Bab 3 ~ Si Gadis Pembuat Mantra

19.3K 1.1K 13
                                    

Fillia berjalan menyusuri lorong Istana yang mayoritas ber-cat putih dilapisi Wallpaper dengan ukiran pepohonan juga ragam jenis bunga. Ia menatap setiap penjaga yang dilewatinya dengan tatapan berani, seolah menantang mereka. Namun yang ditatap tidak bergeming sedikit pun dari posisinya saat ini. Berdiri tegap lurus seperti patung. Hampir saja tawanya lepas karena melihat ekspresi aneh mereka. Namun tentu saja Fillia berusaha menahannya. Akan jadi apa nanti jika ia menertawai para penjaga?

Ia menghentikan kakinya ketika pintu kayu yang menjulang tinggi dengan bagian atasnya yang melengkung rapih terbentang di hadapannya. Ia segera mendorong pintu itu agar terbuka dan memberikannya celah untuk masuk ke dalamnya.

Rak-rak buku setinggi tiga meter terlihat di sekeliling ruangan tersebut. Juga sebuah meja panjang dengan kursi yang berjejer mengelilinginya berdiri kokoh di tengah ruangan. Perpustakaan Istana. Disinilah Fillia berada saat ini. Tapi bukan buku-buku itu yang ia tuju. Melainkan sebuah pintu kecil yang ada di pojok ruangan. Yang tak lain adalah ruangan penasihat Hasya, Ayahnya.

Diketuknya pintu itu dengan lembut. Terdengar suara berat dari dalam yang berkata, “Masuk.”

“Apa kabarmu, Ayah?” tanya Fillia tersenyum sumringah.

Seorang lelaki yang sudah tampak tua dengan rambut hitam panjangnya yang diselimuti sedikit rambut putih menoleh ke asal suara. Melihat siapa yang datang, ia segera berdiri dari meja kerjanya, kemudian berjalan menghampiri Puteri tercintanya dan memeluknya dengan erat.

“Oh, Fillia,” Kata Hasya sambil memeluknya. “Kemana saja kau, nak? Ayah merindukanmu.”

“Maafkan aku karena baru sempat berkunjung,” jawab Fillia merasa bersalah. “Aku sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang besar akhir-akhir ini.”

Hasya memasang wajah datar. Ia menatap Puterinya lamat-lamat. Entah apa arti dari tatapan itu tapi sepertinya ia merasa tidak suka dengan kegiatan Fillia di kota.

“Apa saja yang telah kau perbuat di kota? Apa kau masih terus berusaha menciptakan api?” tanya Hasya was-was. Ia kembali duduk di kursi kerjanya diikuti Fillia yang langsung duduk di hadapannya.

Fillia terlihat ragu untuk menjawab. Namun akhirnya ia berkata, “Eum... Sedikit.”

Ia berhenti sejenak untuk memastikan apakah bagus bila ia meneruskannya.

“Tidak banyak yang telah kuperbuat, Ayah. Mantra api sangat sulit diciptakan,” lanjutnya setelah yakin kalau ayahnya tidak akan menutup telinga. “Aku hanya bisa melakukannya untuk sekedar menyalakan perapian atau api unggun. Itu pun sering gagal dan berakhir cukup... yeah, fatal.”

Hasya menghembuskan nafas pasrah sambil menggelengkan kepalanya. Ia masih bersyukur karena setidaknya Puterinya itu masih baik-baik saja hingga saat ini. Tapi sayangnya ketenangannya yang hanya tersisa seinci itu luntur ketika ia mendengar ucapan Fillia yang berikutnya.

“Tapi, Ayah,” katanya berapi-api. “Aku telah berhasil menciptakan mantra agar aku dapat melihat di tengah kegelapan yang amat gelap sekalipun.”

“Apakah hal itu berguna? Bahkan jika terjadi gerhana sekalipun, para pemilik kekuatan cahaya akan menciptakan pencahayaan yang sama terangnya dengan lampu bahkan matahari, kau tahu.”

“Tentu saja berguna. Ini akan kugunakan jika aku berada di hu...” Ucapannya terhenti seketika. Ia segera menutup mulutnya rapat-rapat menggunakan kedua telapak tangannya. Fillia mengutuk dirinya sendiri karena kecerobohannya yang tidak sabaran.

“Hu- apa?” tanya Hasya penasaran.

Ia berdeham. Ekspresinya mulai serius sekarang. Kemudian ia berkata dengan hati-hati, “Ayah, sebenarnya kedatanganku kesini adalah untuk memberitahukan sesuatu kepadamu. Dan kuharap kau mau memberiku izin dengan tulus.”

The Fire Princess [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang