhenti berdetak. Gadis itu. “Okay, ma.” Dan sang mama pun kembali menutup pintunya meninggalkan (namakamu) yang sekarang hatinya tak menentu.
Gadis itu belum bisa memaafkan Salsha, dan ia tidak ingin bertatap wajah dengan Salsha hari ini. Dengan segera (namakamu) mengambil tas jinjing dan memasang jaketnya. Ia lebih memilih untuk pergi ke rumah mama Iqbaal—seorang diri—dibanding harus menemui Salsha.
(namakamu) melompati jendelanya dan menutupnya dengan perlahan. Saat melewati rumahnya, ia bisa melihat sepatu Salsha berada di depan pintu. (namakamu) menghela nafas tepat disaat seorang pria berdiri di balkon kamar di seberang rumah (namakamu). Pria itu adalah Aldi.
(namakamu) segera berlari, ia tahu bahwa arah pandang mata Aldi masih jatuh ke punggungnya. Ia tidak ingin bertemu dengan Aldi juga dan ia tidak mau pria itu mengikutinya. Sialnya, Aldi segera beranjak dan menunggangi motornya untuk mengikuti gadis itu.
Dan lebih sialnya lagi, (namakamu) tidak tahu itu.
.
.
Tangan (namakamu) berkeringat saat mengetuk pintu rumah mama Iqbaal. Ia benar-benar gugup dan tidak mengerti kenapa ia begitu niat untuk menyatukan Iqbaal dengan keluarganya lagi.
Mungkin karena ia ingin melihat orang yang ia cintai bahagia. Mungkin karena ia ingin Iqbaal merasa dirinya itu berharga dan pantas hidup di dunia... bersama dengan (namakamu).
“Ya?” Pintu pun terbuka, menampakkan seorang wanita berhijab yang sama persis dengan foto yang ditemukan (namakamu) itu. “maaf, cari siapa ya?”
“Apa benar ini rumah ibu Rike Dhamayanti?”
“Ya, itu saya sendiri. Ada keperluan apa?”
(namakamu) tersenyum tipis, “Boleh saya berbicara di dalam?”
Meski ragu, akhirnya Rike mempersilahkan (namakamu) untuk masuk ke dalam. Ia curiga jika gadis itu berhubungan dengan BSC, karena warna pakaiannya yang cenderung gelap. Dan kalau tidak salah ia pernah melihat foto (namakamu) di tv.
Rike semakin yakin jika gadis yang sekarang duduk di hadapannya ini adalah sekretaris BSC, fotonya pernah terpampang di berita beberapa waktu lalu. Perasaan kesal dan tidak suka pun langsung merasuki hati Rike, pasti gadis itu akan membicarakan tentang Iq—anak yang tidak berguna itu.
“Jangan katakan jika kamu datang kesini untuk membicarakan tentang BSC.”
“B-bagaimana ibu bisa tahu?”
“Jangan basi-basi, nona muda.” Ucap Rike sarkastik. “langsung ke inti sebelum saya mengusir kamu dari rumah saya.”
(namakamu) menghela nafas panjang. Jabatannya sebagai sekretaris pribadi Iqbaal sudah pasti membuatnya di kenal sebagian besar masyarakat Jakarta. Ia pun semakin gugup, apa yang harus dikatakannya pada Rike untuk pertama kali?
Haruskah tiba-tiba ia bersujud di kaki Rike agar wanita itu mau memaafkan Iqbaal? Tapi itu kedengarannya aneh, ia harus bisa membuat Rike yakin bahwa Iqbaal... tetaplah anaknya dan ia bukan pembunuh.
“Ini tentang... anak anda.” Mulai (namakamu) yang dibalas tatapan acuh oleh Rike. “dia membutuhkan anda.”
“Tidak. Anak sayang hanyalah Fildza Hasnamudhia, dan ia sudah tenang bersama suami saya di sana.”
“Bagaimana bisa ibu sebagai orang yang melahirkan anak ibu sendiri tidak menganggap jika Iqbaal adalah anak ibu juga?”
“Jangan sebut nama itu!” bentak Rike dan wajahnya berubah merah karena marah.
“Iqbaal Blackford adalah anak Rike Dhamayanti dan Herry Blackford, ia juga adik dari Fildza Hasnamudhia.”
(namakamu) menarik nafas dalam-dalam. “Apa sih yang membuat ibu berpikir kalau dia adalah pembunuh ayah dan kakaknya sendiri? Itu murni kecelakaan, bu! Iqbaal juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Waktu itu, sebagai ibu yang baik, seharusnya ibu menenangkannya, menemaninya, meyakinkan bahwa itu sudah takdir Tuhan, bukannya—“
“Jangan menceramahi saya, nona muda tidak tahu diri! Kejadian itu sudah lewat sepuluh tahun lalu, kenapa kamu mengungkitnya kembali?”
“Karena selama sepuluh tahun itu juga ibu telah menelantarkan Iqbaal!”
“Sudah saya bilang saya bukan ibu—“
“Tuhan pasti marah besar dengan yang selama ini ibu lakukan. Dia yang telah menitipkan seorang Iqbaal ke rahim anda, Dia yang telah membuat Iqbaal lahir dan hidup dalam keluarga bersama anda, tapi apa yang anda lakukan? Itu bukanlah perilaku ibu yang baik! Dimana hati anda, huh?”
Rike menatap (namakamu) dengan sangat sinis, meski ia tahu matanya mulai berkaca-kaca. Baginya, Iqbaal tetaplah bersalah, karena akibat pria itu tidak mengemudi dengan baik, Rike jadi kehilangan anak pertama dan suaminya. Karena Iqbaal-lah keluarganya tidak lengkap kembali.
“Bu, coba buka pikiran ibu. Kecelakaan itu adalah takdir dari Tuhan, bukan Iqbaal yang memintanya terjadi.”
“Kamu tidak perlu ikut campur dalam keluarga saya!”
“Saya berhak ikut campur, karena keluarga Iqbaal hanyalah ibu sekarang ini. Apa ibu tahu betapa terlukanya Iqbaal saat anda tidak menginginkannya kembali ke rumah? Dia pasti sangat terluka, umurnya baru delapan belas waktu itu! Dia sampai minum-minuman terlarang dan menggores lengannya dengan pisau dan itu berlangsung sampai sekarang!”
“Saya tidak ped—“
“Anda harus peduli karena semua itu disebabkan oleh anda.”
(namakamu) merasakan air matanya mulai jatuh dengan deras, sedangkan Rike masih bersikeras untuk tidak peduli. “lihat dia sekarang ini! Lihat perusahaannya, lihat betapa sekarang semua orang tahu dia! Dia berjuang sendirian, bu! Sendirian sampai di hari ini!”
“Pergi kamu!”
Rike menggebrak meja ruang tamunya dengan marah. Ia marah karena apa yang gadis itu ucapkan sepenuhnya benar. Iqbaal berjuang sendirian selama sepuluh tahun ini. Iqbaal sendirian, hanya Rike-lah keluarganya yang tersisa.
Tapi apa yang Rike lakukan? Ia tetap membenci Iqbaal, ia tidak mau mengakui Iqbaal sebagai anaknya lagi!
“Demi Tuhan, bu! Dengarkan saya... jangan menyangkal hati ibu sendiri, ibu pasti masih menyayangi Iqbaal, bukan?”
“Ti—“
“Lihat rumah ini, kosong dan sunyi sebagaimana rumah Iqbaal! Kenapa kalian tidak bersatu kembali? Kenapa kalian tidak saling melengkapi lagi? Kenapa ibu tidak mau menyadari kesalahan ibu selama ini? Jika ibu tetap menyalahkan Iqbaal atas kecelakaan itu, sama artinya seperti ibu tidak percaya bahwa kecelakaan adalah kuasa Tuhan!”
Rike tahu air matanya mengalir, tapi ia segera menepis dan menghapuskannya. Ia tidak mau gadis di hadapannya tahu bahwa sekarang... Rike mulai merasa bersalah.
Selama ini ia buta oleh rasa benci yang seharusnya tidak pernah ada. Selama ini Rike tidak melihat kenyataan bahwa bagaimana pun juga Iqbaal tetaplah anaknya, dan kecelakaan itu adalah rencana Tuhan.
Hati Rike bergetar kuat, tiba-tiba saja ia merasa rindu yang amat dalam terhadap seorang Iqbaal. Dan benar, Rike hanya tinggal punya Iqbaal sebagai darah dagingnya, begitu juga Iqbaal hanya mempunyai Rike sebagai ibunya.
“Saya mohon, bu, terima kembali Iqbaal. Saya terluka melihat dia sendirian, bu. Saya terluka melihat dia menggoreskan pis—“
“Siapa nama kamu?”
(namakamu) menggigit bibirnya ragu, “(namakamu).”
“(namakamu)...”
Rike bangkit dari sofanya dan berjalan mendekati (namakamu). Gadis itu sedikit takut karena mungkin Rike akan menamparnya. Rike pasti marah besar padanya, karena (namakamu) yang bukan siapa-siapa telah menceramahi dan ikut campur dalam masalah keluarganya.
Tapi rasa takut itu hilang, seiring dengan lengan Rike yang melingkar di tubuh (namakamu).
“T-terima k-kasih...”
“Saya merasa bersalah sekarang, terima kasih, (namakamu).” Rike memeluk (namakamu) semakin erat.
“Tapi saya butuh waktu untuk bertemu dengannya.”
(namakamu) mengangguk mengerti, “Dia punya nama, bu.”
“Baiklah...”
Rike menghela nafas. “Saya butuh waktu untuk bertemu dengan... Iq—baal. Anak saya.” Tangisnya pun pecah dan rasa sesak di dadanya mulai meluap. Ini adalah kali pertama setelah sepuluh tahun lamanya Rike mau menyebut nama anaknya lagi.
(namakamu) tersenyum pada dirinya sendiri, tidak menyangka jika ia berhasil membuat seorang Rike Dhamayanti sadar apa yang telah dilakukannya.
Setidaknya ini akan menjadi kejutan untuk Iqbaal, meski harus menunggu sampai Rike siap. Pelukan pun merenggang dan (namakamu) bisa melihat wajah Rike sudah tidak sesinis beberapa saat lalu. Ia terlihat seperti ibu yang amat baik hati sekarang.
“Saya minta tolong pada kamu, (namakamu), bisakan kamu siapkan pertemuan saya dengan Iqbaal sebagai kejutan?”
“Tentu saja,” (namakamu) tersenyum lebar. “saya akan mempersiapkannya sesempurna mungkin! Iqbaal pasti sangat bahagia!” Ia sangat bersemangat sekarang.
Rike tersenyum, gadis di hadapannya ini benar-benar peduli pada anaknya. Dan Rike tidak sabar untuk segera bertatap mata dengan anaknya itu, dan menariknya ke dalam dekapan hangat. Tapi sebelumnya, ada banyak hal yang harus Rike tanyakan pada (namakamu).
Semua hal itu tentang Iqbaal, Rike ingin tahu Iqbaal lebih jauh setelah sepuluh tahun tak bertemu ini.
“Jadi, (namakamu), bisa kamu ceritakan bagaimana Iqbaal belakangan ini?”
“Satu hal yang sangat saya tahu, bu,”
“Apa hal itu?”
“Iqbaal sangat merindukan dan sangat membutuhkan ibu.”
***
“Seru ya di dalem sana?”
(namakamu) terkejut ketika pintu rumah Rike baru saja ditutup. Ia kenal sekali dengan suara itu, sangat mengenalinya sehingga bulu kuduknya berdiri begitu saja.
Alvaro Maldini mengikutinya, ia pasti tahu apa yang (namakamu) lakukan, dan ia pasti akan sangat ma—
“Kamu ngerti apa yang aku ucapin sebelumnya ga sih, sayang?” mata Aldi kelihatan hampir lepas dari tempatnya. “berhenti ngurusin Iqbaal! Berhenti berhubungan sama dia! Kamu itu tunangan aku, apa kurang jelas?”
Aldi marah, pikir (namakamu). Ia tidak mau membuat Rike terusik, maka ia menarik lengan Aldi menjauhi rumah bercat kuning itu. Saat menangkap letak motor Aldi, segera saja (namakamu) menarik Aldi ke arah sana.
Malam yang cukup sepi dan dingin, kini jantung (namakamu) berdegup kencang mengingat Aldi... semakin marah dan mungkin saja benar-benar mulai menyusun rencana untuk membunuh Iqbaal.
“(namakamu)!”
“Aldi...” (namakamu) tak berani menatap mata pria itu, ia pun menggigit bibir bawahnya dengan kencang. “please jangan kayak gini.”
“Terus aku harus kayak gimana supaya kamu ga berhubungan sama si brengsek itu lagi?”
“Putusin pertunangan kita.”
“Ga bisa!”
“Kalo gitu, aku juga ga bisa untuk berhenti berhubungan sama Iqbaal.”
“Kenapa kamu keras kepala banget sih, (namakamu)! Aku mau kamu jadi milik aku sepenuhnya—“
“Tapi kamu juga jadiin Salsha milik kamu sepenuhnya, Ald!” balas (namakamu), ia mulai berteriak.
“Okay, aku mau kamu dan Salsha jadi milik aku sepenuhnya! Salsha bisa, tapi kenapa kamu ga? Kenapa kamu masih berhubungan sama cowok lain? Ngapain kamu urusin hidupnya dia? Dan ngapain juga kamu cari perhatian sama mamanya, huh?”
“Aku ga cari perhatian!”
“Kamu iya, (namakamu). Untuk apa kamu nyatuin mereka lagi? Pasti supaya Iqbaal merasa kamu bener-bener cinta dia, dan pasti supaya mama Iqbaal itu tahu kalo kamu yang terbaik buat Iqbaal. Iya, kan?” Aldi menatap (namakamu) dengan sinis.
PLAKKK
Ini kali keduanya (namakamu) menampar Aldi dan pria itu hanya menatapnya tajam.
“Demi Tuhan, aku benci kamu, Ald! Aku benci kenapa dulu aku bisa jatuh cinta sama kamu dan jadiin kamu tunangan aku!”
“Oh ya? Kamu benci aku?”
“Sangat, Ald! Sangat!”
“Silahkan benci aku, (namakamu).” Aldi tersenyum penuh arti. “benci aku sampe kamu liat siapa yang bakal mati diantara kita bertiga. Aku, Iqbaal, atau justru kamu, gadis—oh salah, WANITA JALANG!”
Aldi menghiraukan tatapan terkejut dari (namakamu). Jangan kira Aldi tidak tahu bahwa (namakamu) dan Iqbaal sudah melakukan itu, karena ia... mendengar apa yang (namakamu) dan Iqbaal ucapkan di dalam ruangan Iqbaal.
Ya, Aldi sengaja menyabotase ruang CCTV di kantor Iqbaal sehingga ia bisa melihat dan mendengar dengan jelas apa yang diucapkan keduanya.
“Kita bertiga itu freak, (namakamu). AKU SI PSIKOPAT, IQBAAL SI PRIA BRENGSEK, DAN KAMU SI WANITA JALANG!”
“Ald!”
“Apa? Kamu keberatan disebut wanita jalang? Bukannya kamu emang jalang, ya? Kan kamu yang minta Iqbaal buat ngelakuin ‘itu’ sekali lagi?”
(namakamu) membulatkan matanya, sekarang Aldi tahu semuanya. Ia tidak peduli bagaimana caranya Aldi bisa tahu itu semua. (namakamu) semakin benci dengan Aldi dan rasanya ingin membunuh pria itu sekarang juga.
Wanita jalang? Tentu saja tidak, karena (namakamu) hanya memberikan kehormatannya pada Iqbaal seorang, tidak pada Aldi atau pria lainnya.
“Permainan ini benar-benar udah dimulai, Ald.” (namakamu) tersenyum sinis. “tetap berhati-hati di jalur kamu sebelum kamu jatuh dan kalah ya, sayang.”
BUGH
Dan kaki gadis itu tiba-tiba saja melayang ke arah selangkangan Aldi dan menendangnya dengan kuat. Pria itu mengaduh amat keras dan meremas celananya kuat-kuat. (namakamu) sekarang terlihat seperti malaikat maut yang siap untuk bertarung dengan iblis seperti Aldi.
Gadis itu benar-benar sudah siap untuk menghadapi Aldi, dan ia tidak akan mau menjadi boneka barbie pria itu lagi.
(namakamu) sudah tidak bisa mundur, ia tidak akan memberikan Aldi kesempatan untuk mengatur hidupnya lagi. Sekalipun akhirnya ia yang akan mati, ia bersedia daripada harus menyerah pada Aldi.
Tapi jika Iqbaal yang mati karena Aldi membunuhnya, (namakamu) bersumpah akan yang melakukan hal yang sama pada Aldi. Bahkan dengan lebih kejam dan menyakitkan, karena sekarang (namakamu) adalah malaikat maut untuk hidup Aldi.
“Dan anggep aja tendangan barusan itu sebagai... awal dari segalanya.”
(namakamu) berjalan meninggalkan Aldi yang masih kesakitan, setelah sebelumnya berbisik, “Sampai ketemu di garis finish, iblisku sayang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
60 Shades Of Iqbaal
Teen FictionSo, Love me and Touch me Like you do! Andrea's Story by Febyanti.R