Setelah gue dan Raf berbicara, atau lebih gampangnya disebut dengan membujuk—gue langsung meminjam sopir Eyang untuk mengantar gue ke tempat Sabri.
Kami mengetuk pintu, dan dibuka oleh muka songong adiknya Sabri yang tadi siang gue tonjok.
"Aku mencari Sabri."Si muka lebam membukakan pintu setelah melihat anak kecil yang ada di belakang gue tampak tidak sabar.
"Sabri!" Raf langsung menerjang Sabri dan meminta pelukan. Gue memandang mereka dengan perasaan sedih. Banyak hal yang kami miliki dan harus diakhiri.
"Kok kamu nggak siap-siap?" Sabri mengingatkan, "jam tujuh Derri jemput kamu ke hotel kan?"
Gue melihat Sabri dengan setelan kerjanya seperti biasa. Dan hari ini gue sadar, sebetulnya guelah yang bikin Ayah dan Sabri nggak bisa bersama. Gue hanya terlalu takut kalau Sabri beneran jadi mama gue, dia bakalan berubah. Dia nggak akan ngomelin lagi dan segera mendepak gue untuk study di luar negri. Gue punya pemikiran itu gegara tahu Sabrien Laicrastè yang gue kenal adalah cewek yang sangat disiplin.
Gue berjalan ke arahnya. "Kalau kita mau nerima kamu, kamu nggak akan pergi kan?" Gue bertanya takut-takut.
Sabri tersenyum, senyum tulus yang biasanya dia sembunyikan, "aku tetap memilih pulang ke asalku, Gio."
"Kenapa?" suara gue serak. Kenapa Sabri nggak mau maafin kami.
"Karena merawat orang tua adalah tugas setiap anak. Aku nggak mau menelantarkan orang tuaku sendiri untuk menjaga anak orang lain."
"Dia bukan orang lain, Sabri. Dia Ayah. Dia adalah lelaki yang mencintai kamu selama lebih dari sepuluh tahun." mulutku lancang membocorkan rahasia Ayah.
Wajah Sabri tampak terkejut, tapi matanya berubah sendu. Dia mendesah pelan, "aku bukan orang yang sempurna, Gio. Aku rusak. Dan Ayahmu berhak mendapatkan yang sempurna."
"Apa dia nggak berhak mendapatkan cintamu? Apa dia nggak boleh berjuang untuk dapat hatimu dengan layak?"
Sabri menggeleng. "It's too late. Dan aku tidak punya hati lagi untuk kuberikan kepada lelaki yang hebat seperti dia, Gio. He deserves better than a woman who broken like me."
Gue menatap Sabri dengan sedih, tanpa aba-aba gue memeluknya. Dan rasanya masih sama ketika Sabri datang dalam hidupku, hangat dan tulus. Sayang sekali kami harus berpisah seperti ini.
Berkelebatan skenario ada di otakku. "Jangan pulang dulu ya, tunggu Ayah dapet ganti."
Sabri tersenyum keibuan. "Masih ada tiga hari lagi." Katanya dengan nada lembut.
Oke tiga hari untuk membuat Sabri percaya, bahwa apa yang paling diinginkan Ayah adalah mendapat wanita sehebat Sabrien Amara Laicrastè.
•••
Setelah adegan pelukan bertiga antara gue, Raf dan Sabri berakhir. Gue langsung ngajak Sabri ke hotel, tentunya setelah ngebalikin Raf ke rumah Eyang dulu.
Gue dandan—yang cuma ganti baju dan nyisir rambut, da membiarkan Sabri menungguku seperti ibu yang nggak sabar liat anaknya debut.
Hati gue masih sakit, kalau keinget Sabri mau pergi. Dia nggak mau bertahan di samping Ayah lebih lama lagi.
"Kamu nggak dandan?" Gue penasaran, apakah Sabri masih mau mempertahankan gaya 'kantoran' nya yang sangat enggak banget itu.
Dia menggeleng.
"Kenapa?"
"Karena pesta sama sekali nggak cocok sama kepribadianku, Gio. Dan selama ini aku nggak pernah ikut pesta apapun yang dihadiri atau diadakan oleh Ayahmu"
KAMU SEDANG MEMBACA
I am Seeking For 'Emak Tiri'
Teen FictionDicari, calon istri untuk ayahku. Persyaratan: 1. Wanita tulen. 2. Bersedia mengasuh tiga orang lelaki. 3. Fulltime mother. 4. Pengalaman tidak diutamakan. Kirim CV ke alamat; GioSyailendra@gmail.com. Selamat datang di Syailendra Corporation. Eh, Sy...