Acara ngambek itu belum selesai.
Bian kembali menghembuskan nafas lelah saat kembali mengingat bagaimana dia diabaikan oleh kakaknya. Ini sudah kelima kalinya Bian mengajak kakaknya berbicar namun tak di tanggapi dan malah ditinggal kabur oleh Kelvin begitu saja. Dan kini Bian benar- benar sudah mulai flustasi. Dia tak tau lagi harus dengan cara apa supaya kakaknya mau memaafkan kesalahannya. Tapi kalau dipikir-pikir Bian juga bingung sebenarnya salah Bian itu apa pada Kelvin samapai-sampai Kelvin semarah ini pada Bian. Padahal waktu itu, kan Bian cuman ingin Kak Kelvin mengerti dan tak membesar-besarkan masalah Bian yang mimisan alias melarang Kelvin memberitaukannya pada bunda tentang Bian mimisan. Tapi cuman karena hal sepele itu Kelvin jadi semarah ini dan mendiami Bian hingga saat ini. Baperan banget kan, tuh, anak.
Bian mengacak rambutnya kasar lalu menidurkan kepalanya ke atas meja. Ruang musik adalah ruang yang jarang di kunjungi oleh para siswa, terutama pada jam istirahat, jadi ruangan ini adalah ruangan terbaik untuk bersembunyi dari Devan Dkk (dan kawan-kawan). Lagi pula bahaya juga kalau tiba-tiba dia diserang oleh mereka, terlebih lagi kondisi tubuh Bian masih buruk dan dada Bian juga masih terasa sesak dari kemari, bisa-bisa nanti Bian pingsan lagi.
Bian melirik jam tanganya, 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi, sudah saatnya dia kembali ke kelas. Terlebih lagi setelah ini ada pelajaran Bu Ike, guru bahasa inggris yang paling bawel. Dari pada nanti Bian dapet ceramah karena terlambat masuk kelas saat pelajaranya, lebih baik dia datang lebih awal. Bian pun bangkit dari duduknya. Namun sebelum cowo itu sempat melangkah dia terdiam dengan kening berkerut dalam.
Agh!
Bian menggigit bibir bagian bawahnya saat rasa nyeri yang tak tertahankan dari memar di dadanya kembali terasa. Dengan sebelah tangan yang memegang pusat rasa sakit itu, Bian memejamkan matanya erat berusaha menahan erangan yang ingin kembali keluar. Di saat seperti ini Bian tak boleh panik, dia harus tetap tenag, karena panik hanya akan memperburuk keadaanya.
Cowo itu pun kembali duduk pada kursinya. Menarik nafas dalam lalu menghembuskanya perlahan. Untuk beberapa kali dia terus melakukan hal itu, berusaha menghilangkan rasa sesak dalam dadanya. Namun sial, meski sudah melakukannya beberapa kali tapi sesak itu tak juga hilang dan malah membuat dia semakin sulit bernafas.
Cowo itu menenggelamkan kepalanya dalam sebelah tanga yang terlipat di atas meja. Rasa sakit di dadanya itu semakin tidak bisa tertahankan, membuat wajah Bian semakin memucat dengan keringat dingin yang mulai membasahi sekujur tubuhnya.
Sakit..
Sesak..
******
Sedangkan itu di kantin sekolah. Ozil dan Bagas terus menatap Kelvin lekat dengan ekspresi datar. Meski di hadapan ke dua orang itu tersedia menu kesukaan mereka, bakso Bang Kumis namun mereka lebih memilih untuk menatap sahabatnya yang saat ini sedang makan tanpa dosa itu.
Setelah menyaksikan perubahan sikap Kelvin yang menjadi dingin terhadap Bian. Mereka berdua benar-benar ingin tau apa yang sebenarnya ada dalam otak sahabatnya itu saat ini. Karena menurut Ozil dan Bagas, sikap Kelvin tadi terhadap adiknya benar-benar sudah keterlaluan. Bagaimana tidak, selain mengabaikan permintaan maaf adiknya, anak itu juga mengusih Bian agar tidak duduk di sebelah kursinya, dia menyuruh Bian untuk duduk di pojok belakang sendirian dan yang lebih parah lagi, tadi saat pelajaran fisika Kelvin secara mendadak mengeluarkan Bian dari kelompok belajar fisika hingga Bian tak memiliki kelompok. Benar-benar keterlaluan kan, Kelvin.
Kelvin menghentikan makannya saat menyadari kedua sahabatnya terus menatapnya dingin. Napsu makan Kelvin tiba-tiba hilang seketika. Kemudian Kelvin pun membalas tatapan dingin kedua sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rabian (END)
Teen FictionDahulu bagi seorang rabian bahagia bagaikan sebuah mimpi yang mustahil menjadi nyata. Tidak seperti anak lainya yang tumbuh dengan kasih dan sayang, bian berbeda. Di masa kecilnya Tak ada bahagia yang dia rasakan, yang ada hanyalah rasa sakit dan l...