Dua

29K 5K 139
                                    

Aku cuman mau ngingatin lagi sih kalau ini cerita yang ditulis sekitar tiga tahun lalu, barengan dengan DONGENG TENTANG WAKTU. Hanya saja, DTW disunting oleh editor kece badai, sedangkan ini nggak lewat tangan editor, jadi ya, masih ala kadarnya, sesuai kemampuan menulis waktu itu. Tapi semoga bisa dinikmati. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Kak Elwan menjemputku di bandara. Dia memelukku erat tanpa merasa sungkan dengan keramaian yang ada di situ. Adegan yang lebih mirip pertemuan dua orang kekasih yang terpisah lama daripada adegan kakak yang menjemput adiknya. Kak Elwan memang selalu ekspresif seperti itu.

"Adek gue makin cantik saja setelah dua tahun nggak ketemu!" Serunya riang sambil tertawa. "Udara Papua bagus banget buat lo, Nay. Bawa oleh-oleh koteka buat gue, nggak?"

Meskipun sudah keluar dari rumah setelah tamat SMU karena memilih tes dan lulus di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang sengaja kupilih karena jauh dari rumah, Kak Elwan rutin mengunjungiku. Dia biasanya menghabiskan liburan semester di Makassar. Setelah mulai bekerja, dia memang hanya bisa menginap dua atau tiga hari, tetapi lebih sering datang. Kami memang tidak bertemu selama dua tahun terakhir, tetapi selalu berhubungan melalui telepon, saat aku menemukan sinyal, ketika keluar dari wilayah Puskesmas tempatku bertugas di pedalamaan. Hubungan kami sangat dekat.

"Kak Elwan juga makin cakep," aku balas menggoda. "Cewek yang naksir pasti antre nih. Apalagi kalau nanti jalan-jalannya pakai koteka yang gue bawain."

Gelak Kak Elwan makin keras. Dia mengacak rambutku. Kebiasaannya dari dulu. Dia mengambil alih koper dan tas dari tanganku, lalu menggiringku ke tempat parkir. "Dan cowok-cowok yang sudah lo bikin patah hati juga pasti banyak kan, Nay?"

Aku ikut tertawa kecil. "Gue kan bukan tipe heartbreaker, Kak. Lagian, mana ada yang suka sama cewek model patung kayak gue."

"Nggak mungkin nggak ada. Cewek cakep mah pengagumnya bejibun." Kak Elwan memasukkan koper dan tasku ke bagasi. Mobilnya kemudian mulai membelah jalan ibukota yang padat. "Lo mau makan apa, Nay?" Dia mengalihkan percakapan. "Kita mampir makan sebelum pulang ke rumah, ya. Dulu lo suka banget soto Betawi, kan? Soto Betawi di Makassar dan Papua pasti beda rasanya dengan yang asli."

Kak Elwan masih ingat makanan favoritku. Aku sangat suka makanan yang berkuah dan disajikan panas-panas. "Iya, Soto Betawi deh, Kak. Oh ya, Papa kapan pulang?" Tadi malam papa menelpon untuk mengatakan jika dia sedang berada di Lombok, untuk melihat pembangunan resor di sana, sehingga dia tidak ada di rumah saat aku tiba hari ini.

"Paling juga besok, Nay. Kliennya rewel karena dia teman Papa. Biasanya urusan kayak gitu kan gue atau Vino yang kerjain."

Papa seorang arsitek. Dia punya perusahan atau biro yang bergerak di bidang properti. Mereka membangun berbagai macam perumahan, gedung, dan semacamnya. Aku tidak terlalu mengerti urusan itu. Aku hanya tahu jika biro Papa lumayan besar. Perusahaan yang kini ikut dikelelola oleh Kak Elwan dan Vino yang juga sama-sama arsitek.

"Vino gimana kabarnya, Kak?" Aku memutuskan bertanya. Akan terasa aneh tidak menyebut namanya setelah tadi bertanya tentang Papa.

"Vino baik. Nanti juga lo ketemu sama dia. Tapi dia biasanya tinggal di apartemennya saat week day. Weekend baru pulang ke rumah."

Aku ingin bertanya mengapa, tetapi kemudian mengurungkannya. Hak Vino memilih tinggal di apartemen, meskipun jarak rumah dan kantor Papa juga tidak terlalu jauh. "Mbak Sumi sehat juga?" Mbak Sumi adalah asisten rumah tangga kami.

"Lo mengabsen semua orang?" Kak Elwan kembali tersenyum lebar. "Dia juga baik. Tadi semangat nanyain lo mau makan apa biar dia masakin. Tapi gue bilang siang ini kita makan di luar. Dia cukup siapin makan malam saja."

You Belong to Me-TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang