Paper glass digenggam pemuda itu dengan mata yang menyapu ramainya café pada jam delapan malam ini. Siapa tahu dalam ramai dan bising suara ia menemukan satu celah sebagai tempat punggung bersandar.
Sedikit menggerutu kenapa café pojokan ini begitu ramai di saat ia membutuhkan ketenangan. Salahnya juga kenapa bukannya mencari tempat yang lebih sepi, malah masuk dan langsung memesan satu Americano berkadar sedikit gula di café ini. Dan, pada akhirnya ia masih berdiri macam manusia bodoh selama lima menit dengan mata yang tak henti mencari kursi kosong.
Lalu, ia menemukannya, di sudut ruang di bawah pendingin ruangan.
Menghela napas panjang sebagai bentuk syukur, setelahnya melangkah sembari menyesap sedikit minuman yang gelasnya sudah basah akibat es batu yang mencair. Lantas, ia duduk setelah sampai pada tujuan. Mata elangnya melihat keluar dengan gaya pongah, tak lupa menyesap pesanannya hingga tersisa setengah.
"Saya penasaran dengan buku yang tengah kau baca.”
Pemuda berkacamata di hadapannya mendongak dengan wajah dingin, meskipun tak menampik kalau ada raut terkejut yang ketara sekali berusaha ditutupi. Pemuda yang lain terkekeh dengan mata yang tertuju tepat pada mata pemuda berkacamata. Rasa terganggu bisa ia rasakan dari si pemuda berkacamata. “Hanya kursi ini yang kosong, dan kau tahu apa artinya itu?”
“Asal tidak menganggu, aku persilahkan.” Kemudian pemuda berkacamata kembali pada bacaannya. Melewatkan segaris senyum tipis dari pemuda yang lain.
Kemudian tak ada obrolan; pemuda yang satu fokus pada luar di mana tengah menampilkan kendaraan yang tak henti berlalu-lalang, pemuda yang satu fokus pada bukunya sama sekali tak menimbulkan suara. Sebuah suasana yang cukup apik penuh dengan ketenangan di sudut sini.
Namun, pada dasarnya si pemuda Americano tak tahan dengan suasana senyap tanpa obrolan, ia memutuskan untuk terlebih dulu membuka suara, “Kalimat saya tadi belum kau balas. Sengaja atau sengaja?”
“Kalimatmu yang mana?” tanya si pemuda berkacamata dengan kepala yang ditopang sebelah tangan. Matanya menatap jengah pada pemuda di hadapannya.
“Oke, aku akan mengulang,” pemuda itu menaruh paper glass di meja dengan perlahan, “Saya tadi berkata, saya penasaran dengan buku yang kau baca. Sudah jelas atau butuh pengulangan?”
“Tidak usah diulang, aku mendengarnya dengan baik meskipun sekarang berisik sekali,” pemuda berkacamata menghela napas, “Aku tengah membaca novel. Tidak perlu kuberi tahu judulnya– karena apa urusanmu?”
“Hoo, sombongnya. Padahal niat saya baik untuk memulai obrolan untuk kita yang baru mengobrol. Ternyata paras tidak bisa menilai karakter; parasmu ramah namun ternyata sombong sekali. Apa kau memang benar sombong atau hanya topeng untuk orang yang pertama kenal?” pemuda itu mengambil Americano nya kembali, menyesapnya sampai habis dan hanya menyisakan butiran es batu yang terus mencair.
Sepertinya dia harus memesan satu Americano lagi.
“Apa hobimu mengulik orang sampai segini nya?”
“Kalimat panjangku hanya dibalas sepersekian kalimat, oh sombongnya.”
“Memang begini apa adanya. Kalau kamu menganggapku sombong, silahkan.”
Pemuda itu tersenyum kecil dengan mata yang semakin menyelam manik jernih si pemuda berkacamata. Pemuda berkacamata tercekat dengan jantung yang mendadak berdebar cepat. Bukan rasa risih yang ia rasa, namun rasa nyaman yang entah mengapa membuatnya terhipnotis.
Hal tersebut terjadi selama lima menit di mana mereka terus saling tatap tanpa suara, bukan telepati karena pikiran keduanya sama-sama kosong. Pemuda berkacamata yang lebih dulu menyudahi dengan kepala menoleh ke kanan untuk melihat luar. Pipinya bersemu manis yang disadari oleh pemuda di hadapannya. Kekehan gemas pemuda itu keluarkan. “Sungguh bahaya mata jernih itu.”
Pemuda berkacamata kembali menoleh, “maksudmu bahaya?”
Pemuda tersebut menggeleng, “lupakan, anggap saya tengah meracau.”
“Sebentar, aku baru tersadar sesuatu dari kalimat panjangmu tadi. Boleh bertanya?”
“Kenapa izin?”
“Baiklah, baiklah.” Ia mengibaskan tangan. “Aku hanya ingin bertanya, kenapa obrolan pertama, bukan pertemuan pertama. Ya, aku tahu kalau artiannya sama saja. Tapi, bukankah lebih spesifik kalimat pertemuan pertama? Kesannya kita seperti sudah pernah bertemu namun tidak pernah mengobrol.”
“Hm, ternyata kau benar tidak pernah melihatku. Oh, rasanya aku seperti tertolak.”
“Maksudmu?”
“Sedih sekali mendapati fakta itu langsung darimu, juga seperti menampar saya betapa pengecutnya diri ini. Kau menganggap kita baru pertama kali bertemu, padahal jelas sekali saya selalu melihatmu,” bahkan memendam rasa untukmu, “Renjun Pradipta, perkenalkan nama saya Jeno Alinggar, pernah menjadi murid 12 IPS 4, seberang kelasmu dulu.”
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Citrapata
FanfictionTak jauh, tak bukan, mengenai Lee Jeno dan manisnya, Huang Renjun. Terkemas dalam judul dan cerita yang berbeda, namun satu tujuan: menuangkan fantasi tentang romansa mereka dalam seuntai aksara canggung murni dari otak si penulis. Kadang manis, ka...