Kekosongan

333 71 34
                                    

"SAYA BILANG CUKUP!!!"

Seluruh gymnasium mendadak sunyi.

Aku dan Clara sama-sama tersentak. Cengkraman Clara mengendur saat melihat siapa yang datang. Aku pun sedikit terlonjak. Seorang pria muda, tinggi tegap, beralis lebat, berkulit putih, berambut hitam kecoklatan, menggenakan pakaian olah-raga, dan kuakui, sangat tampan, datang melerai kami. Rahangnya mengencang, sorot matanya tajam memandang aku dan Clara.

 Rahangnya mengencang, sorot matanya tajam memandang aku dan Clara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa-apaan kalian berdua?" tanyanya kembali.

"Dia yang mulai duluan!" Jawab Clara cepat. Membela diri. Aku tidak terima.

"Loh, kamu yang tiba-tiba serang aku, kan?" Ujarku pada Clara. Aku menengok kepada murid-murid lain yang terpaku, "saksinya banyak di sini." Aku berusaha meyakinkan pria yang sepertinya adalah guru olah-raga kami.

"Sudah cukup. Kalian berdua saya hukum. Lari keliling lapangan sepuluh kali," Pria itu tidak menggubris pembelaanku. Aku kembali merasa tidak terima. Ini tidak adil. Kenapa aku harus dihukum juga?

"Loh, kenapa bapak nggak coba cari tahu dulu duduk perkaranya? Kenapa saya juga ikutan dihukum?"protesku.

"Kalau terjadi perkelahian, tidak ada pihak yang bisa dianggap benar. Kalian berdua salah di mata saya. Kamu mengerti?" Jawab guru itu sambil memandangku dalam-dalam.

Aku terdiam tidak bisa menjawab lagi. Kurasa dia benar. Kalau dipikir-pikir dalam kasus perkelahian ini, aku juga bersalah karena tidak bisa menahan emosi.

Tidak ada raut bercanda di wajahnya. "Kalian berdua, ikut saya ke lapangan. Dan untuk murid laki-laki," ujarnya lagi sambil memberikan instruksi kepada murid lainnya, "bentuk dua kelompok, lalu kalian bisa mulai bertanding basket. Untuk murid perempuan, kalian tunggu Bu Rini datang, hari ini kalian ambil nilai untuk senam lantai."

Pak Guru yang belum kuketahui namanya itu berjalan menerobos jarak di antara aku dan Clara berdiri. Keluar dari gymnasium dengan langkah yang cepat. Aku dan Clara mengikuti di belakangnya.

"Awas ya, pembalasan saya belum selesai," bisik Clara padaku. Ia menatapku penuh kebencian. Aku membalas tatapannya. Aku tak mau cewek kurus ini menyangka aku tak berani melawannya.

Tak lama kemudian, kami tiba di lapangan sekolah. Matahari bersinar begitu terik, padahal kurasa ini masih pagi. Kurasakan perutku lapar. Lapar sekali. Perkelahianku dengan Clara barusan telah menyita banyak energi.

Aku berdiri berjajar dengan Clara. Kulihat tampang Clara sudah begitu kusut. Cewek-cewek manja sepertinya pasti malas harus berpanas-panas ria. Pak Guru berdiri di hadapan kami berdua.

"Okay saya akan awasi kalian dari sini. Hitungan ketiga, kalian mulai lari. Satu, dua, tiga..." ujarnya.

Aku dan Clara mulai berlari. Aku tak terburu-buru, namun tidak kusangka ternyata Clara berlari sangat gesit dan kencang. Ia sudah lebih jauh berada di depanku. Ada sedikit perasaan tertantang, aku berusaha menyusulnya, namun Clara sangat amat kencang. Aku tak sanggup melampauinya.

Untold Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang