Konser hari terakhir sudah terlaksana dengan baik. Diawali dengan suasana riuh-riang dari penggemar, kemudian ditutup dengan tangisan pilu yang mana membuat hati ini terasa sakit. Haechan menangis, dia bilang merindukan Mark hyung yang tengah sibuk di luar sana, dan Jisung menangis sampai terjatuh karena tak kuasa untuk berdiri tegap. Bukan hanya mereka, Jaemin, Chenle, aku, juga menangis. Tapi, anehnya kamu tidak. Kamu tetap tersenyum, Jeno. Kamu tetap tersenyum dan menenangkan kita padahal kamu bisa saja ikut menangis bersama. Bagaimana bisa, Jeno? Terbuat dari apa hatimu itu?
Kamu tetap memeluk mereka begitu juga aku begitu erat, namun tak terlihat air mata di matamu. Tidak seperti aku, melihat Haechan dan Jisung menangis membuatku juga ikut menangis. Bagaimana kamu bisa setegar itu? Bisa ajarkan aku? Bisa ajarkan aku bagaimana caranya tetap tegar meskipun tengah dilanda ketakutan terhadap hal-hal yang akan terjadi di masa depan?
Seperti.. Perpisahan kita nanti.
Namun, nampaknya setegar apapun kamu, aku tahu kamu akan kalah pada akhirnya. Aku bisa mendengar suara tangismu di balik bilik kamar mandi. Kamu menangis di sana, menangis sendirian dan tak mau orang lain tahu sisi lemahmu. Jujur, Jeno, aku kecewa. Aku seperti tak dianggap. Pada kenyataannya aku siap menampung tangismu dan menenangkanmu di pelukanku. Tapi, kamu memilih untuk menangis di sana seakan kamu tidak memiliki siapapun untuk menjadi tempat bercerita. Tidak seperti itu, Jeno. Ada aku, kekasihmu, yang siap menguatkanmu, meskipun akhirnya aku akan ikut menangis karena tak tega melihatmu menangis.
Aku kembali menangis. Selain karena mengingat masa depanku yang masih berwarna abu, aku mengingatmu yang masih menangis di sana, menangis pilu sampai dadaku ikut terasa sesak. Ingin rasanya aku mengetuk pintu, masuk, kemudian memelukmu di bawah kucuran air hangat, menenangkanmu. Tetapi aku tidak punya keberanian karena aku tahu kamu akan marah karena sisi lemahmu aku lihat. Padahal, Jeno.. Aku tidak keberatan.
Pintu kamar mandi kemudian terbuka. Kamu keluar dari sana dalam keadaan sudah berpakaian lengkap. Kamu tersenyum kepadaku, seperti mengatakan kamu baik. Tapi, mata sembabmu itu tidak bisa berbohong, Jeno. Aku mendengarnya dan kini aku melihatnya. Kamu baru saja menangis dan mengelaknya dengan senyuman.
Aku semakin menangis. Bantal aku peluk erat-erat dan menyembunyikan wajah di sana.
"Injun-ah, gwaenchana?" suara lembut Jeno tak membuatku merasa baik, malah membuatku makin mengecangkan tangisan. Suara Jeno lembut, namun serak dan hampir hilang. Aku tidak bisa mendengar suaranya yang seperti itu. Aku tidak tega. Jeno, kenapa kamu seperti ini?
Tubuhku kemudian ditarik ke dalam pelukan hangatnya. Aku makin menyerah pada keadaan. Tangisku mengencang di dada bidang Jeno yang begitu hangat. Jeno membuat suara-suara lembut sembari tangan menepuk punggungku. Dia berusaha untuk tenang, padahal aku bisa merasakan tubuhnya sedikit bergetar. Kemudian, wajahku berpindah pada ceruk lehernya, spot favoritku untuk mencari ketenangan. Sedatif, bagiku aroma tubuh Jeno adalah sedatif, menenangkan. Aku berhasil menyudahi tangisku dan menatap matanya. Aku memanggil namanya. "Jeno-ya."
"Iya, sayangku?" wajah Jeno maju mendekat. Hidungnya mengusak hidungku lalu bibirnya mengecup pelipisku. Aku makin merasakan ketenangan dengan segala afeksi yang ia berikan. Tanganku yang melingkar di tubuhnya semakin mengerat. "Ada apa?"
"Bagaimana caranya bisa setegar dirimu?" aku mulai mengungkapkan semuanya. "Kamu tidak menangis padahal kita semua menangis. Kamu menenangkan kita dengan memeluk kita sambil tersenyum. Bagaimana caranya, Jeno? Aku benar-benar iri padamu."
"Jika aku ikut menangis, siapa yang akan menenangkan kalian? Terlebih kamu, Injun-ah. Kamu yang tak pernah menangis, bisa menangis sekencang itu." Jeno tersenyum. Jemarinya bermain di pinggulku, membuatku merasakan geli. "Omong-omong, aku cemburu, lho. Kamu menghindar saat aku peluk tapi mau saja saat dipeluk Haechan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Citrapata
FanfictionTak jauh, tak bukan, mengenai Lee Jeno dan manisnya, Huang Renjun. Terkemas dalam judul dan cerita yang berbeda, namun satu tujuan: menuangkan fantasi tentang romansa mereka dalam seuntai aksara canggung murni dari otak si penulis. Kadang manis, ka...