Update-an Buat Mak Ning, Mak Inok, dan Mak Lilis yang neror di grup. Hepi reading...
**
Aku dan Dian duduk berhadapan di salah satu gerai kopi di PIM. Dia menjemputku sepulang kerja untuk melewati malam minggu bersama.
"Jadi lo mulai kerja senin nanti?" tanya Dian. Aku sudah memberitahu kalau aku diterima bekerja di klinik teman Vino.
"Iya." Vino yang memberitahu kemarin saat kami sarapan. Berita yang disambut Papa dengan senyum lebar. "Teman Vino mau gue cepat masuk karena ada dokter yang mengundurkan diri."
"Jadi dia yang cariin lo pekerjaan? Gue bilang juga apa, dia nggak mungkin ngambek seumur hidup. Kalian sudah bicara banyak?"
Kami hanya bertemu di meja makan. Aku menghindari keluar kamar kalau tahu Vino ada di rumah. "Belum. Nggak ada pentingnya juga, kan?"
"Penting buat lo supaya merasa nyaman di rumah. Tapi lo hanya perlu bertemu dia saat weekend, kan?"
Sudah lebih seminggu aku pulang dan Vino kutemui setiap pagi di meja makan. Aku yakin dia menginap di rumah. Aku memutuskan melewatkan pertanyaan Dian.
"Kalau sudah mulai kerja, kita harus menyesuaikan jadwal untuk bertemu seperti ini. Gue juga punya sif malam." Aku mengalihkan percakapan, tidak mau membahas Vino lebih lama.
"Duh, ini sih judulnya dekat di jarak jauh di mata. Memang nggak bisa minta sif pagi saja biar jam kerja lo normal seperti orang lain, gitu?"
Aku tertawa. Dian aneh-aneh saja. Kerja saja belum, sudah mulai ribut. "Ya ampun, Yan.Gue belum masuk kerja dan lo sudah menyuruh gue mengatur jadwal sesuka hati. Itu bukan klinik gue. Lagian, kebanyakan dokter jam kerjanya memang nggak normal, kan?"
Dian ikut tertawa. "Namanya juga usaha, Nay."
"Ya, usaha yang buruk, Yan. Gue bisa kehilang pekerjaan sebelum mulai kerja. Nggak bagus untuk CV gue."
"Hei, itu Vino!" Seruan Dian membuatku melepaskan cangkir kopiku dan mengikuti arah pandangannya. Tidak salah. Vino baru saja memasuki gerai kopi yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri. Seseorang bergayut di lengannya. Seorang perempuan yang sangat cantik. Mereka tampak seperti pasangan yang sangat serasi.
Entah karena kebetulan atau merasa diperhatikan, Vino menoleh ke arah kami. Pandangan kami bertemu. Beberapa detik sebelum aku segera menunduk dan pura-pura sibuk dengan piring cake di depanku.
"Itu perempuan yang gue maksud," kata Dian. "Yang selalu datang ke kantor. Dia pasti pacarVino."
"Kelihatannya begitu." Aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang aku sadari, jari-jariku bergetar. Ada perasaan sakit yang tidak kumengerti hinggap di hati. Aku mengembuskan napas melalui mulut. Pelan-pelan, supaya Dian tidak menyadari perubahan sikapku.
"Lo nggak mau menyapa?"
"Untuk apa?" Aku menyuap potongan kueku tanpa selera. Aku harus melakukan ini supaya terlihat sibuk, padahal selera makanku benar-benar sudah lenyap.
"Untuk apa?" Dian berdecak sebal. "Ya Tuhan, Nay! Mau nggak mau, suka nggak suka, dia kakak lo!"
"Lo tahu sendiri kalau hubungan kamu nggak baik," elakku. Hal terakhir yang ingin kulakukan sekarang adalah menghampiri Vino dan berbasa-basi. Tadi pagi dia tidak bicara apa pun saat di meja makan. Dia segera pergi setelah menyelesaikan sarapannya, sepertinya sangat terburu-buru. "Dia nggak pernah menganggap gue sebagai adik. Dia menerima gue kembali hanya karena Papa."
"Dan hubungan kalian nggak akan pernah membaik kalau lo terus bersikap seperti ini. Kalau dia menjauh, lo nggak boleh menambah jarak dengan menghindar."
Aku memaksakan senyum. "Tapi ini bukan saat yang baik untuk memperbaiki hubungan. Lagian, lo tahu sendiri gue orangnya gimana. Gue sama sekali nggak punya bakat berhubungan baik dengan orang-orang." Aku berdiri dan mengangkat tas. "Yuk, kita pergi dari sini, Yan," ajakku.
"Serius? Kopi gue bahkan belum habis." Namun Dian tidak membantah dan mengikutiku berdiri.
Aku memandang sekali lagi pada pasangan yang antre memesan kopi itu. Sial, tatapanku kembali bertemu dengan Vino. Tidak ada senyum di bibirnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia mengenalku.
Aku mencengkeram tasku, seolah hendak memindahkan sebagian kecewaku di situ. Aku kira percakapan yang berusaha dibangun Vino sesekali di meja makan adalah pertanda kalau dia ingin berbaikan denganku. Ternyata aku salah. Bisa saja dia melakukan itu untuk mengikuti permintaan Papa dan Kak Elwan supaya aku merasa nyaman kembali ke rumah.
"Pintu keluarnya di sana!" Dian menarik tanganku. "Lo kenapa kayak orang linglung sih?"
Rupanya aku mengambil arah yang berlawanan dengan tujuan kami. "Gue... gue mau ke toilet dulu, Yan." Kurasa aku perlu sedikit waktu di ruang kecil untuk menata hati dan mungkin juga menitikkan beberapa tetes air mata.
Mengapa harus sesakit ini? Rasanya seperti menelan sesuatu yang terlalu besar untuk ukuran leherku dan jalan napasku terganggu. Sesak.
Mungkin pulang adalah hal paling salah yang kupilih. Mungkin aku harus berkeras. Papa tidak mungkin memaksa seandainya aku teguh menolak. Aku sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup sendiri. Namun, apa gunanya memikirkan itu sekarang, saat aku sudah berada di rumah lagi?
**
"Nay, lo kepanasan? Wajah lo merah gitu. Tunggu sebentar, ya." Vino setengah berlari meninggalkanku dan kembali dengan dua kaleng soda dingin tidak lama setelahnya. Dia mengulurkan satu padaku setelah membukanya."Makasih." Aku menerima kaleng itu ragu-ragu. Ini untuk pertama kalinya seseorang yang bukan Dian memberikan aku sesuatu.
Kami baru saja tiba di kelas setelah dari perpustakaan yang jaraknya lumayan jauh. Matahari sangat menyengat dan itu sangat tidak baik untuk warna kulitku yang sensitif. Aku benci punya warna kulit seputih ini. Hari ini kami latihan tanpa guru pembimbing.
"Lo nggak latihan basket?" tanyaku memecah kesunyian di antara kami, karena Vino yang duduk di dekatku hanya menekuri kaleng sodanya.
"Sebentar lagi. Lo mau nonton?"
"Nonton apa?"Aku balik bertanya karena tidak mengerti maksudnya. Tidak mungkin juga Vino mau mengajakku ke bioskop, kan?
"Nonton gue latihan lah. "
"Nonton latihan?" ulangku. Untuk apa aku menonton latihan basket? Bukankah itu hanya dilakukan oleh tim cheerleader dan groupies tim basket? Aku bukan salah seorang dari mereka.
Vino tersenyum. "Banyak yang nonton kami latihan. Lihat saja nanti."
Aku meringis. "Maaf, tapi gue nggak bisa."
Vino mengangguk maklum. "Bimbingan, ya? Kalau begitu, lo harus nonton pertandingan gue nanti. Masa nggak mau jadi suporter tim sekolah sendiri?"
Aku menatap Vino bingung "Kan sudah banyak yang pergi." Anggota tim cheerleader di kelasku terus membahas soal pertandingan itu, jadi aku tahu banyak yang akan ikut menjadi suporter.
"Tentu saja biar kita yang main semangat, Nay. Makin banyak yang kasih support, makin semangat mainnya. Mau ya? Kalau lo takut pulang karena kemalaman, nanti gue antar deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Belong to Me-TERBIT
ChickLitCerita ini repost. Sudah pernah di-posting sampai kelar di wattpad, sebelum akhirnya aku tarik karena masih berantakan. Aku posting lagi supaya lapaknya rame. Karena ini produk lama, jadi kakunya masih berasa banget. Sinopsis Kembali ke rumah sete...