2. Kemarahan

41 10 3
                                    

SKIP

Waktu berlalu begitu saja, hingga akhirnya jam pulang sekolah tiba. Aku tak langsung pulang ke rumah, aku berjalan dengan sepeda mengunjungi toko buku langgananku. Sesampainya di sana aku masuk berkeliling rak buku untuk mencari novel incaranku yang berjudul "CAHAYA TEMARAM". Aku juga sempat membayangkan seandainya aku bisa mempunyai toko buku yang di dalamnya terdapat berbagai karya tulis tanganku.

Aku mengambil novel yang telah kutemukan, membawanya ke depan kasir. Sambil mengeluarkan satu lembar uang seratus ribu. Terkadang aku menghabiskan uang saku yang terkumpul dalam seminggu untuk membeli novel baru sebagai koleksiku. Setelah membayar itu, aku segera keluar. Bergegas pergi dari sini karena langit mulai menampakkan warna abu-abu, menandakan hari ini akan turun hujan.

Jarak antara rumah dan toko tidak terlalu jauh. Aku mengayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Sesampai di halaman rumah, ku sandarkan sepeda di samping pohon. Dari luar terdengar suara laki-laki yang sedang berteriak. Siapa lagi kalau bukan ayah. Ayah selalu seperti ini, pulang ke rumah pada malam hari dalam keadaan mabuk. Dalam keadaan ini aku dan bunda selalu menjadi korban keemosian ayah.

" ayah berhenti! Bunda gak papa kan." Aku membantu bunda yang terduduk di lantai untk berdiri

"bunda gak papa nak." Mulai mengapus tangisnya

"Yah kenapa sih selalu kaya gini. Apa ayah gak kasihan sama bunda yang sudah terlalu sabar ngadepin tingkah ayah. Ayah itu punya kewajiban untuk jaga keluarga. Bukan malah nyakitin kita kaya gini." Ucapku tak tahan menahan amarah

" kurang ajar kamu ya. Aku ini ayah kandung kamu. Aku kerja cari uang buat kamu. Kamu mau jadi anak durhaka ya. Sekarang kalian pergi dari sini, jangan pernah datang lagi ke sini." Bentak ayah yang sontak membuatku dan bunda terlonjak kaget

" oke kalau itu mau ayah, kita bisa hidupin diri sendiri." Aku berjalan menuju kamarku dan bunda mengambil pakaian dan barang-barang berharga. Segera aku turun ke bawah, menghampiri bunda dan ayah.

" mas tolong maafin aku sama Nafisya. Kita mau tinggal dimana mas kalau kita pergi dari sini." Ucap bunda memohon kepada ayah

" bun, udah mending kita keluar dari rumah ini. Kita gak pantas tinggal sama dia. Fisya juga sudah beresin pakaian kita." Ku ajak bunda keluar dari rumah ini

Aku bersyukur bisa keluar dari rumah itu. Aku tidak tega melihat ibu terus-terusan menanggung masalah hidup ini. Hanya untuk membiayai sekolahku. Meninggalkan semua kekerasan yang diberikan ayah kepada ku dan bunda. Kita pergi dari rumah dengan membawa uang tabungan yang selama ini ku kumpulkan.

" bun, gak usah dipikirin, aku masih bisa cari kerjaan kok. Untuk malam ini kita cari tempat penginapan dekat-dekat sini ya. Soalnya gak mungkin kita ke butik bunda sekarang" Melihat ibu yang sudah mulai kelelahan

" maafin bunda ya nak, karena gak bisa memperthankan ini"

" gak papa bun, kita juga gak taukan kalau akhirnya jadi begini."

****

Hari sudah semakin malam, angin dingin berhembus kencang membuat rambutku sedikit berantakan. Rintik hujan mulai turun menciptakan suara di jalan aspal. Berselisihan dengan suara katak yang berdengung di semak-semak dan selokan.

Kami berteduh di bawah halte bis yang terletak di bawah pepohonan rimbun. Menunggu adanya kendaraan umum yang lewat. Aku melihat dari ujung jalan ada sebuah mobil yang mengarah ke kami. Mobil itu berhenti tepat di depan kami.

" mba Mita, kenapa ada di halte, inikan hujan." Wanita tersebut bertanya dengan kaget dan heran. Ternyata orang tersebut teman bisnis bunda di butik

" iya mba Ana, tadi kepepet mau keluar tapi di tengah jalan hujan." Bohong bunda

" kenapa gak naik mobil mba. Yaudah mending ikut saya mba sekalian nginap di rumah aja ya" tawarnya

" gak usah repot-repot mba, gak papa kok."

" ayo mba masuk dari pada nunggu kendaraan yang lewat, pasti gak bakal ada."

" Nafisya ayo masuk." Perintan bunda

" anak mba biar di depan aja ." Ucap bu Ana

Kami pun masuk ke dalam mobil tersebut dengan terpaksa. Bunda duduk di belakang bersama bu Ana. Sedangkan aku duduk di depan bersama seorang lelaki yang mengendarai mobil. Aku memang sudah mengenal tante Ana tapi hanya sekedar cerita dari bunda dan baru ini aku bertemu dengan beliau.

Di mobil aku hanya menatap lurus ke depan merenungi kejadian yang terjadi malam ini. Sambil menatap pepohonan yang tersentuh air hujan dengan lebatnya. Berbicara mengapa aku tidak mengendarai mobil saat pergi dari rumah. Itu dikarenakan mobil yang sering aku dan bunda pakai adalah milik ayah. Aku tidak mau lagi membawa barang –barang yang masih berhubungan dengan ayah.

"mba kalian nanti nginep di rumah saya aja dulu. Sekalian mba juga bisa cerita sama saya."

" makasih banyak loh atas bantuannya mba."

" iya sama-sama. Itu yang barengan tadi anak nya mba?" tanya tante Ana

" iya mba, anak satu-satunya."

Mobil ini berhenti di depan rumah mewah dengan halaman yang luas. Kami segera turun dan memasuki rumah tersebut. Aku memperhatikan cowok yang tadi di mobil, berpikir apakah itu anak nya tante Ana. Dia jalan duluan memasuki rumah mewah itu setelah memarirkan mobil yang kami tumpangi ke halaman rumah.

Tante Ana menyuruh kita untuk berganti baju terlebih dahulu. Kemudian, mengajak kita untuk menuju ke ruang makan. Di sana ku menemukan keluarga kecil yang sedang berkumpul sambil menunggu kami berdua. Aku menarik kursi di samping anak lelaki itu.

Menebar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang