Look at Me: Epilog

9.1K 1.2K 45
                                    

Eomma pernah berkata, kalau kita selalu sabar, pasti kita akan mendapatkan ganjaran yang sepadan dengan berapa lama kita bersabar. Aku pernah membantah, menganggap kalau bersabar hanya menghabiskan waktu. Tapi untuk sekarang, sepertinya aku berkata kalau perkataan eomma benar adanya, malah sangat tepat. bertahun-tahun aku menunggu Jeno dan selalu bersabar, akhirnya aku mendapat balasan dari Jeno. Jeno sekarang sudah di sampingku, merelakan bahunya untuk tempatku bersandar.

Jeno sedari tadi bercerita, bagaimana awalnya dia bisa mengenalku dan akhirnya menyukaiku. Dan ternyata kita sama-sama saling menyukai sejak pertemuan tak sengaja di ruang perpustakaan dulu (awalnya aku tidak ingat, tapi Jeno menceritakan semuanya dengan detail sehingga samar-samar aku bisa mengingatnya). Jeno yang melihatku dari meja yang ada di pojok, dan aku yang melihat Jeno diam-diam di balik rak. Terlampau konyol sampai aku mendadak kesal. Kalau dari dulu kita tau saling memendam rasa, aku tak perlu menunggu bertahun-tahun lamanya. Jeno hanya tertawa, dan mengatakan kalau dia terlampau malu. Aku juga pengecut, sama-sama malu.

Dia pura-pura tidak mengenalku ̶ tadi dia mengakuinya dan aku hadiahi tinjuan singkat di perutnya ̶ karena dia berpikir dengan cara itu kita bisa saling kenal. Padahal, itu sama sekali tidak membantu. Jeno juga mengaku kalau dia tau semua seluk beluk diriku lewat informan kepercayaannya yang merupakan salah satu teman sekelasku ̶ Jeno sama sekali tidak menyebutkan namanya, bahkan ciri-cirinya pun dia enggan menjawab. Dia tahu apa yang selalu aku lakukan, hal apa yang menjadi kesukaanku, dan segalanya. Namun anehnya, Jeno sama sekali tidak mengetahui fakta kalau aku sering memperhatikannya dari jauh.

Diam-diam aku bersyukur.

Jeno juga berkata, kalau sebenarnya dia sudah lama ingin mengungkapkan perasaannya padaku namun terhalang sifatku yang kelewat diam. Dia khawatir kalau aku akan menolaknya mentah-mentah.

Lagi-lagi aku mengutuk sifatku ini.

Banyak yang ia ceritakan di minggu kedua kita resmi menjadi sepasang kekasih, dan rooftop inilah yang menjadi saksi kita saling bercerita tentang betapa konyolnya kita yang saling memendam rasa, namun tidak mengetahuinya sama sekali. Kita selalu menghabiskan waktu istirahat berdua di sini sambil memakan bekal yang sengaja kubawa dari rumah, kadang-kadang aku juga membeli makanan di kantin kalau sedang tak sempat untuk membuatnya. Sering juga kita datang kelewat pagi hanya untuk merasakan udara pagi yang memang sangat menyegarkan, dan Jeno tak segan untuk memelukku supaya aku tak terlalu kedinginan.

Jeno, ternyata di balik wajahnya yang dingin dan arogan, dia menyimpan sejuta kehangatan yang membuatku amat bersyukur sering merasakan sifat hangatnya yang selalu membuatku selalu merasa nyaman di dekatnya ̶ seperti udara di musim semi yang selalu aku tunggu kedatangannya ̶ sehingga aku tak mau berada jauh darinya. Jeno sangat hangat, aku menyukainya.

Aku mendongak untuk melihat wajah Jeno yang amat tegas, dan Jeno menyadarinya kalau aku sedang melihatnya, makanya dia berdalih melihatku. Bibirnya mengembangkan senyum dengan tangan yang mengusap rambutku yang bergerak disebabkan angin. Aku terpejam merasakan kelembutan tangan Jeno yang membuatku sedikit mengantuk, namun aku kembali membuka mata untuk melihat mata Jeno yang masih terus menatapku. Aku tak mau tidak melihat matanya, yang selalu membuatku selalu berdebar.

Satu fakta yang sekarang aku dapatkan; Dia sekarang sudah melihatku, tak perlu lagi aku berharap dia akan memandangku. Tak perlu lagi aku memandangnya dari jauh dengan penuh pengharapan. Tak perlu lagi aku merasa kesal kalau dia bersama yang lain, karenya nyatanya dia akan terus bersamaku. Tak perlu aku merasa sakit. Dan semua yang dulu rasakan, itu tak perlu lagi. karena nyatanya dia sudah di sampingku, dan semoga akan terus di sampingku.

"Saranghae, Jeno-ya."

Fin


CitrapataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang