Nona Hujan

8.6K 920 129
                                    

Renjun terpaku di depan pintu saat matanya melihat ribuan rintik air hujan jatuh membasahi bumi. Matanya mengerjap perlahan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, dan sialnya hatinya mendadak berdesir ngilu. Hujan dengan cepat membasahi bumi yang mana semakin membuat matanya mengabur dan panas di waktu bersamaan. Selalu seperti ini saat hujan turun. Renjun menangis tanpa sadar dan itu selalu terulang semenjak dia pergi meninggalkannya.

Kakinya bergetar, lalu terjatuh saking tak kuat menopang tubuhnya yang mendadak melemas. Di lantai kayu yang dingin, Renjun menangis sesegukan dan berusaha menyembunyikan wajah di antara kedua lutut. Jantungnya berdebar dengan kencang kala selintas bayangan lewat dan, sungguh! Itu sangat menyakitkan.

Renjun mendongak untuk menatap pintu yang terbuka dan menampilkan halaman rumahnya yang terus di guyur air yang berasal dari langit. Lagi­-lagi sebuah bayang terlintas, kali ini lebih jelas. Bayangan Nona Hujan tengah tersenyum kearahnya sambil mengenggam sebuah payung berwarna merah muda.

"Jeno.."

N o n a  H u j a n

Lima tahun lalu.

Renjun terburu­-buru membereskan buku pelajaran yang tergeletak di meja belajarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat limabelas menit dimana sekolah akan masuk sekitar limabelas menit lagi. Ini semua karena Winwin-­ge!–Renjun membantin kesal tanpa mengurangi kecepatannya dalam membereskan barang­-barang yang ia perlukan. Semalam, kakaknya itu memaksanya untuk ikut menonton film horor terbaru dengan beralasan kalau ia tak suka menonton sendirian. Renjun sempat menolak, tentu saja. Esoknya ia harus sekolah, berbeda dengan kakaknya yang sudah bekerja. Tapi bukan Winwin namanya kalau tak bisa merayu adik satu­satunya itu.

"Hari minggu kita ke toko buku. Beli semua yang kau inginkan asalkan kau mau menemaniku."

Demi buku baru!

Namun sekarang Renjun sedikit menyesal. Memang nantinya Winwin akan menepati janjinya, namun untuk saat seperti ini sungguh membuatnya menyesal. Hari ini ada ujian sastra yang mana bukan pelajaran favorit seorang Huang Renjun dan ia mengaku kalau pelajaran sastra adalah satu­satunya pelajaran yang tak bisa masuk ke otaknya. Renjun mengacak rambutnya kesal, lalu berlari ke bawah untuk segera berangkat sekolah.

"Aku berangkat!" Renjun mengambil selembar roti yang belum ia olesi selai sedikitpun. Meskipun terlambat, Renjun harus mengisi perutnya kalau tak mau penyakit maag­nya kambuh. Walau hanya hanya selembar roti tanpa olesan, makanan itu cukup untuk mengganjal perutnya sampai waktu istirahat.

Dan hal yang sama sekali tak Renjun pikirkan terjadi. Sungguh sial paginya kali ini. Sudah hampir terlambat, hujan lagi! Rintik air terus saja jatuh tanpa mau berhenti atau mereda sedikitpun. Renjun mendengus dan matanya melotot tajam, entah pada siapa. Kalau ia membolos, predikat sebagai murid yang tak pernah absen pasti akan lenyap begitu saja. Tentunya Renjun tak mau. Predikat itu sudah ia dapat sejak pertama kali masuk SMA, dan ia sama sekali tak mau melepas predikat penting itu.

Winwin punya mobil, namun pastinya orang itu belum mau bangun dari tidurnya. Percuma saja kalau membangunkan, kakaknya itu sama sekali tak bergeming dan malah membatalkan janjinya.

Huft!

Renjun terduduk di kursi yang ada di teras rumahnya. Dalam hati ia berdoa semoga hujan berhenti atau reda sedikit, walau sebenarnya tak mungkin. Hujan sama sekali tak menunjukkan tanda­tanda akan reda.

"Ya! Kenapa kau diam disitu?"

Renjun mendongak dan mendapati Jeno tengah berdiri di depan rumahnya, mengenggam sebuah payung berwarna ̶

CitrapataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang