LITTLE BLACK DRESS

43.6K 1K 5
                                    

Sepasang kaki beralaskan pantofel hitam dengan kaus kaki serupa warna kulit menjejaki undakan tangga dengan perasaan yang sepertinya menyimpan sebuah bom waktu. Bisa dipastikan jika waktunya telah tiba maka bom itu akan meledak. Kemarahannya tidak akan berakhir sebelum dilampiaskan. Dan gadis itu berjanji akan menjadi pembangkang mulai detik ini.

Setelah menolak berjanji pada teman-temannya bahwa dirinya akan datang pada pesta kelulusan mereka yang berlangsung jam tujuh malam nanti, akhirnya ia memutuskan untuk pulang-atau mungkin menghabiskan setengah harinya dengan bermalas-malasan di depan TV. Koleksi DVD Ed masih banyak yang belum ditonton olehnya. Karena pria itu lebih suka mengganggunya daripada melihat adegan yang ditampilkan layar. Sehingga dengan terpaksa konsentrasi Jenie selalu buyar sebelum satu film benar-benar rampung.

"Jenie!"

Jenie membalikkan badan saat mendegar namanya diserukan dari arah gerbang sekolahnya. Ia akan menyeberang untuk menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah Ed-si tua yang menyebalkan. Jarak tempuhnya menjadi lebih jauh daripada saat mereka tinggal di apartement. Dan lihat apa yang harus dilakukannya dengan angkutan umum yang harus berganti tiga kali jika pria itu tidak menjemputnya.

Jenie mengerutkan kening. Kelopak matanya merapat karena pandangannya melawan arah matahari yang masih terik. Davian dengan sebuah kertas diikat pita di tangannya tengah berlari kecil ke arahnya.

"Aku mencarimu di dalam sana." Ucap pria itu menarik-membuang napas lebih cepat. Matanya mengarah pada gedung khusus auditorium di sekolahnya. Jenie yang sama sekali tidak mengerti tujuan Davian mencarinya hanya diam mengamati laki-laki itu.

Davian menegakkan badan, mencoba menarik napas dengan normal. Keringat menetes di pelipisnya.

"Kudengar kau akan ke pesta kelulusan," Davian tidak tahu harus melanjutkan kalimatnya dengan langsung mengajak atau mungkin memastikan terlebih dahulu. Ia takut menjadi laki-laki yang sok tahu lalu berakhir ditolak. Itu akan sangat melukai harga dirinya. Bagi anak sekolah menengah atas seperti dirinya, mengajak anak perempuan untuk pergi bersama di pesta kelulusan adalah sejarah yang akan selalu jadi topik utama saat beberapa tahun kemudian diadakan reuni.

"Aku belum memastikan," Jenie menggaruk tengkuknya. Jangan salahkan jika Jenie sudah tahu maksud Davian. Cerita anak-anak sekolah hampir sama saja tiap tahunnya dan Jenie sudah sering melihatnya di tayangan-tayangan TV di rumahnya.

Davian terlihat salah tingkah lagi.

"Aku akan mengabarimu nanti kalau aku sudah memutuskan. Jam tujuh masih lama kan?" usul Jenie pada akhirnya. Ia melihat lampu berubah hijau untuk penyeberang. "Aku duluan, Dav!" ia melambai lalu setengah berlari menyeberang jalan.

"Kau akan mengabariku lewat apa?" tanya Davian setengah berteriak. Seingatnya ia tidak memiliki nomor telepon Jenie. Mereka tidak sedekat itu untuk bisa sampai pada tahap saling menyimpan nomor. Davian sendiri baru akhir-akhir ini merasakan ketertarikan pada Jenie. Setelah perempuan itu kembali ke sekolah dengan klarifikasi dari pria dewasa yang mengaku tunangannya.

_

Jenie menatap ngeri pada adegan akhir yang ditampilkan seri Zombie di layar televisi. Sudah tiga film yang ia tonton sejak tadi namun hari itu masih terasa panjang sepertinya. Menyiksa Jenie hingga semakin bosan. Ia menoleh pada ponselnya yang tiba-tiba nyala. Dengan cepat ia meraih benda pipih itu dari antara camilan dan soda yang berserakan di meja, berharap ada kabar baik dari orang yang paling dirindukannya.

Ketika ia melihat notifikasi dari akun sosial medianya, Jenie menyimpulkan itu bukan yang ia tunggu-tunggu sejak beberapa hari yang lalu. Untuk apa Ed repot-repot mengiriminya pesan lewat facebook.

ONE MORE NIGHT (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang