part 16 "Alasan Bahagia"

9K 603 11
                                    

Seorang gadis sedang berdiri di balkon apartmentnya, sembari menyesap cokelat panasnya, hembusan angin malam menggerekkan anak-anak rambutnya yang tidak terikat.

Farah memejamkan matanya sejenak, menikmati angin yang menerpa wajahnya, sekelebat kenangan masa lalunya kembali memenuhi pikirannya.

Farah kalau udah gede mau jadi apa sayang? Tanya seorang wanita cantik kepada putri kecilnya yang masih berusia sembilan tahun.

"Emm—apa ya mah? Farah bingung," jawab gadis itu sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di pipi.

"Papah, Farah gedenya nanti jadi apa ya?" tanya anak itu pada lelaki paruh baya yang sedang membaca koran.

Lelaki yang ditanya pun tersenyum hangat pada putrinya itu, lalu membuka memanggil putri cantiknya itu untuk duduk dipangkuannya.

"Farah mau jadi apapun papah dukung, asal bermanfaat untuk orang-orang disekitar kamu sayang," jelas Antony sambil mengecup pipi chuby putrinya.

Farah tersenyum getir mengingat kenangannya delapan tahun silam, ia merindukan masa-masa kecilnya, ketika ia masih bisa merasakan peluk hangat kedua orang tuanya dan masih bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga, dulu ia pernah berfikir dosa besar apa yang ia dan keluarganya lakukan hingga tuhan memisahkan mereka, menghilangkan semua keharmonisan keluarganya, mengambil ibunya serta menjauhkan ayahnya.

Pandangan gadis itu terlihat menerawang jauh, memikirkan hal-hal pilu yang terjadi pada hidupnya dulu hingga ia mendapatkan seseorang yang mampu menjadi alasan dari semangatnya sekarang.

Mama, Farah udah punya alasan buat tersenyum bahagia sekarang ucapnya dalam hati.

Drttt...drtttt....

Lamunan gadis itu seketika buyar karena bunyi ponsel yang berada disampingnya tepat diatas meja kayu berukuran kecil.

"Hallo kak."

"Kenapa belum tidur?" tanya suara berat diujung sana.

"Nggak bisa tidur" jawab Farah pelan.

"Lo diluar?"

"Di balkon"

"Masuk," perintahnya.

"Kenapa?"

"Ck! anginnya kenceng." Devan berdecak kesal.

"Nggak dingin—"

"Masuk Farah," ucap Devan datar.

"Iya iya ishh," jawab gadis itu kesal sambil menekuk wajahnya.

"Pintu balkonnya tutup."

"Iya ishh tau."

"Udah?"

"Udah apa?"

"Di tutup."

"Apanya yang ditutup?"

"Pintunya Farah," jawab lelaki itu penuh penekanan.

"Iya udah aku tutup."

"Sekarang tidur," perintah Devan.

"Nggak ngantuk ihhh," rengek Farah.

"Nurut Farah."

"Nggak bisa ihh."

"Merem."

"Udah, tapi nggak tidur-tidur."

"Denger."

"Apa?"

"Ponselnya jangan letak dekat kepala, di speaker aja," instruksi lelaki itu.

"Iya iya," jawab Farah pasrah lalu mengikuti perintah Devan.

"Tutup mata, dengerin."

Tak lama kemudian suara gitar memecah keheningan kamar Farah, hingga suara berat yang merdu milik lelaki diseberang sana mampu membuatnya terkagum.

Izinkan ku lukis senja

mengukir namamu disana

mendengar kamu bercerita

menangis tertawa

izinkan ku lukis malam

bawa kamu bintang-bintang

tuk temani mu yang terluka

hingga kau bahagia

alunan suara merdu Devan yang diiringi oleh petikan gitarnya terus memecah keheningan malam dengan lagu melukis senja milik Budi Doremi, berhasil membuat Farah memasuki alam mimpinya, tidak sia-sia usaha Devan.

"Ik hou van je," ucap lelaki itu dalam bahasa belanda dengan lembut, sebelum akhirnya benar-benar menutup teleponnya.

FarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang