Ambisinya dimulai saat malam sabtu yang dingin itu.
Dinginnya malam membuat Renjun mengambil keputusan untuk membeli segelas frappucino di cafe seberang apartemen. Walau sudah memakai jaket yang kemudian dilapis hoodie, nyatanya hawa dingin tetap terasa menyapu kulit.
Membayar pesanan, lekas ia mengambil langkah ke kanan. Kepalanya menunduk karena tengah memasukan uang kembalian. Satu hal yang tak pernah hilang, meskipun umurnya sudah mencapai 500 tahun, kecerebohannya saat mengambil langkah–dia tersandung kakinya sendiri.
Namun, sebelum malu tiba, tubuhnya telah ditahan seseorang.
Tepatnya, ia jatuh ke dada orang itu yang tetap berdiri kokoh meskipun sudah ia bebankan. Hatinya mendadak hangat karena mendengar detak jantung yang berdetak tenang itu.
Lantas, ia mendongak.
"Sampai kapan?"
Bagai tersiram air, Renjun mendadak menggigil karena tatapan sedingin es itu. Namun, matanya tak bisa berpaling. Ada semacam hipnotis. Bagai terhisap, benar-benar sebuah tatapan membahayakan yang tak pernah ia rasakan selama 500 tahun hidupnya. Jantungnya yang selalu berdetak selaras dengan detik, mendadak berpacu cepat saat bibir itu menyunggingkan seringai (sial, tampan sekali).
"Idiot, tuli atau apa?"
Dua hinaan, ia tersadar. Buru-buru ia berdiri tegak kembali. "Tampan, tapi mulutnya pedas."
"Terima kasih atas pujiannya, idiot."
Kemudian pemuda itu berlalu, meninggalkan Renjun dengan mulut menganga. Sialan, batinnya menggeram. Dia sudah memuji pemuda itu, namun ia dikatai idiot sebagai balasan. Merasa tak terima, ia menyusul segera pemuda yang penuh arogansi itu.
"Hey, mulut pedas! Begitu balasanmu ketika aku sudah memujimu? Mengataiku idiot setelah aku memujimu tampan? Oh, baik hati sekali!" Renjun masih terus mengejar pemuda itu, yang juga masih terus melangkahkan kakinya.
"Hey!"
Telinganya terasa panas, makanya pemuda itu berbalik. Ekspresinya masih sama, tak ada ekspresi. "Idiot, bodoh."
"Hey, berani sekali!"
"Apa, ceroboh?"
"Puji aku kembali! Aku sudah memujimu tadi!"
"Idiot, bodoh, ceroboh, lalu pamrih?" kembali berbalik badan si pemuda itu. Berjalan penuh gaya angkuh yang begitu menyebalkan bagi Renjun.
Ia menghentak kaki kesal. Mendengus dan meledek pemuda itu dengan menjulurkan lidah.
Namun, kakinya mengikuti pemuda itu–entah mengapa. Lagi-lagi ia merasa terhipnotis. Ada sebuah rasa aneh yang muncul di dadanya, sebuah rasa membara yang entah apa artinya, membuat jantungnya kembali berdebar dengan debaran yang begitu cepat. Rasa kesalnya hilang begitu saja, digantikan rasa yang anomali itu.
Mengeluh, Renjun menepuk dadanya yang masih terasa aneh. Napasnya terasa sesak saat melihat punggung lebar itu. Nampaknya, sangat nyaman jika bersandar di sama sambil membaca buku.
"LHO, MIKIR APA AKU?!"
Renjun lupa akan misi mengikuti si pemuda itu. Ia bersuara kencang yang mana mengundang si pemuda untuk berbalik. Buru-buru ia berbalik badan untuk kabur dari tempat itu.
"Mau ke mana, tikus bodoh?"
Tertangkap.
Renjun berbalik badan dengan dramatis. Cengiran–yang bisa dibilang menyebalkan–ia tunjukkan untuk si pemuda itu yang kini sedikit berekspresi, ekspresi tidak enak tepatnya. Hawa yang makin dingin, semakin dingin akibat tatapan tajam yang menusuk itu. "Aku mau ke apartemenku, lho."
"Menguntit?"
"HEY, APARTEMENKU KEBETULAN SEARAH DENGAN JALANMU, YA! JANGAN ASAL TUDUH!"
"Gayamu macam penguntit, tapi gagal." Dan, kembali ia meninggalkan Renjun.
"KITA BERTEMU LAGI, MATI KAMU!"
Hanya angin yang menjawab seruan Renjun.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Citrapata
FanfictionTak jauh, tak bukan, mengenai Lee Jeno dan manisnya, Huang Renjun. Terkemas dalam judul dan cerita yang berbeda, namun satu tujuan: menuangkan fantasi tentang romansa mereka dalam seuntai aksara canggung murni dari otak si penulis. Kadang manis, ka...