5

25.6K 1.2K 58
                                    

Sudah tiga hari sejak kejadian di mana Zack akhirnya mengetahui hasrat terpendamku terhadap dirinya. Selama itu pula, aku belum keluar dari kamar. Bolos kuliah, tidak memenuhi keinginan ibu yang ingin berkunjung kemari--sebab aku mengaku sedang tidak enak badan, bahkan mengabaikan tumpukan pakaian kotor yang seharusnya aku antarkan ke laudry. Ngomong-ngomong, di antara tumpukan pakaian kotor itu ada handuk yang Zack pakai selekasnya dia mandi di sini. Handuk yang setiap kali aku melihatnya, membuat aku didatangi rasa bersalah.

Merasa bersalah pada Zack.

Ketika baru saja dia berusaha membuka diri kepadaku, menganggap aku sebagai tetangga yang baik. Namun, kenyataannya aku tak sebaik yang dipikirkan. Aku yakin Zack kecewa dan juga kaget. Siapa sangka pemuda yang dia pikir polos dan cupu ini rupanya memiliki hasrat menjijikkan terhadapnya?

Aku masih ingat reaksi Zack saat itu. Dia tidak bertanya, pun tak memintai sebarang penjelasan. Seolah melihat kediamanku sama artinya dengan dia yang sudah bisa menyimpulkan segalanya. Jadi, dia langsung saja berdiri dari kursi, masuk ke kamar mandi, dan beberapa saat kemudian keluar dengan memakai celana miliknya sendiri. Setelahnya, pergi dari kamar apartemenku. Meninggalkan aku dengan perasaan sakit hati, sekaligus menyesal.

Andai saat itu aku bisa menutupinya dengan gurauan. Pura-pura mengaku kalau aku sekadar ingin meledaknya. Mungkin semuanya tidak akan berakhir semenyedihkan ini.

Tidak. Hanya aku yang menganggap ini menyedihkan. Sebab, aku pastikan Zack tak akan pernah ingin lagi melihat wajah ataupun kehadiranku. Sudah jelas perasaanku padanya mustahil bisa terbalas. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar. Untungnya, beberapa hari lalu aku sudah membeli banyak stok belanjaan berupa makanan cepat saji dan camilan. Jadi, aku tak terlalu kerepotan sekalipun berada sendirian dan tak beranjak ke mana-mana sementara waktu.

Sialnya, aku merindukan Zack. Aku rindu suaranya, tubuh bagian atasnya yang gagah, wangi aroma tubuhnya yang maskulin, brewok seksi yang menghiasi rahangnya, juga suara tawa renyahnya yang bersahabat. Semua tentangnya. Hanya saja, sebesar apa pun hasrat yang menumpuk atas kerinduanku pada Zack, tetap tidak mampu membuatku berani menyentuh diriku sendiri lagi. Karena aku merasa hina. Merasa tak pantas lagi bahkan hanya untuk sekadar memikirkan sosok Zack dalam imajinasiku.

Andai saja aku bisa meminta maaf. Aku tak berharap Zack bisa membalas perasaanku, tentu. Asal dia mau menerimaku sebagai tetangga atau temannya saja kurasa sudah cukup. Gara-gara kebodohanku sendiri semuanya jadi berantakan.

Tak ada harapan secuil pun yang mampu aku dapatkan sekarang. Tak ada sama sekali.

BRUKK!

Suara apa itu?

Aku refleks berjalan menuju pintu. Menimbang-nimbang cukup lama, apakah aku harus membukanya lalu mengintip keluar? Bagaimana kalau nanti Zack melihatku? Bisa-bisa aku diludahi, atau lebih buruknya dihajar. Akan tetapi, aku penasaran.

Perlahan sekali, aku membuka pintu. Meneguk ludah, berusaha menenangkan detak jantung yang berpacu cepat saking was-was, lantas mulai mengintip keluar. Seketika itu juga, detak jantungku seolah tak lagi tersisa. Kepalaku mendadak pusing, dan perutku diserang sensasi mual menyaksikan Zack dan juga perempuan yang tak kuketahui siapa tengah bercumbu di depan pintu apartemen tetangga yang kusukai itu. Suara bibir mereka yang saling mengecup dan mencium sampai kedengaran di posisiku berdiri. Di mana sekarang ini, kedua kakiku sudah saja melemas.

Seharusnya aku mundur, menutup mata atau memberanikan diri memisahkan keduanya. Tapi, yang kini kulakukan justru sebaliknya. Menyiksa perasaan dan hatiku sendiri melihat Zack meraba serta menyentuh tubuh perempuan itu. Lalu entah sejak kapan pipiku sudah saja basah. Memperdengarkan suara isakan, yang seketika menghentikan dua sosok di depanku dari aksi saling bercumbunya.

Aku terkesiap. Sigap membungkam mulut, kemudian buru-buru mengusap wajah sewaktu menangkap tatapan Zack ke arahku yang tak sanggup aku balas. Apakah dia marah, jijik, atau muak?

"Charlie?"

Itu suara Jennifer. Tapi, bahkan untuk sekadar menoleh saja aku tak berani. Lantas aku mundur kembali, sesudah itu menutup pintu dan menguncinya. Tubuhku merosot jatuh ke lantai, bersamaan dengan air mata yang juga berjatuhan. Menangisi harapanku yang ternyata memang sudah tak tersisa sedikit pun. Sepertinya, aku akan pindah saja dari apartemen ini. Biar Catherine saja yang menempatinya. Aku ingin kembali tinggal bersama ibu. Berusaha hidup mandiri ternyata sama sekali tak mudah. Yang ada aku malah tersiksa.

Andaikan aku masih memiliki kesempatan. Hanya demi meminta maaf dan bertemu tatap dengan Zack untuk yang terakhir kali.

Nah! Sudah cukup menangisnya. Aku tidak boleh tampak menyedihkan lebih dari ini. Aku harus bisa bangkit. Semisal, berusaha melupakan Zack

Ugh. Melupakan orang yang tempat tinggalnya hanya berjarak beberapa inci saja dari kamarmu, memangnya kau sanggup?

Aku berdiri, urung melangkah sewaktu mendengar ketukan yang asalnya dari pintu yang baru hendak aku tinggalkan. Perasaanku tentu saja menjadi tak keruan lagi. Ada siapa di luar? Jennifer? Ibu? Atau ... Zack?

Kemungkinan untuk nama terakhir yang kupikirkan itu mustahil sekali, bukan?

"Charlie, apa kau ada di situ?"

Aku tersentak hebat di posisiku berdiri dengan jantung yang nyaris melompat keluar sewaktu mendengar suara Zack yang memanggil dari luar pintu. Apa aku tidak salah dengar? Apa mendadak saja aku berhalusinasi akibat terlalu merindukannya?

"Charlie, ini aku Zack. Aku, ingin bicara. Jika kau tak keberatan."

Aku buru-buru meraih kenop pintu dan memutarnya, lupa bahwa barusan telah menguncinya. Sesudah kunciannya dibuka, daun pintu aku kuak. Memunculkan paras jantan sosok laki-laki yang sangat aku rindukan. Tatapan kami beradu, tidak lama. Sebab setelah itu, aku menunduk dengan perasaan malu yang luar biasa.

Sial. Kenapa aku harus membukakan pintu? Seharusnya aku tak perlu menemuinya lagi, kan? Aku takut Zack justru akan membicarakan hal-hal yang tak kuinginkan.

"Apa boleh aku masuk? Akan lebih baik apabila kita berbicara di dalam," ucap Zack yang masih tak berani aku pandangi lagi wajahnya.

Jadi, aku hanya mundur ke belakang pintu, mempersilakannya masuk tanpa membalas satu pun kalimat yang disuarakannya. Begitu pintu ditutup dan aku berhadapan dengan Zack setelah tiga hari berlalu, perasaan canggung itu langsung saja menguasai suasana di antara kami.

Apa aku harus mengatakan sesuatu? Menanyakan kabarnya? Bertanya perihal kejadian yang kusaksikan tadi di depan pintu apartemennya? Atau aku lebih baik meminta maaf dulu?

Aku meneguk ludah. Kedua tanganku saling mengepal. "Euh, Z-Zack ... aku minta ma--"

"Tolong jelaskan padaku," potong Zack atas permintaan maaf yang baru berniat aku ungkapkan. "Mengapa sejak hari itu, aku sama sekali tidak bisa berhenti memikirkanmu?"

--

Tetanggaku ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang