Nenek

552 109 133
                                    

Jangan bosan, karena mungkin aku akan cerita panjang soal Nenekku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan bosan, karena mungkin aku akan cerita panjang soal Nenekku. Nenek Marini. Ibu kandung dari Mamaku.

Nenekku meninggal belum lama, mungkin satu atau dua bulan yang lalu. Tepatnya tiga bulan setelah kepindahanku ke sini. Apabila dilihat dari penampilan, menurutku beliau belum terlalu tua. Usianya 67 tahun. Usia itu masih bisa dibilang lansia dini di negara ayahku. Tapi ternyata cukup bisa dibilang sepuh di Indonesia. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa di usia itu, aku bisa kehilangan Nenek kapan saja.

Saat aku masih tinggal di negara ayahku, aku termasuk jarang mengunjunginya. Yah, apa mau dikata. Aku masih belum cukup umur untuk bisa berpergian keluar negeri sendiri. Waktu dan tentu kondisi finansialku, masih tergantung oleh orang tua. Dalam setahun atau dua tahun bisa dihitung hanya sekali, tepatnya saat summer holiday. Tidak dalam waktu yang lama. Setiap kunjungan mungkin hanya sekitar seminggu. Kembali lagi, itu semua sangat tergantung oleh orang tuaku.

Selain itu, kami hanya berkomunikasi seadanya dan seperlunya. Jarak yang terbentang dan perbedaan waktu menjadi kendala. Maka dari itu, aku sedikit memaksa nenek untuk punya smartphone. Setidaknya dengan itu, kami bisa saling bertukar kabar. Atau sekedar mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur.

Untungnya, Nenekku adalah tipikal orang tua yang sangat mau menerima perkembangan jaman. Nenek juga cepat belajar. Tidak kolot. Punya menantu orang asing mungkin bisa dijadikan bukti bahwa Nenek cukup open-minded. I must say, I love her more than my parent. Seandainya aku tahu lebih awal bahwa aku akan kehilangan Nenek di usiaku ke 17 tahun, pasti aku akan berusaha lebih meluangkan waktu untuk bersamanya. Mengumpulkan memory tentangnya lebih banyak lagi.

Nenek hanyalah satu-satunya alasan yang membuatku mau menerima keputusan Mama membawaku pindah ke Indonesia. Ada beberapa kondisi keluargaku yang akan aku ceritakan pelan-pelan. Nanti. Menurutku, keadaan keluargaku akan jauh lebih baik apabila aku ada dekat dengan Nenekku. Dan tanpa adanya nenek di sini, aku sudah kabur dari rumah saat mendengar keputusan yang sepihak itu.

Betapa hancurnya hatiku sesampai di Indonesia, ternyata kondisi Nenek memang tidak begitu sehat. Beliau tidak pernah memberitahuku soal itu dalam chat yang sering kami lakukan. Beberapa kesempatan saat kami bervideo-call, nenek tidak pernah menunjukkan raut yang pucat. She always looks so well.

Masih kuingat dengan jelas ekspresi Nenek saat menyambut kedatanganku. Masih juga kuingat tatapan matanya yang lembut. Saat itu tengah hari, langit sedikit mendung. Aku dan Mama saja. Ketika tiba, Mama langsung membuka pagar rumah nenek. Oia, Nenekku itu cukup unik. Dia menggantungkan sebuah lonceng di pagar depan rumahnya, sehingga akan langsung berbunyi saat ada siapapun yang mendorongnya, termasuk Si Manis kucing liar yang suka masuk minta makan.

"Welcome home, my little lily," ujar nenek sambil setengah berlari menghampiriku lalu memelukku. Saat itu aku masih sangat-sangat kacau. Sambil membimbingku yang saat itu manyun saja masuk ke dalam rumah, Nenek membantuku membawakan barangku. Malamnya aku menangis di pelukannya.

Nenek tak pernah melarang aku menangis. Sama seperti malam itu. Nenek hanya menunggu sampai aku lelah. Sesekali ia mengusap lembut rambutku atau mengambilkan aku segelas air.

"Kalau sudah puas nangisnya, kita makan aja, yuk. Katanya kangen sama masakan Nenek?" ujar nenek saat itu.

Lalu kami berdua makan sambil menunggu Mamaku pulang. Bertiga lebih tepatnya. Malam itu nenek juga mengajak Mba Sari makan bersama. Duduk bersama di satu meja makan.

Mba Sari adalah asisten rumah tangga, atau yang kutahu beberapa orang Indonesia sering menyebut profesinya dengan sebutan "pembantu". Terakhir aku berkunjung ke rumah nenekku, Mba Sari belum bekerja pada Nenek. Malam itu sambil makan, kami mengobrol di ruang makan rumah Nenekku yang selalu hangat. Dari obrolan itu aku tahu kalau Mba Sari asalnya dari Kendal. Kata Nenek itu suatu daerah yang ada di Jawa tengah.

Walau ada Mba Sari, tapi yang kulihat, 70% pekerjaan rumah tetap dihandle langsung oleh nenek. Termasuk urusan masakan. Kalau ada tamu istimewa, Nenek harus ambil peran langsung. Meracik, mengolah dan finishing, semuanya harus dari tangan Nenek. Mba Sari bilang, nggak berani ikut campur kalau soal masak. Paling cuma bantu-bantu mengambil bahan atau disuruh belanja-belanja saja.

Ngomong-ngomong soal makanan, meskipun banyak hal yang kubenci di sini, tapi anehnya tidak dengan makanannya. Yaaa, memang belum semua jenis masakan di sini kucicipi, tapi entah mengapa tastenya sangat memanjakan lidahku. Perpaduan bumbunya, juga aromanya begitu pas dengan seleraku. Tentu saja masakan Nenek yang paling enak. Bukan karena dia Nenekku maka aku bilang begitu. Ini pendapat jujurku.

Selain hobby masak, sama seperti nenek-nenek pada umunya, beliau juga sangat suka berkebun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selain hobby masak, sama seperti nenek-nenek pada umunya, beliau juga sangat suka berkebun. Nenek sering mengirimiku foto-foto bunga di kebunnya yang tengah mekar. Kata nenek aku seperti bunga lily. Aku menerima begitu saja karena tak begitu paham arti-arti bunga. Aku juga belum sempat bertanya pada nenek. Di hari kedatanganku ke Indonesia, aku terlalu kacau hingga tak menyadari bahwa kebun nenek sedikit tidak terawat. Banyak bunga-bunga yang layu. Banyak juga pot-pot yang berserakan. Harusnya aku sedikit lebih peka.

Dan sampai hari itu tiba, Nenek sama sekali tidak menunjukkan sisi sakit atau lemahnya. Nenek tetap seperti biasa. Bijak dan kadang suka melucu. Aku tak bohong. Selera humor nenek memang bagus. Mbak Sari juga banyak cerita kalau nenek suka sekali bercanda. Tepatnya hari Rabu, pagi hari, Nenek pergi saat sedang tertidur.

Yah, beberapa paragraf di atas memang tidak cukup menggambarkan betapa aku hancur saat kehilangan Nenek. Tapi kurasa, kekosongan ini tidak akan kuhabiskan dengan keluhan seumur hidup. I wouldn't bullshit you about this. Sajak-sajak sedih yang kutulis beberapa hari setelah Nenek tiadapun sudah kuputuskan untuk kumusnahkan. Aku ingin sudahi semua. Aku tahu ada hal lain yang harus terus berjalan. Yang harus siap kuhadapi. This is it. Reality.

Sama seperti yang selalu aku lakukan satu-dua bulan ini, hari ini aku juga berkunjung ke tempat peristirahatan nenek. Yang biasa aku lakukan adalah mengirimkan doa, bercakap-cakap sebentar lalu melakukan kegiatan lain hanya untuk sekedar membunuh waktu. Hari ini aku membawa sebuah novel yang sudah kubaca tiga perempatnya dan kuputuskan hari ini aku harus memanjat sampai endingnya.

Aku selalu mendapatkan ketenangan di sini. Kedamaian. Dan jika tidak berlebihan mungkin aku bisa menggambarkannya sebagai kententraman batin. Sedikit banyak aku bisa melupakan kegundahan hatiku, kesedihan dan juga keresahan pada perasaanku. Seharusnya begitu pula saat ini. Sampai tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah suara dari arah belakang. Seseorang memekikkan namaku.

"Nadine!" Aku menengok ke belakang. Seorang cewek berseragam putih abu-abu berdiri tak jauh dari ku. Siapa dia?

Untold Love Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang