1

570 111 77
                                    

Ketika berbicara mengenai rasa percaya ada sebuah analogi yang kupelajari darinya. Waktu itu ia berkata bahwa rasa percaya itu sangat mahal. Seperti matahari yang mempercayai bulan. Ia dapat menerangi malam yang pekat ketika Tuhan meminta matahari untuk tertidur sesaat. Menemani orang-orang yang tenggelam dalam kegelapan. Hingga si jago berkokok, matahari terbangun lalu mengecup sapa pagi untuk meminta sang bulan meredupkan cahayanya.

Kata-kata itu terpaku dalam kepalaku. Tak bisa sekejap tercongkel keluar. Begitu manis dan sejuk mengingatnya. Merasa aman di dekatnya. Namun, sulit dipercaya bahwa semuanya sudah berlalu di makan waktu. Aku bukan lagi prioritasnya. Bukan lagi orang yang sama 'tuk sekadar ngobrol di bibir jendela tentang bulan, tentang cerita si dewi hujan, hingga kaki langit. Aku bukan apa-apa lagi di matanya.

Tapi, aku merindukannya.

Malam dingin yang biasa kulewati di tahun kedua setelah dia pergi. Kedua bola mata ini masih setia menatap jendela yang terpampang dihadapannya. Sebuah jendela kayu yang nampak biasa namun meninggalkan sejuta cerita.

Dia sudah tak lagi diduduki oleh dua sejoli yang biasanya bercanda dan berbagi tawa tentang bulan dan hujan. Dari sana, sepasang daun jendela perlahan melambai mengikuti irama angin. Seolah memanggilku yang masih termenung dari kubur ini.

Godaan itu cukup kuat agar aku dapat bernostalgia dengan kenangan bersamanya. Tetapi, tidak. Aku sudah mantap untuk tidak mengingat-ingatnya kembali. Lantas kuubah posisi rebahan ini menghadap tembok yang memudar.

Sesekali dalam kekosongan itu aku bertanya-tanya. Apa yang tengah dilakukannya sekarang? Tidakkah dia menyesal telah mencampakkanku? Atau sebaliknya? Semakin aku sendiri semakin lengah diriku dilumpuhkan oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Dan semakin tak berdaya pula diriku untuk mengendalikan rasa menyalahkan diri sendiri.

Mengapa aku terlahir seperti ini?

***

Bibir Jendela (DONE) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang