Penghujung Hari

487 107 130
                                    

Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku. Suara yang tak pernah kukenal. Seorang gadis berseragam putih-abu berdiri tak jauh dariku. Ketika melihatku menoleh ke arahnya, ia berjalan sedikit berlari mendekatiku. Aku bangkit dari dudukku saat ia tiba di hadapanku.

Kucermati wajahnya baik-baik, matanya besar bulat, giginya berpagar. Wajahnya tidak ada dalam ingatanku, namun sepertinya tidak asing. Kuperhatikan lagi lebih lekat, ia pun tengah memandangiku dengan raut cemas, sesekali ia menunduk sambil menggaruk kepalanya.

"Gue ke sini mau minta maaf," ujarnya membuka obrolan. Logatnya berbeda dengan beberapa orang di sini, mungkin ini yang disebut logat Jakarta. Kata demi kata ia ucapkan dengan lambat. Seperti takut-takut.

"Maaf?" tanyaku sedikit heran, namun kuberikan kesempatan lagi untuk ia melanjutkan.

"Gue ke sini, Clara yang minta," gadis itu menggigit bibir bawahnya. Seolah cemas menantikan aku akan bereaksi seperti apa.

Mendengarnya menyebut nama Clara, jelaslah sudah. Pantas aku seperti tidak asing dengannya. Gadis ini adalah salah satu teman Clara. Anak buah Clara atau pengikut Clara, sebetulnya aku tak begitu tertarik dengan jabatan mereka. Namun sudah bisa dipastikan, tadi pasti gadis ini pun ada sewaktu insiden toilet.

"Clara mau bikin apa lagi?" tanyaku malas-malasan.

"Dia suruh gue buntutin elo, Nadine. Dia mau tau rumah lo." Dari ekspresinya aku bisa membaca bahwa gadis ini tengah ketakutan.

"Terus kenapa kamu malah jujur ke saya?" tanyaku bingung.

"Itulah, gue mau minta maaf. Gue terpaksa nurutin dia. Sebenernya gue ngga suka ngebully orang kaya gitu. Makanya, gue ke sini bawa ini."

Gadis itu menyodorkan sesuatu yang dibungkus oleh kantong plastik hitam. Aku meraihnya. Aku penasaran, namun sedikit takut. Aku takut bungkusan ini adalah jebakan dari Clara. Namun melihat raut wajah gadis itu yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan aku memilih untuk percaya. Aku membuka kantong plastik hitam itu perlahan.

"Ini kan seragam sekolah?" ujarku terkejut saat kudapati isinya ternyata adalah dua set seragam putih abu-abu dan seragam lain berwarna coklat.

"Sambil nungguin elo tadi, gue beli ini. Sebagai permintaan maaf. Di kursi kamu itu, gue yang buat begitu. Tolong maafin gue ya Nadine! Please. Clara yang suruh gue. Bener!"

Aku kaget sekali. Bukan karena penjelasannya tentang kursi, namun karena tiba-tiba ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis. Jujur aku belum pernah melihat orang menangis di depan mataku begini. Mendadak aku jadi bingung. Aku mendekatinya sambil mengelus-elus pundaknya yang bergetar.

"Jangan nangis ya..." hanya itu yang bisa terlontar dari mulutku karena kepalaku terasa penuh. Aku belum pernah dalam posisi harus membuat orang berhenti menangis. Dan benar saja, kata-kataku itu tidak lantas membuat tangisnya berhenti. Aku baru ingat kalau aku belum tau namanya, "nama kamu siapa?"tanyaku.

Untold Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang