blue rose

42 7 0
                                    


"Ingin ke rumah? Saudaraku membelinya dua tahun lalu." Tawarnya menatapku. Butuh waktu bagiku berpikir untuk merespon. Tawaran dari seorang Daniel Ellan

Kusadari bahwa jalanan ini ramai, bahkan seseorang menabrak diantara kami. "Baiklah. Aku ikut." Ujarku.

Ia menggenggam jemariku dengan lembut. Membawaku kembali menyusuri jalan.

Langkah kakiku hanya mengikuti tarikannya yang memperlakukanku istimewa.
Salju pertama turun malam ini. aku sempat bingung. Dan ini nyata. Saljunya turun.
Aku menengadahkan tanganku dan merasakan lembutnya.

Daniel Ellan tidak mengindahkan saljunya. Udara semakin dingin dan aku menyusulnya untuk berjalan beriringan.

"Saljunya turun." Lirihku untuk mendapatkan jawaban Daniel. Ia hanya diam ketika aku terus memandanginya. Ditimpa salju-salju tipis dan lembut, ia terlihat sangat tampan.

Aku menyukainya.

Aku tersenyum bak orang gila di sisinya. Tak merasakan seberapa jauh kami berjalan hingga ke rest area bagi pengendara. Rupanya ia memarkir mobilnya di sini. Dia membuka pintu bangku penumpang untukku. Aku menggosokkan kedua tanganku karena dingin. Bahkan nafasku mengepulkan asap.

Ketika Daniel Ellan duduk dengan benar di sisiku untuk mengemudi, ia tidak terlihat berminat menghidupkan penghangat.

"Aku sangat kedinginan." Ujarku untuk memancingnya agar mengerti.

"Sungguh maafkan aku." Katanya menghidupkan penghangat di mobil dan mulai menghidupkan mesin mobil. Ketika kami mulai meninggalkan rest area, aku merasa lebih hangat. Aku memperhatikan Daniel Ellan sejenak sebelum beralih ke jendela mengamati hujan salju tipis di jalanan.

Daniel Ellan tidak kedinginan. Nafasnya tidak mengepulkan asap. Rasanya kurang baik. Aku jadi kelu untuk berbicara. Jadi selama beberapa menit hanya ada suara kendaraan dan hening di antara kami. Mobil masuk ke area halaman sebuah rumah mewah klasik. Sesuai dugaanku. Tipikal semacam Daniel Ellan pasti hidup bak bangsawan di negeri dongeng, sama dengan drama picisan.

"Kau harusnya membiayai steakku tiap malam. Kau tidak akan kelaparan."

Ujarku bergurau dan ia tertawa sambil berujar. "Aku bisa kelaparan karena semua orang tercemar bahan kimia dan tidak manis lagi."

"Kau benar, apakah steak itu buruk?"

"Tidak. Kau terlihat bagus."

"Kau menakutiku Ellan." Kataku risih dan turun dari mobil dengan wajah mengejekku. Ketika kulitku bersentuhan dengan udara luar, ini dingin. Pikirku.

"Ayo masuk." Suara Daniel Ellan menginterupsiku. Aka mengikuti langahnya untuk segera menapak tangga marmer mahal untuk mencapai pintu besar itu.

Rumahnya terlihat berkilau, tapi sebenarnya mereka kusam. Corak di pintu dan pilar mulai memudar dan menjadi coklat. Seberapa kaya dan seberapa klasik keluarga Daniel Ellan.
Pintu terbuka sendiri menyambut kami. Kurasa Daniel Ellan memang pangeran yang segala sesuatunya tak perlu repot.

Yang mengisi pandanganku pertama kali masuk adalah ruangan sunyi. Ini tidak berdebu. Tapi terasa berdebu. Suhunya hanya berbeda sedikit lebih baik dibandingkan dengan di luar. Tidak ada uadara segar, hanya ada udara hampa dan dingin. Seperti tak berpenghuni.
Aula yang sangat luas dan sofa-sofa panjang. Bahkan untuk menuju sofa, kurasa aku membutuhnya banyak langkah.

"Tidak ada orang." Ujarku mengomentari betapa sunyinya ruang tamu ini.

Langkahku berjengit mundur ketika menyadari Daniel Ellan tidak bersamaku. Aku muncoba memanggilnya. "Ellan."

ELLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang