Dian datang menemuiku sepulang kantor. Entah kebetulan, nepotisme, atau apa pun namanya, tetapi dia juga bekerja di kantor Papa sebagai manajer divisi humas. Bicara dan menghadapi orang banyak memang sudah keahlian Dian sejak dulu.
"Gue sudah hampir yakin lo nggak bakal balik ke sini," omelnya begitu pelukan kami terlepas. "Lo beneran jahat. Gue pikir lo sudah memutuskan untuk beranak pinak di Makassar."
Aku hanya meringis. "Pasaran gue nggak terlalu bagus di sana. Kerjaan gue sebelum ke Papua cuman bolak-balik ke kampus-kontrakan-rumah sakit doang. "
"Alah, paling-paling lo juga yang kelewat jual mahal."
Aku tertawa. Dian masih seperti dulu. Kecuali penampilannya yang semakin dewasa dan menarik, dia sama sekali tidak berubah. Aku segera menggiring langkah Dian masuk ke dalam kamarku setelah mampir mengambil dua buah kaleng soda di kulkas.
"Gimana rasanya kerja di kantor Papa?" Aku menyusul Dian berbaring di ranjang setelah meletakkan kaleng soda di atas nakas.
"Papa lo baik. Tapi tegas dan disiplinnya itu, lho."
"Tapi Kak Elwan menyenangkan, kan?"
"Tentu saja." Dian meringis jail. "Penggemarnya banyak di kantor."
Ya, Kak Elwan memang keren sih, apalagi pembawaannya yang supel. Tidak sulit menyukainya. "Nggak heran sih." Aku ikut tersenyum.
"Lo nggak bertanya tentang Vino?" Dian memiringkan tubuh untuk menatapku. Dia tahu soal hubunganku yang buruk dengan Vino. Ada masa di mana dia mengutuk Vino karena sikap gagal dewasa yang tunjukkan dengan tidak bisa move on dari perceraian orang tuanya. Dian hanya tidak tahu soal perasaanku kepada Vino. Itu rahasia yang tidak pernah ingin kubagi dengan siapa pun juga, karena aku tahu itu perasaan yang tidak akan terbalaskan sampai kapan pun.
"Gue sudah dengar kabarnya dari Kak Elwan sih." Aku memutar bola mata. "Tapi kalau lo mau gue tanyain, oke, gue tanyain deh. Gimana kabar cowok paket komplit lo itu?" Aku membuat nada canda dalamm kalimatku.
Dian bangkit dari tidurnya. Dia duduk di tepi ranjang, meraih kaleng soda, dan mulai menyesap isinya. "Dia nggak banyak berubah sih. Masih cuek kayak dulu. Gue nggak terlalu dekat juga sama dia. Kayaknya, hanya pacarnya saja yang bisa dekat-dekat sama dia tanpa dicuekin." Dian mengangkat bahu. "Tapi penggemarnya juga tetap banyak. Ya, beberapa hal masih sama setelah sekian lama."
"Dia punya pacar?" Entah mengapa aku tidak suka mengucapkannya. Oh tidak, semoga kisah cinta anak monyetku tidak memasungku di masa lalu.
"Sepertinya sih begitu. Beberapa bulan ini ada perempuan cantik yang rajin banget menjemputnya makan siang. Kami pikir itu pasti pacarnya karena dia bisa seenaknya menggandeng Vino."
"Kami?"
Dian tertawa. "Gue dan anggota #timVino."
"Lo masuk tim Vino?" Aku memaksakan senyum. Entah mengapa semangatku langsung raib mendengar cerita yang dibawa Dian. "Lo ternyata masih suka bergosip kayak dulu."
"Bergosip itu obat stress yang mujarab, tahu!" Dian meringis."Gue nggak masuk tim Vino. Gue hanya senang ikutan nimbrung saat anggota tim Vino menggosip. Lo sudah ketemu dia?"
Aku menggeleng. "Belum. Ngapain juga gue nanyain kabarnya kalau sudah ketemu. Kak Elwan bilang kalau dia menginap di apartemennya week day gini. Dia baru akan pulang akhir pekan." Aku menghitung dalam hati. "Empat hari lagi. Itu pun kalau dia mau datang karena dia pasti sudah tahu gue pulang."
"Vino bukan ABG labil lagi, Nay. Dulu dia mungkin berpikir kalau pernikahan Mama-Papa kalian akan menjadi penghalang rujuk orangtuanya. Tapi nyatanya, bahkan setelah Mama lo meninggal pun kemungkinan itu nggak terjadi, kan? Dia pasti sudah move on."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Belong to Me-TERBIT
ChickLitCerita ini repost. Sudah pernah di-posting sampai kelar di wattpad, sebelum akhirnya aku tarik karena masih berantakan. Aku posting lagi supaya lapaknya rame. Karena ini produk lama, jadi kakunya masih berasa banget. Sinopsis Kembali ke rumah sete...