"Kau sedang apa?"
Aku berjengkit dan nyaris melemparkan pan yang tengah aku bolak-balik saat mendengar suara yang tiba-tiba muncul di sisi telingaku itu. Refleks saja aku agak menjauhkan badan, menoleh dan menjatuhkan pan berisi pancake yang sedang kumasak ke lantai.
"Hei!" Zack berseru, lalu buru-buru berjongkok untuk mengambil kembali pan dan hasil masakanku untuknya itu.
Namun, bukan itu yang menjadi fokusku melainkan tubuh Zack yang hanya berbalutkan handuk. Kau dengar aku. Zack-Hanya-Berbalutkan-Handuk di tubuhnya. Bisa tebak bagaimana perasaanku sekarang? Sudah jelas, aku menegang. Ditambah posisi berjongkoknya sangat pas sekali. Membuat aku dapat mengintip ke dalam lubang handuk di antara dua pahanya.
Celana dalam yang Zack pakai berwarna putih. Ugh, seksi.
Zack berdiri lalu meletakkan pan kembali ke atas kompor yang kemudian dimatikannya. "Maaf. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu."
Kata-katanya membuat aku seketika tersadar dan menggelengkan kepala perlahan. "Tidak apa-apa. Akunya saja yang tadi melamun. Hehehe," tawaku terdengar sangat dipaksakan. "Oh, ya, apa kau lapar? Aku sudah membuatkan pancake," ujarku menawarkan seraya mengangkat piring saji berisi beberapa potong pancake ke depan wajah Zack.
Aku berusaha tidak terlalu fokus pada tubuh setengah telanjangnya. Jangan sampai aku lepas kendali.
Dia tampak takjub. "Waw. Kau bisa memasak?"
Aku terkekeh kikuk. "Sedikit. Hanya untuk membantu menghemat pengeluaran. Dan kau tahu, aku orangnya sedikit tertutup dan jadi sering malas keluar. Makanya, aku lebih sering memasak," jelasku sambil berjalan menuju ke meja makan. Meletakkan sajian pancake di sana, setelah itu berbalik ke dapur. Krim madu yang sudah aku buat lupa kubawa.
Zack aku dengar berdecak kagum. "Orang pendiam memang tak mudah ditebak, ya," komentarnya yang kemudian duduk di salah satu kursi. "Tapi tunggu dulu, aku jadi merasa semakin merepotkanmu jika begini, Charlie."
Aku tertawa. "Aku tidak keberatan. Anggap saja ini sebagai ucapan salam kenal dari tetanggamu? Meski terkesan terlambat."
Zack tertawa renyah. "Kau sungguh baik. Aku senang bisa memiliki tetangga sepertimu."
Mendapatkan pujian darinya, semata-mata membuat jantungku berdebar-debar. Sesudah itu aku dan Zack mulai memakan pancake buatanku. Yang jujur saja, membuat aku was-was sewaktu menunggu respons darinya. Apakah lezat di lidahnya? Apa masakanku tidak akan membuatnya kecewa?
"Oh my God, Charlie. Kau, kau ... ini adalah pancake terlezat yang pernah aku cicipi," katanya dengan mulut penuh. Begitu lanjut mengunyah, dia melanjutkan, "Wow. Aku akan lebih sering mampir ke tempatmu jika begini. Hahaha."
Oh, tentu. Silakan. Mampirlah setiap saat dan setiap hari.
Aku berdeham, mencoba bersikap biasa saja menanggapi pujiannya. "Kau membual. Seolah para kekasihmu tidak pernah membuatkanmu makanan saja."
Zack tiba-tiba tersedak keras. Jadi, aku buru-buru menyerahkan segelas air ke arahnya. "Uhuk! Kekasih? Kekasih siapa yang kau bicarakan?" tanyanya setelah menenggak habis segelas air.
Aku mengernyit mendengar pertanyaan baliknya. Masa dia tidak mengerti maksudku?
"Jelas kekasihmu," ucapku berusaha menutupi perasaan tidak suka. "Mereka yang sering datang dan keluar masuk dari pintu apartemenmu itu. Mereka kekasihmu, kan?"
Zack mendelik padaku, lalu tak kusangka meledak dalam tawa. "Astaga. Bukan. Mereka sama sekali bukan kekasihku."
Jawabannya jelas menipu sekali. "Pembohong," olokku sambil melahap satu irisan pancake.
Zack menggelengkan kepalanya sembari menatapku dengan sorot serius. "Sungguh, mereka bukan kekasihku. Mereka hanya teman-teman dari kampus. Setiap hari, selalu ada saja yang datang ke tempatku karena mereka meminta diajarkan perihal beberapa materi kuliah olehku," tuturnya memulai penjelasan. "Sebagai gantinya, aku diberi bayaran. Maka dari itu, aku tak pernah menolak kedatangan mereka. Ini juga merupakan salah satu mata pencaharianku."
Aku tak dapat mengatupkan mulut setelah mendengar semua itu. Jadi, selama ini aku salah paham. Atau Zack sedang coba membodohiku?
"Kau pasti sedang bercanda, kan?" tanyaku masih menaruh curiga.
Zack terkekeh. "Aku serius, Charlie. Lagi pula, dari mana kau bisa menyimpulkan bahwa mereka kekasihku? Apakah mungkin bagiku memiliki kekasih sebanyak itu dan tidak sampai diketahui oleh yang lain?"
Itu cukup masuk akal juga. Akan tetapi, "Kau selalu tak terlihat mengenakan baju setiap kali mengantar mereka ke pintu," ujarku berusaha mengumpulkan bukti atas asumsiku.
Dia mengernyit. "Apakah sejak datang kemari aku mengenakan pakaian?"
Pertanyaan itu langsung kubalas dengan gelengan. Membuat aku fokus ke dada bidangnya untuk beberapa detik.
"Nah, kau sadar hal itu. Ini memang kebiasaanku. Aku tidak suka memakai baju jika berada di dalam atau di sekitar rumah. Gerah," jawabnya, "Malah kalau sendirian di ruanganku, biasanya aku telanjang bulat."
Mendengar hal itu, aku seketika tersedak hebat. Sialan. Jangan buat aku membayangkan tubuh polosmu, Zack. Di sisi lain, aku merasa lega sebab itu artinya dia masih single.
"Kau telanjang bulat?" responsku, sok keheranan.
Zack mengangguk. "Ya. Bukankah itu hal yang biasa untuk seorang laki-laki? Bertelanjang dada, tak berpakaian. Meski yah, penampilanmu memang berbeda," katanya sembari memperhatikanku, "Bahkan di dalam rumah sendiri kau memakai hoodie dirangkap kaus. Apa kau tidak kepanasan?" tanyanya bingung.
Aku menunduk. "Aku nyaman dengan penampilanku yang seperti ini," jawabku sambil tersenyum.
Zack menggumam kemudian lanjut memakan pancake. "Dari mana kau belajar memasak pancake?"
Aku senang dia selalu memiliki topik obrolan yang ingin dibicarakannya denganku. "Dari Kakak perempuanku. Dia bekerja sebagai seorang chef di sebuah kafe sederhana di pusat kota."
Kepala Zack mengangguk-angguk merespons jawabanku. "Oh, ya. Mengenai yang tadi, saat kau menduga bahwa para gadis itu kekasihku karena ketika mengantar mereka keluar aku tak berpakaian, apakah kau berpikir yang macam-macam?"
Aku berhenti mengunyah, kemudian menatap Zack tak enak. "Ya, aku tak bisa memungkiri hal itu. Wajar apabila aku sampai berpikiran seperti itu, kan?" tanyaku merasa sungkan.
Dia terkekeh geli. "Tidak kusangka ternyata isi pikiranmu bisa sampai ke sana juga. Padahal aku pikir kau pemuda yang polos."
Wajahku merona karena malu. Kau hanya tak tahu saja sosok seperti apa diriku dan isi di pikiranku sesungguhnya, Zack.
"Kau pasti iri, kan? Ingin melakukan hal-hal yang kau pikirkan terjadi di dalam kamarku, kan?" lanjutnya menggoda.
Aku jadi semakin merasa tak keruan dan bertambah gugup. Apa harus kami berdua membahas hal semacam ini?
"Iya. Aku iri. Dan sering berpikir, andai aku bisa melakukan hal-hal 'seperti itu' bersamamu."
Tepat setelah kalimatku itu terucap, suasana di sekitar kami mendadak menjadi hening. Zack melotot tak percaya menatapku, sedangkan aku tercenung seperkian detik ... untuk lalu menyadari kesalahan apa yang baru saja kulakukan.
Ya Tuhan, apa yang barusan aku katakan?
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetanggaku ✔️
Short StorySatu-satunya hal yang kutahu tentangnya, adalah bahwa ia sering dipanggil Zack. Dia tetanggaku. Memiliki paras yang tampan; mata biru terang, rahang tegas berhiaskan brewok tipis, alis lebat dengan hidung mancung yang pas. Tubuhnya tinggi. Setidakny...