Enam

24.7K 5.7K 115
                                    

Aku mendapat kejutan menyenangkan saat mengikuti meeting pertamaku dengan pegawai dan pemilik klinik. Ternyata salah seorang anak pemilik klinik adalah seniorku di FK-Unhas.

"Jadi dokter baru itu kamu ya, Nayla," katanya riang. Dia menghampiri dan mengajakku ngobrol setelah meeting selesai. "Adik saya bilang dia dapat CV kamu dari temannya. Sama sekali nggak kepikiran kalau itu kamu."

Aku ikut tersenyum. "Kalau tahu ini klinik Kak Teguh, saya akan daftar sendiri, nggak perlu pakai nepotisme segala." Di Makassar, kami selalu memanggil orang yang lebih tua, atau senior kami dengan sebutan kakak.

"Kapan dari Makassar? Eh, saya malah nggak tahu kamu orang Jakarta." Teguh mengamatiku sambil tersenyum lebar. "Jujur, tampang kamu nggak ada nuansa lokalnya sih. Jadi kalau mau menebak, harusnya nebak negara, bukan menebak daerah di Indonesia."

"Baru sebulan lebih." Aku memilih mengabaikan kalimat Teguh yang terakhir. Aku tidak suka mendengar saat orang lain menganggap aku tidak pantas disebut orang Indonesia karena warna kulit, mata, dan rambutku yang berbeda. Kalau bisa memilih, aku tidak mau terlihat seperti ini. Aku mau kulit seperti Dian yang kuning langsat. "Kok saya nggak pernah lihat Kak Teguh di sini?" Aku sengaja mengalihkan percakapan.

"Nggak ada waktu menengok klinik, Nayla. Saya baru setahun sekolah lagi. Sibuk jadi kuli di rumah sakit."

"Ambil jurusan apa, Kak?" tanyaku antusias. Aku bisa memintah bocoran dari Teguh untuk persiapan tes tahun depan.

"Anastesi. Kamu ikut tes tahun depan, kan?" Teguh balik bertanya.

"Iya. Tahun depan saya mau coba ikut di sini juga, Kak. Ini lagi mikir mau ambil jurusan apa." Aku memang sedang mempertimbangkan beberapa opsi, belum bulat menentukan pilihan.

Teguh melihat pergelangan tangannya. "Senang ketemu kamu lagi, Nayla, tapi saya harus balik ke rumah sakit nih. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Kita pasti sering ketemu kalau kamu masih di sini." Dia meminta nomor teleponku sebelum pergi. Senang rasanya bertemu orang yang aku kenal, meskipun dulu kami tidak terlalu akrab. Aku dan Teguh dulu paling sering bertemu di instalasi gizi saat makan siang, saat tidak punya waktu untuk makan di luar rumah sakit.

Dian menjemputku di klinik setelah aku selesai jaga. Kami lantas sepakat mencari makan. Aku kebagian sif siang, dan selesai malam hari.

"Kita beneran harus cari pacar supaya nggak kelihatan kayak pasangan lesbian gini," kata Dian begitu aku meletakkan bokong di mobilnya.

"Siapa juga yang suruh lo putus sama Niko?" Niko adalah pacar putus sambung Dian dari SMU.

"Gue nggak tahan sama sikap posesifnya itu, Nay. Gue kadang-kadang nggak bisa membedakan antara dia dengan Mama gue. Mau ke sana-sini harus lapor. Sudah capek-capek lapor, eh, malah nggak boleh sama dia. Bisa-bisa gue mati muda karena makan hati."

Aku tertawa. "Gue yakin, ujung-ujungnya lo akan balik ke dia lagi." Saat sedang off begini, kejelekan Niko sebagai pasangan akan diumbar Dian dengan senang hati, tetapi begitu nyambung lagi, Niko akan kembali terdengar sebagai laki-laki paling manis di dunia.

Dian meringis. "Ya Tuhan, kalau gue beneran menikah sama Niko, gue akan dibingkai dan dijadikan pajangan ruangan." Dia bergidik seram. "Amit-amit. Oh ya, lo gimana? Bosan ngomongin Niko melulu. Saban kali telponan, Niko saja yang dibahas."

"Apanya yang gimana?" Aku pura-pura tidak mengerti.

"Lo mau jomlo sampai kapan? Jangan bilang lo nggak pernah naksir cowok di Makassar atau Papua sana.. Kalau beneran nggak pernah, gue mulai curiga kalau lo naksir gue." Dian terkekeh seolah kata-katanya lucu.

You Belong to Me-TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang